Saturday, January 25, 2014

Resensi - LOVE, HATE AND HOCUS-POCUS “Abagadabra…aku cinta padamu!”



Penulis : Karla M. Nashar
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 254 hlm
Terbit : Juni 2008
ISBN : 978-979-22-3800-6
Harga : Rp. 40.000
Jika cinta harus di awali dengan kebencian, maka jangan pernah membenci dengan seluruh hati yang akhirnya akan membalas dengan 180 derajat rasa yang sangat berkebalikan.
Pengalaman itulah yang aku kemas dan aku simpan saat bertemu dengan kisah Gadis Parasayu dan Troy Mardian.
Kisah ini berawal dari Gadis yang dipindah-tugaskan ke Jakarta di perusahaan Biocell Pharmacy Indonesia (BPI) sebagai manajer humas Dhemoticy. Sebelum perpindahannya, dia sudah tahu akan bertemu si selebriti yang menyandang gelar The Most Eligible Bachelor in Indonesiayang sebelum berinteraksi secara langsung pun, Gadis sudah membenci keberadaan Troy.
Ternyata benar saja, saat mereka bertemu pertama kali, pertengkaranlah yang menjadi salam perkenalan mereka, membuat Troy dan Gadis langsung mencantumkan nama masing-masing di daftar teratas musuh besar mereka.
Pertengkaran mereka semakin sering tersulut, padahal mereka harusnya saling bekerja sama untuk mengatasi sebuah masalah besar yang akan mencoret nama baik BPI. Meski mereka bisa saling bekerja sama walaupun dengan terpaksa, masalah itu terselesaikan dengan sangat baik.
Yap, akhirnya perayaan ulang tahun ke-50 BPI pun dilaksanakan dengan meriah, padahal awalnya mereka mengira acara besar tersebut akan bubar jalan. Semua itu berkat Dynamic Duo yang hebat, Troy dan Gadis. Namun, siapa yang menyangka, ulang tahun ke-50 BPI lah yang membuat hidup mereka seperti dijungkir balikkan karena kejadian yang diluar logika. Kejadian akibat sebuah mantra dari seorang Gipsi Tua yang menjadi pengisi acara di ulang tahun ke-50 BPI.
"HATE not! For tonight is the Magical Night of LOVE. Jangan penuhi jiwa kalian dengan KEBENCIAN dan IRI, melainkan penuhi hanya dengan CINTA dan KEBAIKAN. Karena jika kalian tetap membiarkan jiwa kalian merangkak dalam kegelapan rasa benci itu, WASPADALAH!! Kekuatan Malam Ajaib ini akan dilimpahkan pada kalian. Maka kalian akan menemukan dua jiwa malang penuh permusuhan bertubrukan dalam CINTA." – Sang Gipsi Tua – Hlm. 159

Detik itu juga kebencian berlalu, cinta memenuhi hati mereka. Tapi, kutukan itu hilang setelah beberapa hari. Mereka tersadar saat mereka bangun pagi di ranjang yang sama dengan keadaan yang sama, sama-sama tanpa sehelai benangpun, hanya selimut berwarna putihlah satu-satunya penutup tubuh mereka.
Perlahan kelebatan demi kelebatan semua yang terjadi dari pertunangan, pernikahan, bulan madu, semua yang terjadi di luar nalar mereka mulai membuat Troy dan Gadis hampir gila. Lalu, apakah mereka bisa menjalani hidup mereka sebagai suami istri meskipun mereka saling membenci?
"Tapi bagaimana menjabarkan semua keanehan ini dengan logika? Rasanya tak mungkin. Pertunangan, pernikahan, dan bulan madu mereka, semua begitu nyata, senyata perasaan benci dan cinta yang kini begitu kuat membalut hatinya. Mungkinkah hati manusia bisa membenci dan mencintai seseorang pada saat bersamaan?" – Hlm. 169

Love, Hate & Hocus-Pocus adalah Karya Karla M. Nashar pertama yang aku baca. Dan sialnya, karena terlalu menikmati novel ini, aku sampai tak menghiraukan seluk belum secara detail tentangnya. Hasilnya, saat mau mereviewnya aku kebingungan. Apa sih yang jadi poin plus minus dari nya? Arg, apa perlu aku mengulangnya lagi? Padahal sekitar dua tahun lalu novel ini sudah selesai aku baca, dan beberapa hari ini aku hanya perlu me reread saja.
Yang jelas novel ini dibuka dengan kejadian konyol yang nggak masuk akal. Namun, kejadian itulah yang membuat aku penasaran dan ingin menguak misterinya. Ini poin plus pertama. Poin plus kedua, novel ini punya aroma yang memikat di detiap ceritanya, membuat pembaca ingin terus dan terus membaca, kalau bisa langsung selesai sehari saja.
Temanya memang cukup umum, benci jadi cinta. Namun, aku cukup menyukai gaya bercerita Karla M. Nashar yang menggebu-gebu, sedikit menguarkan rasa emosional sehingga novel terasa jauh dari kata datar. Belum lagi konfliknya yang mengangkat sebuah persoalan di perusahan besar bernama Biocell Pharmacy Indonesia (BPI).
Konflik yang dibangun dari persoalan tersebut tak terasa tempelan, dia berperan besar dalam jalan cerita dan juga berperan dalam memunculkan, bahkan memompa konflik utama antara Troy dan Gadis menuju puncaknya. Jadi penasaran bagaimana riset penulis untuk membangun konflik di dalam Perusahan farmasi seperti ini, karena memang detailnya benar-benar terasa sangat nyata. Serius!
Untuk karakter dua tokohnya, menurutku tak ada yang istimewa. Dua-duanya dibuat sangat menarik dengan ciri khas yang satu sama lain saling bertolak belakang, kecuali kadar emosinya.
Namun, karena kekonyolan-kekonyolan yang terjadi di antara merekalah yang menjadi bagian paling menyenangkan. Apalagi setelah sihir Gipsi itu bekerja, kekonyolan semakin merajalela, keseruan semakin menguatkanku untuk terus membacanya
Endingnya. Hem, cukup mengejutkan. Sangat tidak terduga. Meski sejujurnya membuatku kecewa. Tapi, saat aku tahu novel itu ada kelanjutannya, aku langsung berharap ada pencerahan yang membuat lega. Dan iya, aku lega saat membaca novel keduanya.
Terakhir mau membahas covernya. Aku lebih suka cover lamanya. Lagi-lagi karena masalah keterkaitan dengan isinya.
Cover Baru
Cover yang baru didominasi warna putih, sanada dengan cover novel keduanya. Dengan gambar topi penyihir yang menutup tubuh seseorang. Rasanya kurang misterius. Berbeda dengan cover lamanya yang langsung menarik perhatianku.
Aku ini memang penyuka hal-hal yang menyerempet tentang hocus-pocus. Sampai-sampai aku mempelajari tarot dan permainan ramalan dengan kartu remi. Aku juga sempat sedikit sensitif dengan dunia gaib. Untuk kartu tarot dan remi memang hanya mainan, tapi untuk rasa sensitifku, kata orang itu berkah yang akhirnya aku tolak. Makasih deh, nggak usah punya begituan nggak apa-apa.
Nah, itulah yang bikin aku tertarik untuk membeli novel ini di tanggal 21 Maret 2011 di Gramedia Madiun. Dan saat membacanya, aku tak pernah dikecewakannya. Makanya, saat buku kedua muncul, aku langsung minta dibeliin meski aku terbaring di rumah sakit.
Saat pulang dari rumah sakit, novel kedua dari novel inilah yang menjadi teman masa-masa penyembuhanku.
Oke curhat colongan selesai, sekarang mau ngasih bintang. Dulu, pertama kali baca novel ini aku kasih bintang 3. Sekarang, aku berubah pikiran dan memberinya bintang 4 dari 5 bintang.
Ah, iya. Novel ini memang menyerempet novel dewasa. Namun, kadar xxx nya nggak terlalu kental. Jadi, buat usia 16-17 tahun masih oke ‘lah kalau mau baca. Masih masih aman kok. []


Monday, January 20, 2014

Resensi – Ai “Cinta Tak Pernah Lelah Menanti”



Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Tahun Terbit : 2012 (Cetakan Ketujuh)
Halaman : vi + 282 hlm
ISBN : 9797803074
Harga : Rp. 41.500
Apa yang paling misterius dalam hidup? Aku menjawabnya, yang paling misterius dalam hidup ya hidup itu sendiri. Dia punya banyak rahasia, entah tentang masa lalu, entah tentang masa depan yang belum kita singgahi.
Sama seperti dua orang sahabat yang terjerat misterinya hidup. Mereka mencoba menebak, meraba apa yang akan terjadi. Sayangnya, mereka salah kaprah menebak satu hal dalam hidup mereka, yaitu tentang cinta.
“Cinta selalu mengendap-endap di belakangmu. Suatu saat, tiba-tiba, kau baru sadar cinta menyergapmu tanpa peringatan.” – Natsu – Hlm. 104

Persahabatan yang terlalu kental antara Ai dan Sei membuat mereka tak bisa membedakan rasa cinta atau sayang sebatas sahabat. Namun, saat waktu menyadarkan mereka, apa yang sebenarnya ada di hati mereka, satu sosok hadir di tengah persahabatan mereka, Shin.
Bagi Sei, melihat Ai bahagia bersama Shin bukan sebuah pisau yang melukainya. Walaupun tak dia pungkiri, kecewa itu pasti. Dan dia mencoba lari pada cinta yang lain, Natsu.
Sayang, kebahagiaan tak selamanya bisa setia, karena saat kabar kematian Shin menyeruak, kebahagiaan itu ikut pergi bersamanya.
 “Kehilangan karena patah hati masih lebih baik dari pada kehilangan orang yang disayangi akibat kematian, menurutku, karena pada kasus yang kedua kita tidak mampu melihat orang itu lagi.” – Sei – Hlm. 157
“Kehilangan memiliki cara tersendiri untuk mengubah orang-orang yang mengalami…” Ayah Ai hlm. 253
“Di dunia ini, ada beberapa hal yang disebut takdirsisanya adalah pilihan. Jangan sesali sesuatu yang sudah ditentukan takdir, karena tanpa kesulitan dan kesedihan, kita tidak akan benar-benar menghargai kebahagiaan.” – Ayah Ai – Hlm. 253

Konflik yang sebenarnya baru dimulai setelah kematian Shin. Sei diuji habis-habisan. Satu sisi dia hancur karena kematian sahabatnya, satu sisi dia harus kuat karena hanya dia yang bisa menopang Ai yang porak poranda di tinggal tunangannya.  Belum lagi, dia harus memilih tetap pindah dari apartemen dan tinggal bersama Natsu sesuai rencananya semula, atau tetap tinggal di sisi Ai yang berarti harus melepaskan Natsu dan menyakiti gadis yang sangat mencintainya.
“…, hal terpenting dalam cinta adalah persahabatan, dan hal terpenting dalam persahabatan adalah cinta.” – Shin – Hlm. 277
 Novel Ai karya Winna Efendi lagi-lagi mengangkat tema persahabatan menjadi cinta. Yang di awali kisah konflik batin Sei yang mencintai Ai diam-diam. Dia merefleksikan segala ketulusan dan rasa sayangnya dengan selalu ada untuk Ai. Di bagian ini, bagian dimana sudut pandang cerita diambil dari Sei, aku merasa cerita terlalu datar meski konflik terus dimunculkan. Mungkin ini dipengaruhi karakter Sei yang memang datar, pendiam, dan tenang.
Untunglah, saat konflik semakin memuncak, yaitu saat kematian Shin, suasananya semakin terasa menegang pula. Memang bukan karena emosi Sei, namun lebih pada Ai.
Ai yang ceria tergambar jelas dari cerita Sei. Shin yang selalu tahu banyak hal, baik, perhatian dan penuh semangat juga tertangkap jelas dari kisah dari sudut pandang Sei dan Ai. Karakter mereka masing-masing berhasil dibuat dengan sempurna. Aroma Jepangnya pun cukup terasa. Aku acungi jempol buat Winna Efendi yang berhasil menyampaikan cerita dengan setting Jepang dan penokohan Jepang yang nggak cuma tempelan.
Jika bagian pertama diceritakan dari sudut pandang Sei. Bagian kedua diceritakan oleh Ai. Di bagian ini, Ai seperti melanjutkan cerita Sei, artinya Ai bercerita tentang kisah mereka setelah Shin pergi dan beberapa flashback sebelum Shin pergi, lebih tepatnya flashback tentang kenangan mereka berdua atau mereka bertiga.
Aku lebih suka saat Ai bercerita, meski rasa datar kadang kala kembali mengganggu. Namun, kisahnya bersama Shin dan misteri hatinya pada Sei membuat cerita lebih bergelora.
Bagian yang membuat hatiku paling tersentuh adalah dialog Ai pada dirinya sendiri di halaman 272 – 273. Saat itu dia mengucapkan permintaan maafnya untuk Sei, yang tak bisa dia ucapkan secara nyata pada pria yang berdiri di depannya.
Ada satu bagian yang membuat aku terganggu. Tentang memori yang diingat Sei saat umur 2 tahun. Aku nggak yakin anak umur 2 tahun bisa ingat kejadian yang dia lalui meski kejadian itu memang memoriable banget.
Cover versi baru
Covernya aku lebih suka cover lama. Kesan warna kalemnya cocok dengan karakter novelnya. Sedangkan untuk cover baru yang warnanya lebih ceria terasa sedikit keluar jalur. Dan untungnya, aku memiliki novel cover versi lama hasil beli second beberapa bulan yang lalu.
Sebenarnya, aku sudah merencanakan memberi 2 bintang saja. Namun, karena aku mulai merasakan konflik yang mulai memuncak di saat Shin meninggal, dan kesan datar mulai ada warna, aku menaikkan nilainya menjadi 3 dari 5 bintang.[]


Sunday, January 19, 2014

Jalan-jalan (Pingin) Murah Kediri-Jogjakarta


Jika Akhir Tahun 2013 di tutup sama gunung. Ternyata, awal tahun 2014 lagi-lagi harus gunung, dan dua hari kemudian gunung lagi. Mantap nih kaki!
Anak Gunung Kelud
Yap, Januari 2014 tanpa ada rencana aku berhasil menaklukkan Gunung Kelud, Kediri dan Gunung Merapi, Jogjakarta.  Nggak ada rencana, memang begitu. Karena aku ke Kediri gara-gara nganterin barang sepupu yang kuliah di Kediri. Lanjut deh ke Gunung Kelud biar nggak rugi.
Sebelum kesana, kita mampir dulu makan di Rumah Lawas. Nasi pecelnya enak banget plus murah gilaaaa. Sayang, waktu enak-enaknya makan, mag aku kumat. Nggak papa, aku selalu siap sedia obat mag. Habis makan kita langsung lanjut ke Kelud pake mobil Avanza sewaan dari Surabaya.
Di pinggir jalan menuju kelud banyak kebun Nanas, sayang nggak ada buahnya. Oh, banyak juga para pesepedah gunung.
Sampai di parkiran pertama, si supir yang pobia tinggi langsung nyerah waktu tahu medannya nanjak tinggiiiii plus nikung. Akhirnya, kita naik ojek. Untung kita-kita ahli nawar. Harga awal ojek Rp. 30.000 PP, kena Rp. 20.000 PP.
Naik ojek ke lokasi Kelud benar-benar asik, seru, mantap banget! Kayak naik roller coster plus sopirnya welcome banget di ajak ngobrol. Jadi, yang suka tantangan, jangan naik mobil ke atasnya, naik ojek aja.
Terowongan Menuju Lokasi Wisata Gunung Kelud


Foto berlatar belakang tebing eksotis
Sampai di lokasi, angin gunung yang segar terasa sekali. Tampak hijaunya bukit, dan curamnya jurang. Dan waktu mandang ke atas, kita akan disambut tebing tinggi yang sisinya seperti dipahat. Sebenarnya tebing itu tempat favorit para pemanjat tebing. Kdari jauh kelihatan eksotis banget.
Nggak pingin buang-buang waktu, langsung deh jalan ke atas. Tampak jalan setapaknya benar-benar dirawat pemerintah, dan kita juga ngelewatin terowongan yang nggak terlalu panang. Saran saja, siapkan senter soalnya ada beberapa tempat yang gelap banget. Oh, ya terowongan itu pernah di pakai syuting Tukul Jalan-jalan. Jadi, ehem…agak serem, ya!
Sampai di atas kita ketemu anak gunung Kelud yang benar-benar ada di depan mata dan jaraknya dekat sekali. Ternyata, saat melihat foto-foto sebelum anak gunung Kelud lahir, tempat itu adalah danau yang indah sekali. Namun, perlahan muncul gumpalan yang mirip tumpukan batu bara yang masih menganga apinya. Sekarang tumpukan itu tinggal tanah hitam yang kelihatan gembur.
Monumen Arch de Triophe, Paris
Monumen Simpang Lima Gumul, Kediri
Kelar dari sana, kita menuju Simpang Lima Gumul. Di sana terdapat monumen yang desainnya mirip Arch de Triomphe di Paris. Sialnya, sampai sana gerimis mengundang. Tapi, semangat ngambil foto jelas nggak akan lenyap. Karena takut kemalaman, kita cuma sebentar di sana dan langsung pulang karena besoknya, hari Senin kita masih lanjut ke Jogja. Hemat tenaga, hemat kaki, hemat waktu. Betul?
Senin pagi jam 9 aku berangkat lebih dulu dari pada rombongan, karena aku dan adikku yang kebagian beli tiket kereta di Stasiun Madiun. Habis dapat tiket, sarapan dulu di tempat makan favorit, Glory ayam bakar di Jalan Salak, Madiun. Makan disana,  dua orang cuma habis 27 ribu padahal tambah tempe dan cah kangkung plus tambah nasi satu piring.
Setelah kenyang, jalan dulu di Matahari Mall, Madiun sambil gotong ransel lumayan berat. Mampir dulu di Gramedia beli buku Rhapsody-nya Akang Mahir Pradana, trus beli snack dan air minum di supermarket. Abis itu karena capek, nongkrong aja di food court karena kereta baru jalan jam setengah tiga sore. Masih lama banget!
Untung kereta cukup on time. Jam tiga kurang udah berangkat dan kita sampai di Jogja disambut hujan rintik-rintik yang lama-lama bisa bikin jaketku basah juga. Hal pertama yang kami lakukan cari hotel di gang Sosrowijayan.
Syukurlah, sebelum hujan beneran deras, kita udah dapat kamar di Lucy Losmen. Lokasinya gang pertama dari arah Stasiun Tugu belok kanan. Jalan terus sampai ketemu gang kecil belok kanan lagi. Kamar yang aku tempati terdiri dari dua bed besar dengan kamar mandi bersih, kipas angin dan televisi dengan harga Rp. 335.000 untuk tujuh orang. Murah kan?
Hujan makin lama makin deras, tapi aku yang emang penasaran sama suasana Malioboro di malam hari nekat keluar sebentar pakai payung. Saat itulah aku menemukan toko buku bekas yang menjual pernak pernik khas Jogja dan kartu pos. Tempatnya keren banget meski nggak luas. Bukunya sih kebanyakan buku luar dengan berbagai bahasa. Sayang banget aku nggak sempat foto tempat itu. Habis dari sana aku balik lagi ke penginapan, soalnya jalan sendiri berasa jomblo ngenes. Hehehehe
Penampakan toko buku, dapat dari  Google
Sampai penginapan aku bujukin si Manda buat nemenin. Dia yang lagi frustasi jagoannya si Persija kalah main, akhirnya mau di ajak keliling Malioboro sambil hujan-hujanan.
Malioboro di malam hari dengan suasana hujan tampak tak seramai biasanya. Lampu-lampu mobil berpendar satu arah saat aku dan Manda bergerak terus tanpa tahu mau kemana. Namun, saat melihat Mall Malioboro dan melihat tulisan Gramedia besar-besar, si Manda teringat ada bazar buku di sana.  
Kita berdua jalan dengan pedenya ngalur-ngidul bawa payung basah. Masuk Gramedia nggak ada penitipan barang, payung basah terpaksa tetep ikut masuk. Hihhi…biarin deh. Ah, iya aku jalan ke Mall pakai sandal jepit dekil punya keponakanku. Hehehehe.
Sesaat hidungku menangkap bau kopi saat keliling mall. Ternyata, ampun Tuhan ada Jico di sana!!! Dia melambai-lambai bikin kaki pingin mampir. Karena nggak bawa uang, bahkan ponsel, aku menyugesti diriku sendiri “Pura-pura nggak lihat…pura-pura nggak lihat!” Pokoknya, kita berasa gembel sok tajir saat itu. Hihihihi.
Paginya kita jalan dari penginapan sampai ke alun-alun. Gilaaa….jauh juga bo’! Kaki lumayan cenut-cenut. Balik dari alun-alun baru beli sarapan soto ayam yang semangkoknya Rp.6.000. Senangnya, soto nggak berasa manis, karena aku benci masakan manis.
Pulang dari jalan-jalan pagi, iseng tanya harga mobil kalau nganterin ke Gunung Merapi. Katanya Rp. 300.000 nanti nggak perlu sewa Jeep. Dan bodohnya kita percaya aja! Padahal kita sering browsing ke sana mesti harus sewa Jeep kayak di Bromo.
Akhirnya, kita cuzzz ke Merapi setelah mandi (Ketahuan deh jalan ke alun-alun pada belum mandi).
Dari Malioboro ke Merapi cuma butuh kurang lebih satu jam. Sampai sana kita di kagetkan karena harus sewa Jeep.  Lagi-lagi kita merasa nggak asik kalau nggak naik, jadi terpaksa bayar 350.000 dengan pilihan Jalur sedang. Masalahnya, anggota kita tujuh orang, lima dewasa, dua anak kecil. Dan, setiap Jeep hanya menampung 5 orang. Lalu gimana nasib dua lainnya? Untung ada anggota Jeep yang baik banget, dia kasihan sama kita-kita. Akhirnya dicarikan Jeep ukuran agak besar dan berhasilah kita naik ke atas. Yeeee!!!!
Museum Sisa Hartaku
Indahnya Gunung Merapi dari atas bunker
Waaahhhh…itu jalannya off road gila. Kita ngelewatin pertambangan pasir yang masih ngepul keluar panasnya. Supirnya ramah banget lagi. Rute pertama kita ke Museum Sisa Hartaku. Lalu ke bekas bunker tepat di kaki gunung. Wah, view nya paling bagus di sini. Wajib foto-foto berlatar belakang gunung.
Puas ambil foto, balik ke Jeep. Ternyata Jeep kurang sehat, jadi ganti mobil. Sopirnya makin ramah, plus di puterin lagu dangdut, seneng deh para penumpang.
Lokasi berikutnya adalah batu alien. Eh, iya lho, kalau dia amati batu besar itu emang mirip wajah manusia. Kita juga mampir ke tambang pasir yang dalamnya masih panas buat ambil foto sebentar. Lanjut ke kuburannya Mbah Marijan. Abis itu balik ke parkiran buat balik ke Jogja.
Ini Jeep kedua yang ngantrin kita
Batu Alien
Malesnya, sopir mobil itu suruh nganterin ke mana-mana nggak mau. Padahal pingin banget makan di Rumah Makan Ruminten. Jadilah kita minta di anterin ke Mall lagi. Niatnya mengulur waktu di MCD, tapi satu jam di sana bosen juga. Akhirnya kita jalan ke Stasiun Tugu. Padahal masih empat jam kereta baru berangkat.
Iseng deh kita jalan lagi, nyari becak harga Rp.15.000 sampai ke alun-alun, tapi nggak ada. Pilih naik taxi aja yang ternyata lebih murah, Rp. 30.000 sampai alun-alun Lor. Supirnya baik banget, sebenarnya dia mau dibayar Rp. 25.000. Tapi, karena nggak enak kita bayar Rp. 30.000. Nama sopir taksi itu Pak Sigit.
View kolam Taman Sari dari atas pagar
Sama Pak Sigit kita di turunin di alun-alun lor. Dari situ kita langsung jalan ke Taman Sari. Tanya satu kali, ketemu deh sama lokasinya. Sayangnya kolamnya sudah tutup. Nggak papa, kita bisa naik di atas pagar, viewnya lebih bagus.
Abis dari Taman sari nyoba nyebrang Ringin Kembar. Dan aku gagal dua kali. Hikz! Jam terus berjalan, dan nggak ada taxi lewat, harga becak mahal banget. Pilihan terakhir jalan kaki sambil nyari taksi atau becak yang harganya agak miring. Di Alun-alun Kidul akhirnya kita dapat becak seharga Rp. 20.000 sampai Stasiun Tugu. Dalam hati aku udah berdebar-debar takut ketinggalan kereta karena waktunya udah mepet banget.
Sampai di Stasiun Tugu, kita salah turun. Dikira tukang becaknya kita sudah pegang tiket jadi kita diturunin di jalan masuk stasiun lewat jalur trowongan Padahal tiket masih dibawa rombongan yang nunggu di stasiun dan waktu kita sama keberangkatan kereta makin mepet. Panik…panik deh!!!
Akhirnya lari ke arah parkiran biar bisa nyampe ke depan Stasiun. Sampai depan Stasiun diumumin keberangkatan Kereta api Madiun Jaya ditunda sampai pukul setengah delapan malam. Langsung ngakak deh kita. Syukurrrrr!!!! Terima Kasih Tuhan! Tapi, tetap kena marah karena bikin rombongan yang lain panik.
Dan, kita sampai rumah jam 1 malam. Alhamdulillah!
Dua Trip dalam tiga hari berturut-turut benar-benar pengalaman tak terlupakan, meski yang di Jogja lebih berkesan dengan kejadian-kejadian yang perlu dicatat bahwa nyari taxi di Alun-alun Lor itu susah minta ampun kecuali kamu telepon ke agennya yang berarti kamu harus bayar sesuai argo nggak pakai tawar menawar. Dan, meski asik main, jangan lupa kereta api nggak mau nunggu, dia selalu minta di tunggu. Jadi, jangan main-main sama kereta api. Oke?
Begitulah kisah perjalananku. Kita sambung lagi di perjalanan berikutnya. See you! []
 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos