Saturday, September 27, 2014

Resensi “BETWEEN THE RAINDROPS”



Penulis : Stephanie Zen
Penerbit : Gramedia
Genre : Romance, ChRom, Adult
Tebal : 288 hlm
Terbit : Februari 2014
Harga : Rp. 52.000
ISBN : 978 – 602 – 03 – 0163 – 1

Andrea Faith Siahaan, gadis beragama Kristiani yang punya tujuan hidup melayani Tuhan-nya secara full time dengan masuk seminari. Namun, sang ayah mengharapkannya untuk meneruskan bisnis yang sudah beliau rintis. Tapi, jika Andrea tetap menuruti keinginannya, maka dia jelas tak bisa mengabulkan impian sang ayah.
“…bahwa Tuhan pasti tidak akan tinggal diam, bahwa Ia punya maksud di balik setiap hal yang terjadi, bahwa ia peduli.” – Andrea – hlm. 30

Sebuah negoisasi coba dilakukan Andrea. Dia menerima usul ayahnya untuk kuliah, dan Andrea memilih Singapura untuk meneruskan pendidikannya karena sekolah di luar negeri hanya butuh waktu dua tahun. Setelah itu, jika pendiriannya untuk masuk seminari masih sekuat dulu, sang ayah harus merelakan putri satu-satunya menjadi hamba Tuhan dan full ada untuk-Nya. 
“…Jangan batasi Tuhan dengan keterbatasan kita. Dia mampu melakukan jauh lebih banyak dari apa yang kita doakan atau pikirkan.” – Ardy – hlm. 40

Andrea mulai diuji saat dia bertemu Aaron Darwin Tandiono. Ya, mereka saling jatuh cinta dan akhirnya berpacaran. Keteguhan hati Andrea mulai goyah.
Dalam kebimbangannya Andrea masih mencoba untuk mencari jawaban hatinya, mencari apakah dia benar-benar dipanggil Tuhannya.
Lalu, bagaimana jawabannya? Akankah Andrea tetap akan mewujudkan impian awalnya? Atau, akhirnya dia memilih Darwin dan melupakan tujuan hidupnya dulu?
Ya, aku takut bahwa Tuhan benar-benar memanggilku. Jika memang seperti itu adanya, aku harus benar-benar masuk seminari, aku harus meninggalkan Singapura, aku harus meninggalkan Darwin…” – Andrea – hlm. 198
 
BETWEEN THE RAINDROPS, novel romance ber-setting kota Singapura dengan sentuhan Kristiani. Ini genre novel Gramedia yang terbaru – sepertinya – ChRom “Christine Romance “.
Pada dasarnya, inti sebuah agama itu sama. Jadi, meskipun aku seorang Muslim, aku tetap bisa mengambil pelajaran dari novel ini, secara umum maksudku. Karena ChRom tidak bercerita secara Kristiani kental. Ini semacam novel Islami-romance seperti Ayat-ayat Cinta. Hanya saja, kisah hidup tokohnya memang diceritakan detail sesuai agama yang dianutnya. Dan, aku nggak ada masalah dengan semua itu.
Awalnya, Andrea diceritakan sebagai gadis yang keras kepala dan teguh pendiriannya. Meskipun tujuan hidupnya adalah full time untuk melayani Tuhan, dan itu adalah tujuan yang mulia. Ternyata, dia masih bisa goyah dan begitu lama mencari jawaban tentang panggilannya.
Kemunculan Darwin sebagai penguji begitu tepat muncul. Dia hadir dengan karakter yang slow namun bisa membuat efek kuat pada Andrea.
Darwin tipe cowok tenang, menyenangkan dan dia tak pernah memaksa atau menggurui Andrea dengan segala pernak-pernik pemikirannya. Dia cowok yang mampu mengeluarkan nasihat yang tidak membuat hati siapapun yang mendengarnya ‘jleb’, namun lebih terkesan ‘oh, oke’. Mungkin, itulah yang membuat Andrea tanpa sadar begitu tergantung pada Darwin. Membuat Darwin bagaikan matahari yang menjadi pusat hidup Andrea.
“What you see is ultimately you will get. Kamu harus sudah bisa melihat semua karakternya sebelum menikah, dan bertanya pada dirimu sendiri : can I live with him as he is?” – Andrea – hlm. 205

Between the Raindrops juga bercerita tentang persahabatan dan cinta segitiga, dimana awalnya Darwin berteman akrab dengan Dheeraj Chopra. Tapi, kemunculan Andrea membuat hubungan mereka–secara tidak sengaja–menjadi retak meskipun tak ada perdebatan dan permusuhan. Iyap, Dheeraj menyukai Andrea pula. Lalu, bagaimana hubungan ketiganya? Terlalu spoiler banget kalau semua aku uraikan.
Di novel ini aku suka cara penulis menggambarkan Singapura. Bahkan banyak pengetahuan yang aku dapat tentang seperti apa Singapura, bagaimana persiapan kalau harus ke sana, tarif taksi, tempat makan, dan hal-hal lain tentang Singapura. Ini seperti bonusnya, dan sangat bermanfaat.
Oh, iya ada juga intrik perbedaan agama di keluarga Darwin yang juga mempengaruhi hubungan mereka. Bukan masalah Darwin yang menganut agama berbeda dengan orang tuanya – mungkin, karena penulis tidak menceritakan secara jelas apa agama orang tua Darwin. Darwin hanya pernah bilang, dia sudah sangat beruntung bisa mendapat ijin dibaptis sebagai kritiani. Masalah yang ada di hubungan mereka lebih pada bagaimana ke depannya Andrea dan Darwin menata rumah tangganya jika mereka menikah.
“…kalau kamu jadi hamba Tuhan  dan menikah, apakah nanti jika kamu punya anak, anak itu harus Kristen juga?” – Mama Darwin – hlm. 200

Novel ini benar-benar mengajarkan pembaca untuk lebih teliti dalam menentukan pandangan hidup dan memperhitungkan tujuan ke depannya. Meskipun hati berteriak kokoh untuk satu tujuan, sepertinya kita juga harus melirik dan menimbang tujuan hidup lain, sekedar menjadikan pilihan hidup itu sebagai penyeimbang sebelum memutuskan sebuah pilihan.
“…Bahwa pelarianku selama ini adalah sia-sia dan bodoh. Aku mengira jika tidak lari aku akan kehilangan segalanya. Nyatanya, jika aku terus berlari, aku malah kehilangan hal terbesar dalam hidupku…” – Andrea – hlm. 217

Novel ini juga punya cover yang memikat, dan sejujurnya aku tertarik dengan novel ini karena cover-nya, lalu judulnya. Aku sama sekali tidak membaca blurd di belakangnya saat membeli.
Rating novel ini 3 dari 5 bintang.

Thursday, September 18, 2014

GIVEAWAY BOOKLAZA

Hai para bookhunter dan kuishunter, yang mau Paket buku dan Pulsa 5000 (All Operator) bisa ikutan Giveaway Booklaza di sini >> http://booklazashop.blogspot.com/2014/09/giveaway-booklaza.html
 Paket bukunya berisi 3 buku, lho!
Belanja di Booklaza minimal Rp. 100.000 bisa dapat diskon 5% dan 1 buku gratis. Asik banget, deh!
Coba cek Instagram @booklaza, atau Facebooknya Booklaza, bisa juga di twitternya @booklaza.
Kadang, miminnya bikin kejutan-kejutan seru mulai dari diskon dadakan, atau giveaway.
So, nggak ada ruginya untuk mengikuti Booklaza, apalagi belanja di sana.

Tuesday, September 16, 2014

Resensi – TIGA CARA MENCINTA



#ResensiPilihan
Gramedia Pustaka Utama


Penulis : Irene Dyah Respati
Penerbit : Gramedia
Genre : Romance, Adult
Terbit : 2014
Tebal : x +186 hlm
ISBN : 978 – 602 – 03 – 0606 – 3
Harga : Rp. 48.000
 Terkadang, hidup memang penuh kejutan. Seperti yang terjadi pada tiga wanita dengan latar belakang, asal dan status yang berbeda.
Aliyah, wanita Indonesia yang menikah dengan orang Jepang, Takuma, dan menetap di sana. Hidup Aliyah bisa dibilang bak Cinderella. Bagaimana tidak, dia yang bekerja di Jepang sebagai pembantu, kemudian bertemu dengan Takuma dan hidupnya langsung berubah 180 derajat.
Ajeng, wanita asal Solo namun menetap di Jakarta, kemudian karena tugas kantor, dia sempat menetap di Thailand. Ajeng tipe wanita yang tidak ingin berkomitmen dengan pernikahan. Dia menikmati banyak hubungan singkat dengan laki-laki.
Bukan tanpa sebab Ajeng seperti ini. Dia mengalami trauma saat mengenal cinta pertamanya. Rasa sakit itulah yang membuat dia enggan untuk menjalin hubungan serius.
“Bagaimana bila kita merasa bertemu jodoh setelah kita menikah? Apakah kita harus berpisah dengan pasangan sebelumnya? Pernikahan membuat proses proses berpisah itu semakin ruwet.” – Ajeng – hlm. 52

Terakhir, Miyu. Miyu adalah wanita Jepang yang memilih tinggal di Solo dan belajar tari di sana. Miyu lebih cocok disebut gadis Solo dari pada Ajeng yang asli Solo. Miyu gadis yang lebih bisa berpikir lurus dari pada dua wanita lainnya.
Festival Loy Krathong di Thailand
Mereka bertiga bertemu pertama kali di Thailand saat Festival Loy Krathong. Kejadian Aliyah yang terpleset membuat Ajeng tak sengaja latah meniru kata seru Aliyah. Seorang wanita lain bernama Miyu tampak membantu membawakan Kratong milik Ajeng, karena Ajeng berusaha menolong Aliyah.
Kemudian, perkenalan dimulai. Mereka menertawakan apa yang terjadi pada mereka. Miyu orang Jepang malah tinggal di Solo. Ajeng yang orang Solo malah berdomisili di Jakarta. Sedangkan, Aliyah yang orang Jakarta, sekarang menetap di Jepang.
Mereka tampak menikmati pertemuan itu, dan jalinan persahabatan mulai terjalin lewat obrolan ringan yang perlahan berubah serius karena mereka mulai menceritakan rahasia dan isi hati masing-masing. Aliyah mempunya affair dengan teman satu kantornya. Kemudian, Miyu yang tergoda dengan pria beristri. Lalu, Ajeng yang tak ingin menikah.
“Kenapa yang dilarang selalu justru membuat kita ingin melakukannya? Kenapa aku justru tidak bisa membenci orang ini, yang merayu bertubi-tubu sementara kutahu telah beristri? Kenapa benang pengikat hatiku harus datang dari dia yang tak boleh kusentuh?” – Miyu – hlm. 51

Setelah pertemuan itu, hubungan mereka tak lantas berhenti. Mereka hadir di antara masalah-masalah yang membelit ketiga wanita ini. Mereka saling memberi nasihat, mau menjadi pendengar, dan bahkan ikut berjuang agar masalah itu segera terselesaikan. Terutama dalam mengatasi masalah Aliyah.
“Kekuatan apa yang tersimpan dalam cincin nikah? Cincin hanyalah benda bulat berlubang di tengahnya. Seperti donat. Tengahnya kosong. Kosong seperti hati. Kosong seperti otak laki-laki. Semua berlubang. Menyisakan celah untuk dimasukki.” – Hlm. 92
TIGA CARA MENCINTA,  kemasan minimalis, namun isi penuh. Kenapa aku menyebutnya begitu? Lihat saja tebalnya, hanya 186 halaman. Namun, saat membacanya, banyak sekali hal yang bisa kita ambil teladanya.
Hidup di Jepang, dengan suami orang Jepang, dan hidup sebagai penganut agama minoritas, ternyata sangat sulit dijalani di sana. Ya, ini tentang Aliyah. Dia yang berjuang untuk membuat suaminya – yang masuk Islam karena ingin menikahinya – menjadi penganut agama Islam tidak sekedar Islam buku nikah. Namun, ternyata ini bukan hal yang mudah. Lebih mudah membuat Takuma masuk Islam daripada menyuruhnya belajar Islam.
“Masuk islam saat menikah itu justru starting point. Perjuangan terbesar itu bukan saat kita menarik pasangan pindah keyakinan, melainkan setelahnya.” Aliyah – hlm. 74

Aliyah menuntut Takuma untuk mau belajar, namun Aliyah sendiri yang orang Islam sejak lahir malah tak mau belajar. Terkadang, Aliyah sendiri meninggalkan sholat lima waktu, dan tak memahami seperti apa Islam sebenarnya.
Lalu, kenapa dia harus marah saat Takuma merasa terbebani dengan tuntutan Islam? Harusnya, Aliyah bisa menjelaskan bagaimana Islam agar Takuma bisa menerimanya karena penjelasan itu, dan memberikan contoh yang seharusnya pada sang suami.
Masalah itu semakin menambah keruh keadaan rumah tangga Aliyah yang sudah mulai tak nyaman karena aktifitas kerja Takuma yang super sibuk. Ini membuat Aliyah seperti menemukan udara segar saat dia menjalin hubungan dengan Je. Dan, masalah besar muncul saat Aliyah menyadari dia hamil, hamil bukan dengan Takuma.
“Aku tidak yakin. Mungkin aku ingat mereka, tapi terlalu bahagia, hingga tidak sempat merasa berdosa.” – Aliyah – hlm. 35

Kemudian, saat bertemu Miyu, harusnya kita merasa disentil. Kenapa orang asing seperti Miyu tampak begitu mencintai kebudayaan Negara kita? Lalu, kita yang orang Indonesia asli saja tampak tak peduli dan lebih mencinta kebudayaan asing?
Tapi, bagaimana jika dibalik. Miyu menyadari, dia tak begitu tahu dengan kebudayaan negaranya sendiri. Dia malah lebih memahami Negara orang lain. Kejadian seperti ini sangat sering terjadi di sekitar kita bukan?
Kehidupan Miyu juga menarik. Dia jatuh cinta dengan laki-laki beristri. Tapi, Miyu bukan Aliyah. Dia tahu mana yang harus dipilih. Tapi, apakah dia kuat menahan godaan menggiurkan ini?
Sedangkan Ajeng, wanita metropolis ini tampak menikmati hidupnya. Dia begitu terbuka, namun enggan untuk menjalin hubungan serius.
“…Saya terbuka kepada semua orang, termasuk urusan tabu menurut wanita normal. Bahkan ibuku sudah tahu, menyuruhku menikah itu seperti menyuruh preman perang jihad, alias mustahil. Aku sudah terlalu nyaman dengan hidupku yang sekarang.” – Ajeng – hlm. 59

Dari Ajeng aku berpikir, meskipun seasyik apapun bermain-main, meskipun semua tampak cukup tanpa bantuan pria manapun, tetap saja waktu akan memakan habis usia dan kedikdayaan siapapun. Kita tetap butuh pendamping hidup, anak, ataupun keluarga.
Apakah hidup seperti Ajeng akan bahagia diakhir hidup kita nantinya jika itu yang kita putuskan untuk hidup kita? Jawabannya TIDAK!
“Tapi Jeng, semakin lama kamu menunda pernikahan, semakin tinggi kariermu, semakin matang usiamu, pilihanmu terhadap pria semakin mengkerut.” – Aliyah – hlm. 59

Novel ini membuat pembaca semakin dewasa menjalani hidup. Tak sekedar cinta dan cinta yang menjadi fokusnya. Namun, penulis memberikan banyak sekali petuah berharga di setiap tingkah kehidupan para tokohnya yang terkedang tampak ekstim.
Aku juga menyukai gaya menulisnya, ringan dan seru. Tak banyak basa-basi, langsung hajar. Alur ceritanya juga tidak membuat otak jenuh, malah semakin semangat membaca meskipun akhirnya sudah bisa ditebak. Yang jadi bagian menariknya adalah bagaimana penulis membuat ceritanya menemukan jalan keluar.
Selain itu, Penulis berhasil menciptakan tiga karakter yang berbeda tanpa menggunakan penjelasan secara diskriptif. Penulis memberikan gambaran secara tersirat dari cara berbicara dan tingkah laku tokohnya.
Tiga Cara Mencinta, meskipun dimasukan dalam kategori novel dewasa, aku masih merekomendasikan untuk dibaca remaja dewasa. Tidak banyak bagian non-konsumsi untuk mereka. Novel ini bisa dibilang aman.
Covernya yang terkesan soft dengan warna merah muda yang lembut tampak sesuai dengan karakter novel ini. Dan rating untuk novel ini 3,5 dari 5 bintang.
Terima kasih untuk sang penulis yang membuat aku belajar banyak tentang hidup dan cinta yang lebih dewasa.
Ah, aku dengar ada sekuel dari novel ini? Benarkah? Ya, sepertinya memang perlu sekuel. Karena seperti apa hidup Miyu dan Ajeng belum menemukan jawabannya. Aku juga belum mengenal seperti apa Takuma. Interaksi Takuma dan Aliyah sangat sedikit di novel ini.
So, ditunggu sekali kelanjutannya.

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos