Thursday, April 11, 2013

SAAT GITAR BERNADA



 SAAT GITAR BERNADA

Kaki Alvo terus melangkah menyusuri jalan-jalan pasar loak. Dia sengaja ke sana buat nyari buku-buku lawas yang udah g’ edar di toko-toko buku buat ngerjain karya tulisnya yang g’ rampung-rampung.
Udah tujuh toko dia singgahi, dan dia baru menemukan dua buku. Kayaknya Alvo belum menyerah, langkahnya masih semangat menelusuri jalan-jalan pasar loak, walaupun sebenarnya dia capek banget. Satu lagi toko dia masuki, dan sebuah buku berjudul Sejarah Pemikiran Ekonomi Praklasik telah dibelinya
“Udah ada tiga buku, cukup g’ ya?” katanya menimbang-nimbang. Sesaat dia berfikir, “Kayaknya cukup. Udah dulu, deh! Capek baget” ucapnya sambil melangkah ke arah penjual buku itu untuk membayarnya.
Saat keluar toko, Alvo heran, kenapa ada rame-rame di ujung gang, dia melangkah kesana untuk mengobati rasa penasarannya. Rupanya disana ada seorang gadis pengamen yang asik bernyanyi.
        You… did it again
Did hurt my heart
I don’t know how many times
Oh…You….I don’t know what to say
You’ve made me so desperately in love
And now you let me down
“Wao…keren banget!” kata Alvo dalam hati. Dan dengan sekejap Alvo telah tersihir oleh musik yang dibawakan gadis pengamen itu, dia terdiam. Dia benar-benar mengaguminya.
      Oh…You… successfully tore my heart
Now it’s only pieces
Oh nothing life my  pieces…..
Of  you….
Suara tepuk tangan menggema, Alvo terlihat sangat mengagumi pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya, musik keren di pasar loak yang kumuh. Cewek itu tersenyum, dan membungkukan badannya sebagai tanda terima kasih atas penghargaannya dan juga atas pemberian beberapa uang yang mereka berikan. Alvo g’ sungkan-sungkan untuk mengeluarkan uang lima puluh ribu untuk gadis itu.  
Setelah semua pergi, gadis itu juga beranjak pergi. Tapi Alvo mencoba mendekati gadis pengamen itu.
“Hai….” Gadis itu tetap melangkah, ia tak menghiraukan Alvo. “Hai…tunggu…hai….” Alvo masih mencoba mengejarnya.
Sepertinya gadis itu mulai tahu kalau dia yang dipanggil, dia berhenti dan berbalik, “Hai…aku Alvo….” Kata Alvo menyapa gadis pengamen itu, tangannya diulurkan, tapi gadis itu terlihat ragu membalas uluran tangan Alvo, tapi akhirnya disambut juga walau dengan agak bingung. “Suara kamu bagus, dan petikan gitar kamu g’ kalah bagus. Kenapa milih ngamen?” lanjut Alvo.
“Memang ada larangan g’ boleh ngamen?” gadis itu balik tanya dengan nada dingin.
“Bukan, bukan! Kok g’ nyanyi di café aja? Disana kayaknya lebih layak buat pemusik sehebat kamu”
“Aku merasa ngamen lebih asik” jawabnya, kemudian gadis itu pergi.
Keesok harinya, di jam yang sama, Alvo balik ke tempat kemarin dia menemukan gadis pengamen bertalenta hebat itu. Tapi, disana tak ada satu pengamenpun, hanya ada beberapa pengemis yang masih sibuk meminta-minta.
Dia coba keliling pasar, tapi g’ ada juga. Akhirnya dia putus asa, dia memilih untuk pulang saja. Saat dia melangkah menuju parkiran mobil, seorang menabraknya. Sekejab, Alvo langsung tahu siapa dia, cewek itu berusaha kembali lari, tapi tangan cewek itu sudah terlanjur tercengkam tangan Alvo.
“Lepasin…!” kata cewek itu gusar. Sesaat kemudian beberapa petugas Trantib muncul. Alvo baru tahu kenapa cewek itu terlihat panik. Dengan sigap, Alvo menarik tangan cewek itu lari ke mobilnya, dan mereka aman dari kejaran Trantib.
Nafas keduannya masih terengah-engah.
“Makasih….!” Kata cewek itu, kemudian dia beranjak pergi. Belum sempat pintu dibukannya, Alvo mencegahnya pergi.
“Bentar, em…aku Alvo….yang kemarin, ingat?” tanyanya. Cewek pengamen itu hanya mengangguk pelan. “Nama kamu?” lanjut Alvo. Gadis itu tak juga mau bicara, dia seperti enggan menjawab pertanyaan Alvo, “Em…keberatan jawab, ya?”
“Nada…!” jawabnya.
“Nama yang unik, cocok sama orangnya”
“Aku harus pergi!” dan Alvo membiarkannya pergi, Alvo masih memperhatikan langkah Nada. Dia penasaran dengan gadis itu. Dia bertekat, besok dia akan mencari cewek pengamen itu lagi.
Saat di jalan, Alvo seperti tak asing sama sosok cewek bertopi yang melambaikan tangan pada sebuah taksi.
“Itu ‘kan Nada?” kata Alvo pada dirinya sendiri. Makin penasaran dia sama cewek itu. Pengamen, tapi naik taksi. Aneh banget!
Diikutinya taksi itu. Rupanya taksi itu berhenti di depan pakar tinggi yang melindungi sebuah rumah mewah. “Ngapai Nada ke rumah Varo?” rupanya Alvo tahu itu rumah siapa. “Apa mungkin Nada pembokatnya, ya?!”
Esok harinya di Kampus Alvo nemuin Varo. Dia benar-benar penasaran sama kejadian tadi malam.
“Hai, bro!” sapa Alvo.
“Hai…!”
“Eh, elo punya pembokat hobi musik, ya?”
“Pembokat sih banyak di rumah gue, tapi yang hobi musik g’ ada, deh! Adanya, sih hobi masak sama bersih-bersih rumah. Emang kenapa?”
“Kemarin gue lihat ada pengamen, cewek! Suaranya keren banget. Waktu di jalan gue lihat dia naik taksi, gue ikutin aja, abis penasaran. Eh, dia malah berhenti tepat di depan rumah elo!”
“Masak, sih?! Pengamen masuk rumah gue?”
“Iya! Gue pikir dia pembokat elo! Kalau g’ percaya entar elo ikut gue. Gimana?”
“Oke! Gue penasaran juga!”
Pulang dari kampus, Alvo beneran ngajakin Varo ke tempat biasa Nada mangkal. Tapi dia g’ ada di tempatnya, mereka g’ nyerah. Alvo sama Varo keliling. Waktu ada gerombolan orang-orang, mereka berdua mendekatinya. Rupanya benar, itu Nada.
“Nada!” kata Varo kaget melihat adiknya ngamen dan cewek itu g’ kalah kaget saat namanya disebut. Melihat orang yang memanggilnya, Nada lari. Orang-orang disana pada protes. “heh…kok pergi!”.
Varo mengejar Nada, dan Alvo mengejar mereka berdua. Alvo bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Nada dan Varo masih kejar-kejaran, dan g’ terlalu lama Varo sudah menangkap bahu Nada. Nada bersaha melarikan diri, tapi cengkraman tangan Varo terlalu kuat.
“Jadi selama ini kerjaan elo di luar rumah ngamen? Mau elo apa, sih? Mau bikin keluarga kita jelek, mau malu-maluin gue sama bokap? Jawab!” bentak  Varo. Nada masih membisu. Matanya g’ kalah hebat menatap mata abangnya yang lagi murka. “Gue bener-bener g’ ngerti sama elo!” tambah Varo.
“Emang g’ ada yang ngerti aku! G’ ada, bang! Kecuali mama…tapi sekarang mama udah pergi…pergi untuk selamanya dan ninggalin aku sendiri…abang g’ akan ngerti gimana perasaan aku, karena abang memang g’ pernah peduli sama aku….” Kata Nada dengan emosi.
Abang? Jadi Nada adiknya Varo? Kata Alvo dalam hati. Dia semakin mengerti apa yang terjadi. Alvo jadi nyesel ngajakin Varo kesini. Hhhhuuuu…..
Nada hanya duduk-duduk di taman belakang. Dia kesepian tanpa gitarnya. Nada memang g’ lagi ngamen. Gitar satu-satunya udah jadi barang rongsokan setelah dihancurkan papanya.
“Non, ada yang nyari….!” Kata pembantunya.
Seorang cowok mendekati Nada. “Hai…” rupanya itu Alvo. Nada terlihat tak begitu peduli, dia terlihat masih sibuk memperhatikan kupu-kupu yang asik menghisap madu pada bunga mawar. “Sorry, aku g’ tahu kalau kamu adiknya Varo. Aku ngrasa bersalah banget….” Nada masih diam. “Kamu orang kaya, tapi ngamen, kenapa?” Nada tak juga mau menjawabnya, “Maaf kalau kamu merasa g’ nyaman dengan kehadiranku, aku cuman mau tahu apa yang terjadi sama kamu” Nada tetap membisu. Alvo masih duduk di dekat Nada. Dia capek ngomong sendiri, akhirnya dia ikut-ikutan diam.
Lama-lama suasana jadi g’ enak dan terpaksa Alvo ngalah, dia yang mencoba memancing pembicaraan, “Aku kesini mau bantu kamu, aku tahu Varo dan papa kamu g’ suka kamu main musik, karena mereka g’ tahu gimana hebatnya suara dan permainan musik kamu. Aku yakin, jika mereka mau melihat dan mendengarkan kamu bernyanyi, mereka pasti akan merubah pendapatnya”
“Percuma!” akhirnya Nada mengeluarkan suaranya juga, walau cuman satu kata.
“Kenapa g’ dicoba dulu?” Nada hanya menggeleng. “Ayolah, Nada! Aku yakin, kamu pasti bisa. Suara kamu itu indah, kamu g’ boleh sia-siain”
“Udahlah, g’ usah maksa-maksa aku. Asal kamu tahu, suara aku itu cuman bisa bikin papa marah” jawab Nada dengan kesal.
Yah, semua ini karena Mama Nada meninggal sepuluh tahun lalu karena kecelakaan. Papa Nada akan langsung marah kalau mendengar dentingan gitar dan suara nyanyian di rumahnya. Jadilah, Nada dilarang keras buat bernyanyi dan bermain musik.
Mama Nada adalah seorang penyanyi, dan karena suara merdu itulah Papa Nada bisa jatuh cinta pada istrinya yang sekarang sudah tiada itu. Makanya, setiap kali Nada bermain gitar dan bernyanyi, Papa Nada akan teringat istrinya, karena Nada memang persis banget sama mamanya.
“Ayo ikut aku…..!” tangan Alvo menarik Nada untuk bangun dari kursi.
“Eh, elo mau ajak adik gue kemana?” tanya Varo.
“Udah, elo juga ikut!”
“Mau kemana, sih?!” tanya Nada.
“Sudahlah, rahasia! Pokoknya ini surprise buat kalian berdua….! Ayo!”
“Eh, ganti baju dulu!” kata Varo, sambil berjalan ke kamarnya.
“Oh, iya….! Cepetan, ya!”
Varo masih nunggu dua orang itu ganti baju, g’ lama ‘kok, cuma lima menitan, dan sekarang mereka udah ada di depan muka Alvo.
“Ya udah yuk! Pakek mobil gue aja!” dan dua orang itu dengan agak malas mengikuti langkah Alvo. Rupanya mereka ke café.
“Ngapai, elo ngajakin kita berdua kesini? Mau nraktir? Gue kira apaan?!” komentar Varo.
“Traktir gampang! Tapi bukan itu tujuan kita. Tenang aja, entar juga tahu” dan mereka masuk.
Mereka bertiga g’ada yang minat bicara, semua diam. Hanya alunan musik dari panggung yang terdengar. Saat lagu itu berakhir, seorang laki-laki, ya kayak pembawa acara gitu, memanggil nama Nada untuk naik ke panggung dan bernyanyi. Jelas Nada kaget.
“Buktikan, Nada!” kata Alvo, Nada semakin bingung.
“Eh, maksud, elo apaan, sih?!” tanya Varo.
“Udah, deh! Elo lihat entar….ayo, Nada maju sana!” akhirnya Nada melangkah juga ke atas panggung dengan setengah hati.
Diambilnya gitar yang berada di dekat keyboard, lalu dia melangkah ke sebuah kursi, dia duduk disitu, dibenahinya tinggi penyangga mix, dan dia mulai mencoba memetik gitar akustik di tangannya. Ada sesuatu yang terlepas dihatinya saat gitar mulai bernada.
      Sedikit waktu yang kau miliki
Luangkanlah…untukku harap secepatnya…. datangi aku
Sekali ini kumohon padamu
Ada yang ingin ku sampaikan…..Sempatkanlah…
Suara Nada kembali menyihir semua orang. Senyap, benar-benar senyap, hanya ada suara gitar dan alunan suara Nada. Varo terdiam, memandang sosok yang sangat dikenalnya, kini membuatnya tak mengenalnya lagi. Nada benar-benar berbeda saat memegang gitar dan bernyanyi. Sangat berbeda. Ada senyum indah disana, senyum yang selalu tersembunyi dalam sunyi.
“Ini yang ingin gue kasih lihat ke elo, bro! Elo baru sadar ‘kan? Elo punya adik calon musisik hebat masa depan?” kata Alvo, dan Varo hanya diam.
Nada memang tak pernah bernyanyi di rumah setelah ada aturan baru di rumahnya kalau ‘g’ ada yang boleh bernyanyi apalagi main musik di rumahnya’.
 “Elo mau ‘kan bantu Nada meraih mimpinya?” lanjut Alvo.
Varo tersenyum, “Gue usahain!”
Dengan bantuan abangnya, Nada mencoba ke taraf yang lebih tinggi, rekaman. Itupun tanpa sepengetahuan papanya. “Entar aja, kalau semua udah beres dan album sudah launching, papa baru kasih tahu”, kata Varo pada Nada suatu hari.
Nada sekarang g’ sendiri, dia punya abang dan sahabat serti Alvo yang menegarkannya saat dia terpuruk dan mulai putus asa. Sekarang mimpi itu telah menjadi nyata. Album Nada dengan cepat menjadi popular. Dan saat launching, ada tamu istimewa disini. Panji Atmajaya, papanya.
Belia terlihat terpana melihat putrinya di atas panggung menjadi perhatian semua orang. Perlahan air mata mengalir dari dua mata manusia otoriter ini. “Maafkan aku Karmila…aku salah! Aku salah melarang Nada bernyanyi, dia begitu hebat….lihatlah dia, dia sepertimu saat pertama kali aku melihatmu” Panji Atmajaya, sekarang ego yang dia pertahankan itu runtuh.
Tiba-tiba Varo merangkul pundak papanya dengan lembut, “Itu Nada yang sebenarnya, pa!”
“Iya….! Dia begitu hebat…seperti mamamu….” Dua orang laki-laki itu tersenyum bangga.
Sekarang dia tahu apa yang terbaik untuk putrinya. Musik….! Satu lagi,  dia sangat mengagumi saat gitar bernada berdenting indah.
Baginya melihat Nada bermain musik dan bernyanyi bukan lagi mimpi buruk, tetapi obat rindu kepada istrinya, Karmila Atmajaya.

No comments:

Post a Comment