PEMENANG LOMBA CERPEN
BERTEMA #moveon YANG DI
ADAKAN @dylunaly #QuizDy
Oh, God! Apa nggak ada tempat lain di kota ini selain Coffee House?
Kuberanjak tergesa
menaiki tangga pendek dan langsung menghambur masuk ke dalam salah satu warung
kopi paling elit di kota ini.
“Selamat datang!”
Sapaan pelayannya sama
sekali tak kuhiraukan. Aku terus bergerak maju mencari sebuah tempat yang
paling nyaman untuk menunggu.
Setelah duduk di sebuah
sofa dengan meja bulat di tengahnya, kubuka tab-ku
untuk mengecek pekerjaan. Aku berusaha memfokuskan hatiku sekaligus otakku
untuk tidak jadi kaset rusak yang lagi-lagi memutar masa laluku.
Seorang pelayan datang.
Dia menyapaku, mengatakan kalimat-kalimat yang sudah diset diingatannya untuk
selalu disampaikan kepada para pengunjung. Ini benar-benar membosankan.
“Espresso!” Kuhentikan penjelasannya tentang menu apa yang sedang hit di sini, dan rekomendasi bla..blanya
yang membuatku pusing.
Setelah mengatakan,
“Baiklah, mohon tunggu sebentar.” Dia langsung cabut. Good!
Aku menghela nafas.
Kulempar pasrah punggungku ke sandaran sofa coklat yang kududuki.
Kenapa coba tadi duduk di sini? batinku kesal setengah mati.
Serius, aku nggak sengaja
duduk di pojok dekat kaca besar yang menghadap jalan raya ini. Tempat paling
favorit aku dan… sudahlah! Yang jelas, sekarang aku semakin frustasi.
Ponselku berbunyi,
ternyata hanya pesan singkat dari klienku yang mengabarkan dia akan terlambat
tiga puluh menit dari waktu yang dia janjikan. Oke, aku harus jadi orang sabar
sekaligus tabah hari ini.
“Espresso itu nggak cocok sama cewek. Harusnya kamu
minum latte atau cappuccino.” Dia menukar cangkirku dengan punyanya.
Aku hanya mengerutkan keningku, bingung.
“Aku suka pahit, dan latte kamu itu terlalu
manis.” Kuputar kembali kedua cangkir itu ke posisi semula.
“Nah, itu, cewek nggak baik minum pahit. Bikin dia terkesan
kuat kayak cowok!” lagi, cangkir itu berpindah.
Aku menghela nafas dan pasrah. “Kamu sok tahu!”
Dia tertawa. “Aku memang tahu! Buktinya, ya, kamu.”
“Ha?”
“Kamu itu terlihat terlalu kuat, terlalu superior. Jadilah
manis sedikit kayak latte ini.”
Aku hanya tersenyum. Kata-katanya itu sama sekali tak
kuanggap. Dan, terpaksa aku meneguk latte yang manisnya
bikin eerrrrgggg…
Aku menggeleng cepat,
mengusir bayangan masa laluku.
Otak oh otak! Bukannya kamu sudah aku perintahkan untuk
membuang rekaman itu? Kenapa tetap saja kamu simpan? Lama-lama kamu yang akan
kubuang! Gerutuku
kesal sambil menyambar gelas espresso-ku.
Rasa pahit yang menjalari
lidahku membuatku rileks untuk sesaat.
“Bisa nggak sih kamu nggak ngatur aku?!” teriakku tepat di
depan mukanya.
“Aku nggak ngatur kamu. Aku hanya ingin kamu berubah.” Dia
masih tampak sabar.
“Oh, please! Kamu bilang, kamu nggak
ngatur aku? Yang benar aja!” Aku duduk frustasi di depannya.
“Aku hanya ngingetin kamu tentang kodrat kamu sebagai wanita.
Itu saja, kok! Sampai kapan kamu mau kerja gila-gilaan seperti ini?”
“Kerja gila-gilaan?”
“Iya! Kamu ingat, kan kita akan menikah enam bulan lagi? Dan
setelah enam bulan itu, kamu punya tanggung jawab ngurus rumah tangga kita, dan
kalau kita punya anak, kamu harus ngurus dia. Aku nggak mau dia sampai
terlantar.”
“Jadi, itu alasan kamu nyuruh aku resign dari kerjaan aku?”
“Kamu, kan bisa nyari pekerjaan yang nggak ngawur. Apa aku
salah?” suaranya mulai kesal. Tapi, dia masih tampak menekan emosinya.
“Ngawur? Kamu bilang pekerjaanku ngawur?” Emosiku makin
meledak.
Itulah beda kami. Dia lebih bisa mengendalikan diri, dan aku
selalu tak terkendali.
“Kamu lulusan IT. Dan sekarang kamu jadi manager artis. Waktu
kamu nonstop sama dia. Bukannya itu ngawur?”
Aku mengeram. “Lalu apa yang kamu mau?”
“Pilih pernikahan kita, atau pekerjaan kamu!” katanya sangat
tenang.
Aku diam. Kupandang dia dengan tatapan tak percaya.
“Aku pilih pekerjaan aku!” jawabku ketus. Meski hatiku super
sakit, tapi sebisa mungkin aku ingin terlihat baik-baik saja di depannya.
Huffff…entah berapa kali
aku membuang nafas sekeras itu. Tapi, kenangan itu memang menyakitkan. Kenangan
yang membuatku menyesal tujuh turunan karena mencampakkan dia hanya karena
pekerjaan.
Harusnya, aku tahu diri,
harusnya aku menyerah dan menerima usulannya. Menjadi seorang tenaga IT bukan
hal yang buruk, kan? Meski aku tahu, pekerjaanku sekarang lebih menjanjikan. Apalagi
artis yang aku pegang adalah artis papan atas.
Kulirik jam tanganku, ini
sudah hampir tiga puluh menit. Tapi, klienku belum datang juga. Kalau sampai
tiga puluh menit lagi dia belum datang, nggak sudi aku suruh nunggu lagi. Dia
pikir aku punya banyak waktu untuk ngopi sendirian kayak jomblo patah hati yang
nggak bisa move on ini. Eh, bukannya itu memang aku banget?
Sial…sial…siaaaal! teriakku dalam hati.
Kulambaikan tangaku pada
seorang pelayan. Kupesan segelas latte
seperti yang pernah dia sarankan padaku. Mungkin, aku harus merubah diriku. Mengganti
espresso menjadi cappuccino atau latte.
Mengatur hidupku, tak lagi menjadikan pekerjaan nomor satu. Dan semua tetek
bengek yang pernah dia katakan padaku, dulu.
Tapi, tetap saja aku
sudah terlambat. Mau berubah sedrastis apapun, dia sudah pergi. Dan, aku tak yakin
dia akan kembali. Semakin tak yakin lagi, dia mau menerimaku lagi.
Kupandang lampu jalan yang
mulai dinyalakan. Senja memang indah meski tertutup hiruk pikuk kota. Tapi, senja selalu bisa mengantarkan asa,
menuliskan rindu. Yah, kamu bisa menitipkan salammu untukku pada senja kapan
saja.
Kali ini kenangan
membuatku tersenyum. Aku masih menghafal luar kepala kalimatnya sebelum dia
berangkat ke Belanda untuk seminggu menjalankan tugas kantornya, tiga tahun
yang lalu.
Apakah aku bisa
menitipkan salam dan aroma latte
kesukaannya ini pada senja? Aku hanya ingin senja menyampaikan, ternyata aku
tak benar-benar bisa hidup baik-baik saja tanpanya.
Aku sangat merindukanmu. Aku masih sangat…sangat...sangat mencintaimu,
senjaku.
Kupejamkan mataku. Deru
dadaku mengoyak pertahananku. Menciptakan segaris jejak air mata di pipiku.
“Permisi.”
Sapaan sopan seseorang
membuatku terkejut.
Kuhapus air mataku dengan
cepat. “Ya?” secepat itu pula gambaran perih di wajahku lenyap.
Untuk sementara aku akan
terbebas dari kenangan itu. Karena bekerja selalu membuatku menjadi bagian lain
dari diriku. Kuat dan terkesan superior. Ya, itulah aku. Persis seperti yang
dia katakan waktu itu.
keren banget cerpennya. mengalir, emosinya juga terasa. keren deh. keep writing ya mbak
ReplyDeleteHai, Mas Arman. Hihihi...terima kasih sudah baca cerpenku. Terima kasih juga pujiannya :D
ReplyDeletebagus nih cerpennya, dan selamat yaa kamu menang quiz nya mbak Dy
ReplyDeleteSelamat ya udah menang #QuizDy :)
ReplyDeleteHalo Mbak Ina dan Mbak Rindang.
ReplyDeleteTerima makasih banyak... hehehe... nggak nyangka menang :D
Iki cerpen cukup suwi ya. aku sampek lali critane :v
ReplyDeleteMb Reny : Sing punya hajat lg ngumumne ndek bengi. :D
ReplyDeleteiuuhh2........ jempolan dah...:D
ReplyDeleteAhahahaha... terima kasih, Dek Kiki :D
ReplyDelete:) suka.
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Risya
ReplyDelete