Wednesday, July 2, 2014

Cerpen – OUT OF REACH



Diikutsertakan dalam
Tantangan menulis
Yang diadakan @NovelAddict_

Jika boleh memilih, aku tak ingin bertemu dengannya. Saat ini, maupun saat pertama kali aku melihatnya. Karena bagiku, jatuh cinta padanya adalah beban.
Ah, kenyataannya dia sekarang ada di hidupku, bahkan dia berhasil bersemayam dalam hatiku. Tersembunyi. Tak terlihat dari luar, memang. Tapi, aku mencintainya.
“Kau belum pulang?”
Sandy menghampiriku yang masih membaca Novel People Like Us karya Yosephine Monica.
Mendengar suaranya, langsung membuatku mengangkat mata. “Belum.” Setelah melihatnya sesaat, kualihkan kembali mataku pada apa yang menjadi fokusku tadi. “Aku sedang menunggu Trisna. Tapi…” Kuangkat bahuku tak acuh. “Sampai sekarang, dia belum juga datang.”
Sandy mengambil tempat duduk persis di sebelahku.
Ah, sial, kalau sudah begini, aku harus bisa mengatur detak jantungku.
“Kenapa nggak pulang duluan?”
Kulirik dia, ternyata Sandy sedang melihat jam tangan. Sepertinya, dia juga sedang menunggu, sepertiku.
“Trisna bilang jangan ditinggal.” Aku tak lagi melirik ke arahnya. “Jadi, aku menunggunya.”
Lama tak kudengar jawaban. Kulirik lagi dia, ternyata dia mengamati novel yang sejak tadi kupegang, namun tak lagi menarik untuk kubaca.
Novel ini memang tampak begitu menyedot perhatianku. Sebenarnya, seluruh saraf dan otakku hanya tertuju pada satu sasaran. Ya benar, si cowok yang ada di dekatku saat ini, hanya dia.
Bisa bayangkan bagaimana tersiksanya aku di dekatnya? Sangat tersiksa! Aku harus mengendalikan mataku, hatiku, terutama jantungku. Parfum maskulin yang selalu menguar dalam tubuhnya pun ikut-ikutan membuatku semakin kikuk di depannya. Apalagi dengan jarak sedekat ini. Ya ampun…ya ampun… sepertinya kepalaku berputar.
“Kamu  nggak pulang?” tanyaku balik.
“Nunggu Rasti.”
Aku hanya mengangguk. Mengerti.
Rasti, gadis itu terlalu beruntung mendapatkan teman sekelasku ini. Cowok yang sejak… Sejak kapan, ya tepatnya? Aku sendiri tak tahu. Yang jelas, aku mulai merasakan detak jantungku tak stabil setelah dia sering mendekatiku─sekedar menyapaku atau meminjam PR.
“Rasti!!!”
Teriakan Sandy membuatku melihat ke arah yang dia tuju.
Seorang gadis berseragam persis sepertiku tampak melambai ke arah kami. Salah, ke arah Sandy tepatnya. Senyum manisnya berpendar menggoda dari bibir merahnya.
“Mia, aku duluan, ya?” pamit Sandy sambil berdiri.
Aku mengangguk, dan mengiringi kepergiannya dengan tatapan tak rela.
Selalu seperti ini. Rasanya, ada yang patah setiap kali melihat Sandy bersama kekasih tersayangnya.
Tanpa sadar, kuhembuskan napas keras-keras. Dan, karena terlalu fokus pada cowok itu, kedatangan Trisna pun tak kusadari.
“Jangan dilihatin terus. Bikin tambah sesak saja!” Komentarnya, sambil duduk bersandar pada tembok.
Lagi, aku menghela napas dengan keras. Tatapanku masih mengikuti langkah dua sejoli itu. “Kapan, ya Sandy menghampiriku dengan senyum seperti yang dia beri untuk Rasti? Bukan dengan senyum saat dia pinjam PR, atau sekedar menyapaku.”
“Tak ada yang tahu cara Tuhan mengatur hidup kita. Mungkin, suatu saat. Atau mungkin, ada orang lain yang akan menghampirimu seperti itu.” Trisna terdiam beberapa saat. “Ayo pulang, aku lapar!”
Kualihkan tatapanku pada Trisna yang ternyata sudah berdiri kembali.
Aku hanya mengangguk, menutup novelku dan memasukkannya ke dalam tas sebelum beranjak mengikuti langkah sahabatku.
Pikiranku pun masih melantur pada Sandy. Sampai-sampai kekesalanku pada Trisna yang tadi pamit sebentar ke ruang OSIS, dan malah membuatku jamuran menunggunya─menguap begitu saja.
***

Halo, Sandy…
Senang melihat senyummu pagi ini.

Itu tulisanku di buku diary untuk pagi ini.
Setiap masuk sekolah, dan melihat Sandy, aku selalu menuliskan perasaanku di buku biru laut yang selalu kubawa ke mana-mana. Memang tampak norak, tapi mau bagaimana lagi, aku tak mungkin mengatakan itu langsung pada si pemilik nama.
“PR Matematika, dong Mia.” Sandy sudah nyengir kuda di samping mejaku.
Lebih dulu kututup buku biru itu agar tak terbaca siapapun. Barulah kuraih isi tasku dan menyerahkan buku Matematika yang dimintanya.
Thanks!” Dengan senyuman yang selalu membuatku menghela napas, Sandy meninggalkanku.
Kulihat Sandy sudah melepaskan tasnya dan menaruh sembarangan di atas meja. Kemudian, dengan cepat, dia mengeluarkan bukunya dan segera menyalin PR. Selalu seperti itu. Aku tak peduli seperti apa Sandy menganggapku. Aku tak peduli kalau harus meminjaminya PR seumur hidupku. Hanya satu yang tak ingin hilang, kebiasaannya menghampiri aku dan menyebut namaku. Hanya itu.
***

“Bentar, Na. Bukuku hilang,” kataku panik.
Saat memberesi barang-barangku sebelum pulang sekolah, aku baru sadar, buku biru kesayanganku tak ada. Ke mana, ya?
“Memang, tadi kamu bawa ke mana?” Trisna sudah duduk di kursi persis di depanku sambil memperhatikan aku yang mengacak-acak tas.
Aku berhenti. Mengingat-ingat, ke mana tadi membawa buku itu? Sebentar, tadi aku membawanya ke musholla, lalu ke perpustakaan. “Aku ingat, kayaknya tertinggal di perpustakaan.” Jawabku sedikit tersentak.
Tanpa menunggu reaksi Trisna, aku sudah berlari ke tempat di mana kira-kira aku bisa menemukannya. Sayang, saat aku sampai di sana, benda itu sudah tak ada. Waktu kutanyakan pada Pak Gun atau Mbak Isna, pustakawan sekolahku, mereka berkata tak melihat buku yang aku maksud.
Aku kembali ke kelas dengan wajah tertunduk, dan pasrah akan kehilangan buku itu selamanya.
“Kamu mencari ini?”
Sekejap, kuhentikan langkahku. Kuputar pandangan ke arah datangnya suara.
Sandy sedang berjalan ke arahku. Dan mengacungkan buku itu kepadaku.
“Rasti tadi yang menemukannya. Saat membukanya, dia membaca namamu, dan memberikannya padaku.”
Rasti? Dia yang menemukannya?
“Oh, iya… maaf, aku tadi membacanya.”
Aku seperti disambar petir mendengar pengakuan Sandy. Membacanya? Sandy membacanya?
“Rasti juga?” tanyaku sangat, sangat lirih.
Sandy mengangguk.
Kupeluk buku biruku makin erat di dada, dan kupejamkan mataku. Aku seperti menunggu hukuman yang akan dijatuhkan untukku.
“Rasti marah?” Aku kembali bertanya tanpa membuka mata.
Kudengar suara desahan napas Sandy. “Hanya tampak cemburu.”
Kubuka mata, dan langsung kutemui wajah Sandy yang tak seperti biasanya.
“Jangan hiraukan apapun yang ada di dalamnya,” ucapku.
Sandy berpaling padaku. Dia tersenyum, lalu mengangguk. “Aku nggak menyangka kamu…” Dia tak meneruskannya.
“Maaf,” hanya bisikan yang keluar dari bibirku.
Dia menggeleng, “Menyukai seseorang sama sekali bukan kesalahan. Jadi jangan minta maaf.”
“Tapi… “Aku ingin mengatakan sesuatu. Namun, rasanya aku kehilangan pembendaharaan kata. “Tapi…”
“Sudahlah.” Dia menghentikan kata-kataku. Lalu, tersenyum lagi. “Terima kasih.”
Terima kasih? Keningku berkerut.
“Untuk perasaanmu padaku.” Seperti tahu isi kepalaku, dia meneruskan kalimatnya. “Aku tak menyangka cewek pintar, dan juara umum di sekolah ini suka sama aku.” Ada tawa lirih yang menyembul dari bibirnya.
Kubalas dengan senyuman hambar. Ada sedikit rasa lega mendapatinya tak mempermasalahkan perasaanku.
“Tapi, maaf.” Dia memandangku dengan tatapan bersalah.
“Aku tahu.” Aku berusaha menampakkan wajah baik-baik saja.
Sebenarnya, aku lebih memilih dia tak tahu selama-lamanya tentang perasaan ini. Tapi, Tuhan memilihkan jalan lain.
“Yah…” Dia mengangguk. “Maaf.” Dia masih saja mengucapkannya.
Andai dia tahu, maaf yang dia ucapkan malah membuatku sesak saja.
“Bukan salahmu! Tidak bisa membalas cinta juga bukan kesalahan, kan?”
Alisnya tampak naik sebelah.
Aku tersenyum, “Bukan salahmu jika kamu tak bisa membalas perasaanku. Aku tahu, kamu hanya mencintai Rasti,” jelasku.
Dia tersenyum lagi, dan mengangguk. “Semoga kamu menemukan cowok yang baik, Mia.” Dia menatapku beberapa saat.
Aku menunduk.
“Aku pergi dulu. Rasti menungguku.”
Kuangkat wajahku saat aku mendengar suara langkahnya.
“Sandy!!!” Suara agak kencangku membuatnya berhenti dan berbalik.
“Apa besok kamu masih mau meminjam PR-ku?”
Seringaian yang sering muncul setiap pagi saat meminjam PR─muncul. Dia mengangguk. Membuatku tersenyum. Aku balik mengangguk.
Sandy mengangkat tangannya, dan melambai sesaat. Lalu, berbalik dan benar-benar meninggalkanku. Dia pergi untuk cintanya, Rasti.
Ah, ternyata sakitnya baru benar-benar teras saat dia sudah pergi.
Ya, aku patah hati. Sakit sekali. Sampai-sampai aku tak bisa menahan genangan air mata di pelupuk mataku. Sial!
Aku tertunduk, terisak pelan sambil meremas buku biruku.
“Anggap saja ini cobaan sebelum menemukan Mr. Right-mu, Mia.” Bisik Trisna dari balik bahuku.
Kulihat Trisna tersenyum ke arahku. Senyum menguatkan.
“Tak ada gunanya menangisi cowok yang tak mencintai kita.” Suaranya berbisik. Mungkin, dia tak ingin beberapa siswa yang masih satu-dua hilir mudik di sekitar kami mendengarnya. “Hapus air matamu, sebelum orang-orang melihat!” tegurnya sambil menyeretku kembali ke kelas.
Tak ada gunanya menangisi cowok yang tak mencintai kita. Mungkin Trisna benar. Tapi, hatiku ini tak sama seperti otak yang bisa melihat realita. Dia lebih memilih jujur pada apa yang sedang kurasakan. Sakit hati dan terluka.
“Nih!” sampai di kelas, Trisna memberikanku sepucuk surat, bukan selembar tissue untuk menghapus air mata. “Dari Galih.”
“Galih?” tanyaku dengan suara serak.
Trisna duduk di sampingku. “Galih si Ketua OSIS.” Dia memandangku penuh arti. “Ternyata, selama ini dia suka sama kamu.” Sekarang, ada senyum menggoda di bibirnya. “Aku sudah punya firasat saat dia sering  menanyakanmu. Coba kamu buka suratnya. Aku juga penasaran sama isinya.” Trisna tertawa pelan.
Aku membuka amplop biru itu. Sepertinya, dia tahu warna kesukaanku. “Kapan kamu mendapatkan surat ini?”
“Kemarin, saat aku ke ruang OSIS. Aku lama waktu itu karena Galih. Dia tampak tak yakin untuk bicara dan minta tolong padaku.” Dia mendesah. “Tapi, akhirnya dia nekat juga menitipkan itu untukmu.” Ah, Trisna tertawa lagi.
Kubuka lipatan sederhana yang dibuat Galih. Isinya tak panjang. Dia hanya menuliskan beberapa kalimat.
 Hai, Mia.
Apa kamu sudah punya pacar? Semoga belum. Karena aku ingin kamu menjadi kekasihku. Katakan jawabannya pada Trisna. Terima kasih.

Aku tersenyum geli membacanya. Rasa pedihku sedikit terobati.
Selama ini aku tahu Galih tipe cowok to the point, tegas, dan em… apa, ya? Aku tak terlalu mengenalnya juga.
“Kenapa?”
Kusodorkan surat itu pada Trisna. “Surat cinta khas Ketua OSIS.”
Dan, Trisna tertawa terpingkal-pingkal setelah membacanya. “Benar, khas Galih! Ya ampun. Apa dia tak bisa sedikit romantis? Ini datar sekali!” Tawanya berangsur reda. “Kamu akan menerimanya?”
Kuangkat bahuku. “Saat ini rasanya aku belum siap. Aku baru patah hati.”
“Oke, sembuhkan dulu hatimu. Eh, bukannya Galih akan menjadi obat paling manjur?”
“Hai, aku tak ingin mencari pelarian.”
“Baiklah-baiklah! Saranku, jangan sia-siakan Galih. Dia cowok yang baik.”
Aku tak menjawabnya. Sudah kubilang, hatiku bukan otak yang bisa berpikir realistis. Hatiku ini setengahnya lebih, sudah diisi oleh Sandy. Jadi mau tak mau, sementara ini, aku harus berkutat pada rasa perih. Setelah agak lebih baik, aku janji, aku akan memikirkan tawaran Galih.[]

1 comment:

  1. Halo, Kak :)
    Selamat ya, Kakak mendapatkan kado dari aku. Diterima, ya. Terima kasih :D

    The Liebster Award
    http://lajengpadma.blogspot.com/2014/07/the-liebster-award-perdana.html

    ReplyDelete