Diikutsertakan dalam
Tantangan menulis
Yang diadakan @NovelAddict_
Jika
boleh memilih, aku tak ingin bertemu dengannya. Saat ini, maupun saat pertama
kali aku melihatnya. Karena bagiku, jatuh cinta padanya adalah beban.
Ah,
kenyataannya dia sekarang ada di hidupku, bahkan dia berhasil bersemayam dalam
hatiku. Tersembunyi. Tak terlihat dari luar, memang. Tapi, aku mencintainya.
“Kau
belum pulang?”
Sandy
menghampiriku yang masih membaca Novel People Like Us karya Yosephine Monica.
Mendengar
suaranya, langsung membuatku mengangkat mata. “Belum.” Setelah melihatnya
sesaat, kualihkan kembali mataku pada apa yang menjadi fokusku tadi. “Aku
sedang menunggu Trisna. Tapi…” Kuangkat bahuku tak acuh. “Sampai sekarang, dia
belum juga datang.”
Sandy
mengambil tempat duduk persis di sebelahku.
Ah,
sial, kalau sudah begini, aku harus bisa mengatur detak jantungku.
“Kenapa
nggak pulang duluan?”
Kulirik
dia, ternyata Sandy sedang melihat jam tangan. Sepertinya, dia juga sedang
menunggu, sepertiku.
“Trisna
bilang jangan ditinggal.” Aku tak lagi melirik ke arahnya. “Jadi, aku
menunggunya.”
Lama
tak kudengar jawaban. Kulirik lagi dia, ternyata dia mengamati novel yang sejak
tadi kupegang, namun tak lagi menarik untuk kubaca.
Novel
ini memang tampak begitu menyedot perhatianku. Sebenarnya, seluruh saraf dan
otakku hanya tertuju pada satu sasaran. Ya benar, si cowok yang ada di dekatku
saat ini, hanya dia.
Bisa
bayangkan bagaimana tersiksanya aku di dekatnya? Sangat tersiksa! Aku harus
mengendalikan mataku, hatiku, terutama jantungku. Parfum maskulin yang selalu
menguar dalam tubuhnya pun ikut-ikutan membuatku semakin kikuk di depannya.
Apalagi dengan jarak sedekat ini. Ya ampun…ya ampun… sepertinya kepalaku
berputar.
“Kamu nggak pulang?” tanyaku balik.
“Nunggu
Rasti.”
Aku
hanya mengangguk. Mengerti.
Rasti,
gadis itu terlalu beruntung mendapatkan teman sekelasku ini. Cowok yang sejak…
Sejak kapan, ya tepatnya? Aku sendiri tak tahu. Yang jelas, aku mulai merasakan
detak jantungku tak stabil setelah dia sering mendekatiku─sekedar menyapaku
atau meminjam PR.
“Rasti!!!”
Teriakan
Sandy membuatku melihat ke arah yang dia tuju.
Seorang
gadis berseragam persis sepertiku tampak melambai ke arah kami. Salah, ke arah
Sandy tepatnya. Senyum manisnya berpendar menggoda dari bibir merahnya.
“Mia,
aku duluan, ya?” pamit Sandy sambil berdiri.
Aku
mengangguk, dan mengiringi kepergiannya dengan tatapan tak rela.
Selalu
seperti ini. Rasanya, ada yang patah setiap kali melihat Sandy bersama kekasih
tersayangnya.
Tanpa
sadar, kuhembuskan napas keras-keras. Dan, karena terlalu fokus pada cowok itu,
kedatangan Trisna pun tak kusadari.
“Jangan
dilihatin terus. Bikin tambah sesak saja!” Komentarnya, sambil duduk bersandar
pada tembok.
Lagi,
aku menghela napas dengan keras. Tatapanku masih mengikuti langkah dua sejoli itu.
“Kapan, ya Sandy menghampiriku dengan senyum seperti yang dia beri untuk Rasti?
Bukan dengan senyum saat dia pinjam PR, atau sekedar menyapaku.”
“Tak
ada yang tahu cara Tuhan mengatur hidup kita. Mungkin, suatu saat. Atau
mungkin, ada orang lain yang akan menghampirimu seperti itu.” Trisna terdiam
beberapa saat. “Ayo pulang, aku lapar!”
Kualihkan
tatapanku pada Trisna yang ternyata sudah berdiri kembali.
Aku
hanya mengangguk, menutup novelku dan memasukkannya ke dalam tas sebelum
beranjak mengikuti langkah sahabatku.
Pikiranku
pun masih melantur pada Sandy. Sampai-sampai kekesalanku pada Trisna yang tadi
pamit sebentar ke ruang OSIS, dan malah membuatku jamuran menunggunya─menguap
begitu saja.
***
Halo, Sandy…
Senang melihat senyummu pagi
ini.
Itu
tulisanku di buku diary untuk pagi
ini.
Setiap
masuk sekolah, dan melihat Sandy, aku selalu menuliskan perasaanku di buku biru
laut yang selalu kubawa ke mana-mana. Memang tampak norak, tapi mau bagaimana
lagi, aku tak mungkin mengatakan itu langsung pada si pemilik nama.
“PR
Matematika, dong Mia.” Sandy sudah nyengir kuda di samping mejaku.
Lebih
dulu kututup buku biru itu agar tak terbaca siapapun. Barulah kuraih isi tasku
dan menyerahkan buku Matematika yang dimintanya.
“Thanks!” Dengan senyuman yang selalu
membuatku menghela napas, Sandy meninggalkanku.
Kulihat
Sandy sudah melepaskan tasnya dan menaruh sembarangan di atas meja. Kemudian,
dengan cepat, dia mengeluarkan bukunya dan segera menyalin PR. Selalu seperti
itu. Aku tak peduli seperti apa Sandy menganggapku. Aku tak peduli kalau harus
meminjaminya PR seumur hidupku. Hanya satu yang tak ingin hilang, kebiasaannya
menghampiri aku dan menyebut namaku. Hanya itu.
***
“Bentar,
Na. Bukuku hilang,” kataku panik.
Saat
memberesi barang-barangku sebelum pulang sekolah, aku baru sadar, buku biru
kesayanganku tak ada. Ke mana, ya?
“Memang,
tadi kamu bawa ke mana?” Trisna sudah duduk di kursi persis di depanku sambil
memperhatikan aku yang mengacak-acak tas.
Aku
berhenti. Mengingat-ingat, ke mana tadi
membawa buku itu? Sebentar, tadi aku membawanya ke musholla, lalu ke
perpustakaan. “Aku ingat, kayaknya tertinggal di perpustakaan.” Jawabku sedikit
tersentak.
Tanpa
menunggu reaksi Trisna, aku sudah berlari ke tempat di mana kira-kira aku bisa
menemukannya. Sayang, saat aku sampai di sana, benda itu sudah tak ada. Waktu
kutanyakan pada Pak Gun atau Mbak Isna, pustakawan sekolahku, mereka berkata tak
melihat buku yang aku maksud.
Aku
kembali ke kelas dengan wajah tertunduk, dan pasrah akan kehilangan buku itu
selamanya.
“Kamu
mencari ini?”
Sekejap,
kuhentikan langkahku. Kuputar pandangan ke arah datangnya suara.
Sandy
sedang berjalan ke arahku. Dan mengacungkan buku itu kepadaku.
“Rasti
tadi yang menemukannya. Saat membukanya, dia membaca namamu, dan memberikannya
padaku.”
Rasti? Dia yang menemukannya?
“Oh,
iya… maaf, aku tadi membacanya.”
Aku
seperti disambar petir mendengar pengakuan Sandy. Membacanya? Sandy membacanya?
“Rasti
juga?” tanyaku sangat, sangat lirih.
Sandy
mengangguk.
Kupeluk
buku biruku makin erat di dada, dan kupejamkan mataku. Aku seperti menunggu
hukuman yang akan dijatuhkan untukku.
“Rasti
marah?” Aku kembali bertanya tanpa membuka mata.
Kudengar
suara desahan napas Sandy. “Hanya tampak cemburu.”
Kubuka
mata, dan langsung kutemui wajah Sandy yang tak seperti biasanya.
“Jangan
hiraukan apapun yang ada di dalamnya,” ucapku.
Sandy
berpaling padaku. Dia tersenyum, lalu mengangguk. “Aku nggak menyangka kamu…”
Dia tak meneruskannya.
“Maaf,”
hanya bisikan yang keluar dari bibirku.
Dia
menggeleng, “Menyukai seseorang sama sekali bukan kesalahan. Jadi jangan minta
maaf.”
“Tapi…
“Aku ingin mengatakan sesuatu. Namun, rasanya aku kehilangan pembendaharaan
kata. “Tapi…”
“Sudahlah.”
Dia menghentikan kata-kataku. Lalu, tersenyum lagi. “Terima kasih.”
Terima kasih?
Keningku berkerut.
“Untuk
perasaanmu padaku.” Seperti tahu isi kepalaku, dia meneruskan kalimatnya. “Aku
tak menyangka cewek pintar, dan juara umum di sekolah ini suka sama aku.” Ada
tawa lirih yang menyembul dari bibirnya.
Kubalas
dengan senyuman hambar. Ada sedikit rasa lega mendapatinya tak mempermasalahkan
perasaanku.
“Tapi,
maaf.” Dia memandangku dengan tatapan bersalah.
“Aku
tahu.” Aku berusaha menampakkan wajah baik-baik saja.
Sebenarnya,
aku lebih memilih dia tak tahu selama-lamanya tentang perasaan ini. Tapi, Tuhan
memilihkan jalan lain.
“Yah…”
Dia mengangguk. “Maaf.” Dia masih saja mengucapkannya.
Andai
dia tahu, maaf yang dia ucapkan malah membuatku sesak saja.
“Bukan
salahmu! Tidak bisa membalas cinta juga bukan kesalahan, kan?”
Alisnya
tampak naik sebelah.
Aku
tersenyum, “Bukan salahmu jika kamu tak bisa membalas perasaanku. Aku tahu,
kamu hanya mencintai Rasti,” jelasku.
Dia
tersenyum lagi, dan mengangguk. “Semoga kamu menemukan cowok yang baik, Mia.”
Dia menatapku beberapa saat.
Aku
menunduk.
“Aku
pergi dulu. Rasti menungguku.”
Kuangkat
wajahku saat aku mendengar suara langkahnya.
“Sandy!!!”
Suara agak kencangku membuatnya berhenti dan berbalik.
“Apa
besok kamu masih mau meminjam PR-ku?”
Seringaian
yang sering muncul setiap pagi saat meminjam PR─muncul. Dia mengangguk. Membuatku
tersenyum. Aku balik mengangguk.
Sandy
mengangkat tangannya, dan melambai sesaat. Lalu, berbalik dan benar-benar
meninggalkanku. Dia pergi untuk cintanya, Rasti.
Ah,
ternyata sakitnya baru benar-benar teras saat dia sudah pergi.
Ya,
aku patah hati. Sakit sekali. Sampai-sampai aku tak bisa menahan genangan air
mata di pelupuk mataku. Sial!
Aku
tertunduk, terisak pelan sambil meremas buku biruku.
“Anggap
saja ini cobaan sebelum menemukan Mr. Right-mu,
Mia.” Bisik Trisna dari balik bahuku.
Kulihat
Trisna tersenyum ke arahku. Senyum menguatkan.
“Tak
ada gunanya menangisi cowok yang tak mencintai kita.” Suaranya berbisik.
Mungkin, dia tak ingin beberapa siswa yang masih satu-dua hilir mudik di
sekitar kami mendengarnya. “Hapus air matamu, sebelum orang-orang melihat!”
tegurnya sambil menyeretku kembali ke kelas.
Tak ada gunanya menangisi cowok
yang tak mencintai kita. Mungkin Trisna benar. Tapi, hatiku ini tak
sama seperti otak yang bisa melihat realita. Dia lebih memilih jujur pada apa
yang sedang kurasakan. Sakit hati dan terluka.
“Nih!”
sampai di kelas, Trisna memberikanku sepucuk surat, bukan selembar tissue untuk menghapus air mata. “Dari
Galih.”
“Galih?”
tanyaku dengan suara serak.
Trisna
duduk di sampingku. “Galih si Ketua OSIS.” Dia memandangku penuh arti.
“Ternyata, selama ini dia suka sama kamu.” Sekarang, ada senyum menggoda di
bibirnya. “Aku sudah punya firasat saat dia sering menanyakanmu. Coba kamu buka suratnya. Aku
juga penasaran sama isinya.” Trisna tertawa pelan.
Aku
membuka amplop biru itu. Sepertinya, dia tahu warna kesukaanku. “Kapan kamu mendapatkan
surat ini?”
“Kemarin,
saat aku ke ruang OSIS. Aku lama waktu itu karena Galih. Dia tampak tak yakin
untuk bicara dan minta tolong padaku.” Dia mendesah. “Tapi, akhirnya dia nekat
juga menitipkan itu untukmu.” Ah, Trisna tertawa lagi.
Kubuka
lipatan sederhana yang dibuat Galih. Isinya tak panjang. Dia hanya menuliskan
beberapa kalimat.
Hai, Mia.
Apa kamu
sudah punya pacar? Semoga belum. Karena aku ingin kamu menjadi kekasihku. Katakan
jawabannya pada Trisna. Terima kasih.
Aku
tersenyum geli membacanya. Rasa pedihku sedikit terobati.
Selama
ini aku tahu Galih tipe cowok to the
point, tegas, dan em… apa, ya? Aku tak terlalu mengenalnya juga.
“Kenapa?”
Kusodorkan
surat itu pada Trisna. “Surat cinta khas Ketua OSIS.”
Dan,
Trisna tertawa terpingkal-pingkal setelah membacanya. “Benar, khas Galih! Ya
ampun. Apa dia tak bisa sedikit romantis? Ini datar sekali!” Tawanya berangsur
reda. “Kamu akan menerimanya?”
Kuangkat
bahuku. “Saat ini rasanya aku belum siap. Aku baru patah hati.”
“Oke,
sembuhkan dulu hatimu. Eh, bukannya Galih akan menjadi obat paling manjur?”
“Hai,
aku tak ingin mencari pelarian.”
“Baiklah-baiklah!
Saranku, jangan sia-siakan Galih. Dia cowok yang baik.”
Aku
tak menjawabnya. Sudah kubilang, hatiku bukan otak yang bisa berpikir realistis.
Hatiku ini setengahnya lebih, sudah diisi oleh Sandy. Jadi mau tak mau, sementara
ini, aku harus berkutat pada rasa perih. Setelah agak lebih baik, aku janji,
aku akan memikirkan tawaran Galih.[]
Halo, Kak :)
ReplyDeleteSelamat ya, Kakak mendapatkan kado dari aku. Diterima, ya. Terima kasih :D
The Liebster Award
http://lajengpadma.blogspot.com/2014/07/the-liebster-award-perdana.html