#ResensiPilihan
Gramedia Pustaka Utama
Penulis : Irene Dyah Respati
Penerbit : Gramedia
Genre : Romance, Adult
Terbit : 2014
Tebal : x +186 hlm
ISBN : 978 – 602 – 03 – 0606 – 3
Harga : Rp. 48.000
Terkadang,
hidup memang penuh kejutan. Seperti yang terjadi pada tiga wanita dengan latar
belakang, asal dan status yang berbeda.
Aliyah,
wanita Indonesia yang menikah dengan orang Jepang, Takuma, dan menetap di sana.
Hidup Aliyah bisa dibilang bak Cinderella. Bagaimana tidak, dia yang bekerja di
Jepang sebagai pembantu, kemudian bertemu dengan Takuma dan hidupnya langsung
berubah 180 derajat.
Ajeng,
wanita asal Solo namun menetap di Jakarta, kemudian karena tugas kantor, dia
sempat menetap di Thailand. Ajeng tipe wanita yang tidak ingin berkomitmen
dengan pernikahan. Dia menikmati banyak hubungan singkat dengan laki-laki.
Bukan
tanpa sebab Ajeng seperti ini. Dia mengalami trauma saat mengenal cinta
pertamanya. Rasa sakit itulah yang membuat dia enggan untuk menjalin hubungan
serius.
“Bagaimana
bila kita merasa bertemu jodoh setelah kita menikah? Apakah kita harus berpisah
dengan pasangan sebelumnya? Pernikahan membuat proses proses berpisah itu
semakin ruwet.” – Ajeng – hlm. 52
Terakhir,
Miyu. Miyu adalah wanita Jepang yang memilih tinggal di Solo dan belajar tari
di sana. Miyu lebih cocok disebut gadis Solo dari pada Ajeng yang asli Solo.
Miyu gadis yang lebih bisa berpikir lurus dari pada dua wanita lainnya.
Festival Loy Krathong di Thailand |
Mereka
bertiga bertemu pertama kali di Thailand saat Festival Loy Krathong. Kejadian Aliyah
yang terpleset membuat Ajeng tak sengaja latah meniru kata seru Aliyah. Seorang
wanita lain bernama Miyu tampak membantu membawakan Kratong milik Ajeng, karena
Ajeng berusaha menolong Aliyah.
Kemudian,
perkenalan dimulai. Mereka menertawakan apa yang terjadi pada mereka. Miyu
orang Jepang malah tinggal di Solo. Ajeng yang orang Solo malah berdomisili di
Jakarta. Sedangkan, Aliyah yang orang Jakarta, sekarang menetap di Jepang.
Mereka
tampak menikmati pertemuan itu, dan jalinan persahabatan mulai terjalin lewat
obrolan ringan yang perlahan berubah serius karena mereka mulai menceritakan
rahasia dan isi hati masing-masing. Aliyah mempunya affair dengan teman satu kantornya. Kemudian, Miyu yang tergoda
dengan pria beristri. Lalu, Ajeng yang tak ingin menikah.
“Kenapa
yang dilarang selalu justru membuat kita ingin melakukannya? Kenapa aku justru
tidak bisa membenci orang ini, yang merayu bertubi-tubu sementara kutahu telah
beristri? Kenapa benang pengikat hatiku harus datang dari dia yang tak boleh kusentuh?” – Miyu
– hlm. 51
Setelah
pertemuan itu, hubungan mereka tak lantas berhenti. Mereka hadir di antara
masalah-masalah yang membelit ketiga wanita ini. Mereka saling memberi nasihat,
mau menjadi pendengar, dan bahkan ikut berjuang agar masalah itu segera
terselesaikan. Terutama dalam mengatasi masalah Aliyah.
“Kekuatan apa yang tersimpan
dalam cincin nikah? Cincin hanyalah benda bulat berlubang di tengahnya. Seperti
donat. Tengahnya kosong. Kosong seperti hati. Kosong seperti otak laki-laki.
Semua berlubang. Menyisakan celah untuk dimasukki.” – Hlm.
92
TIGA
CARA MENCINTA, kemasan minimalis, namun
isi penuh. Kenapa aku menyebutnya begitu? Lihat saja tebalnya, hanya 186
halaman. Namun, saat membacanya, banyak sekali hal yang bisa kita ambil
teladanya.
Hidup
di Jepang, dengan suami orang Jepang, dan hidup sebagai penganut agama
minoritas, ternyata sangat sulit dijalani di sana. Ya, ini tentang Aliyah. Dia
yang berjuang untuk membuat suaminya – yang masuk Islam karena ingin
menikahinya – menjadi penganut agama Islam tidak sekedar Islam buku nikah.
Namun, ternyata ini bukan hal yang mudah. Lebih mudah membuat Takuma masuk Islam
daripada menyuruhnya belajar Islam.
“Masuk
islam saat menikah itu justru starting point. Perjuangan terbesar itu bukan saat kita menarik
pasangan pindah keyakinan, melainkan setelahnya.” Aliyah – hlm. 74
Aliyah
menuntut Takuma untuk mau belajar, namun Aliyah sendiri yang orang Islam sejak
lahir malah tak mau belajar. Terkadang, Aliyah sendiri meninggalkan sholat lima
waktu, dan tak memahami seperti apa Islam sebenarnya.
Lalu,
kenapa dia harus marah saat Takuma merasa terbebani dengan tuntutan Islam?
Harusnya, Aliyah bisa menjelaskan bagaimana Islam agar Takuma bisa menerimanya
karena penjelasan itu, dan memberikan contoh yang seharusnya pada sang suami.
Masalah
itu semakin menambah keruh keadaan rumah tangga Aliyah yang sudah mulai tak
nyaman karena aktifitas kerja Takuma yang super sibuk. Ini membuat Aliyah
seperti menemukan udara segar saat dia menjalin hubungan dengan Je. Dan, masalah
besar muncul saat Aliyah menyadari dia hamil, hamil bukan dengan Takuma.
“Aku
tidak yakin. Mungkin aku ingat mereka, tapi terlalu bahagia, hingga tidak
sempat merasa berdosa.” – Aliyah – hlm. 35
Kemudian,
saat bertemu Miyu, harusnya kita merasa disentil. Kenapa orang asing seperti
Miyu tampak begitu mencintai kebudayaan Negara kita? Lalu, kita yang orang
Indonesia asli saja tampak tak peduli dan lebih mencinta kebudayaan asing?
Tapi,
bagaimana jika dibalik. Miyu menyadari, dia tak begitu tahu dengan kebudayaan
negaranya sendiri. Dia malah lebih memahami Negara orang lain. Kejadian seperti
ini sangat sering terjadi di sekitar kita bukan?
Kehidupan
Miyu juga menarik. Dia jatuh cinta dengan laki-laki beristri. Tapi, Miyu bukan
Aliyah. Dia tahu mana yang harus dipilih. Tapi, apakah dia kuat menahan godaan
menggiurkan ini?
Sedangkan
Ajeng, wanita metropolis ini tampak menikmati hidupnya. Dia begitu terbuka,
namun enggan untuk menjalin hubungan serius.
“…Saya
terbuka kepada semua orang, termasuk urusan tabu menurut wanita normal. Bahkan
ibuku sudah tahu, menyuruhku menikah itu seperti menyuruh preman perang jihad,
alias mustahil. Aku sudah terlalu nyaman dengan hidupku yang sekarang.” – Ajeng
– hlm. 59
Dari
Ajeng aku berpikir, meskipun seasyik apapun bermain-main, meskipun semua tampak
cukup tanpa bantuan pria manapun, tetap saja waktu akan memakan habis usia dan
kedikdayaan siapapun. Kita tetap butuh pendamping hidup, anak, ataupun
keluarga.
Apakah
hidup seperti Ajeng akan bahagia diakhir hidup kita nantinya jika itu yang kita
putuskan untuk hidup kita? Jawabannya TIDAK!
“Tapi
Jeng, semakin lama kamu menunda pernikahan, semakin tinggi kariermu, semakin
matang usiamu, pilihanmu terhadap pria semakin mengkerut.” –
Aliyah – hlm. 59
Novel
ini membuat pembaca semakin dewasa menjalani hidup. Tak sekedar cinta dan cinta
yang menjadi fokusnya. Namun, penulis memberikan banyak sekali petuah berharga
di setiap tingkah kehidupan para tokohnya yang terkedang tampak ekstim.
Aku
juga menyukai gaya menulisnya, ringan dan seru. Tak banyak basa-basi, langsung
hajar. Alur ceritanya juga tidak membuat otak jenuh, malah semakin semangat
membaca meskipun akhirnya sudah bisa ditebak. Yang jadi bagian menariknya
adalah bagaimana penulis membuat ceritanya menemukan jalan keluar.
Selain
itu, Penulis berhasil menciptakan tiga karakter yang berbeda tanpa menggunakan
penjelasan secara diskriptif. Penulis memberikan gambaran secara tersirat dari
cara berbicara dan tingkah laku tokohnya.
Tiga
Cara Mencinta, meskipun dimasukan dalam kategori novel dewasa, aku masih
merekomendasikan untuk dibaca remaja dewasa. Tidak banyak bagian non-konsumsi
untuk mereka. Novel ini bisa dibilang aman.
Covernya
yang terkesan soft dengan warna merah muda yang lembut tampak sesuai dengan
karakter novel ini. Dan rating untuk novel ini 3,5 dari 5 bintang.
Terima
kasih untuk sang penulis yang membuat aku belajar banyak tentang hidup dan
cinta yang lebih dewasa.
Ah,
aku dengar ada sekuel dari novel ini? Benarkah? Ya, sepertinya memang perlu
sekuel. Karena seperti apa hidup Miyu dan Ajeng belum menemukan jawabannya. Aku
juga belum mengenal seperti apa Takuma. Interaksi Takuma dan Aliyah sangat
sedikit di novel ini.
So,
ditunggu sekali kelanjutannya.
Reviewenya keren.
ReplyDeleteI like it!!
:))
Yang kedua bulan ini edar. DUA CINTA NEGERI SAKURA
Nama pengarangnya dipangkas jadi Irene Dyah
Terima kasih Mbak.
ReplyDeleteWalah... ada yang kedua? Hikz... dapet PR dong aku buat dapet novel ini :(