Penulis : Windhy Puspitadewi
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance
Kategori : Young Adult, Friendship
Terbit : 2010
Tebal : viii + 180 hlm
ISBN : 979 – 780 – 433 – 6
Harga : Rp. 23.000
“Bunga
matahari selalu menghadap matahari. Mengikuti ke mana pun matahari pergi.
Berusaha menjadi seperti matahari dan tertekan karena sadar tidak akan pernah
bisa, sekuat apapun dia berusaha. Dan karena perhatiannya selalu tertuju pada
apa yang dilihatnya, dia tidak bisa melihat ke dalam dirinya sendiri.” –
Sophie – hlm. 153
Devon, Julian, Sophie dan Agnes, mereka bersahabat. Hidup
mereka bisa dibilang sama seperti bunga matahari yang senantiasa menghadap ke
mataharinya masing-masing.
Bagi Devon, mataharinya adalah sang ayah. Dan, dia dipaksa
untuk menjalani hidup seperti bunga matahari.
Awalnya, Devon sangat mencintai sepak bola. Bukan
karena ayahnya adalah mantan pemain sepak bola, tapi karena dia menyukainya.
Namun, itu dulu sebelum sang ayah merubah sepak bola menjadi hal yang menekannya.
Ayah Devon selalu ingin anaknya tak terkalahkan. Dia
memberikan latihan ekstra keras pada Devon. Bahkan memberikannya target-target
yang membuat Devon merasa sangat tertekan. Ayahnya benar-benar ingin Devon
menjadi apa yang belia impikan.
“Tekanan
dari orang-orang terutama Ayah membuatku melupakannya. Hal yang sangat kucintai
berbalik menjadi bebanku. Sesuatu yang seharusnys kulakukan dengan senang
berubah menjadi kewajiban yang kubenci.” – Devon – hlm. 129
Julian. Baginya, sang kakak adalah mataharinya.
Kakaknya adalah matematikawan yang hebat. Maka, Julian harus sama hebatnya,
atau kalau bisa lebih hebat lagi.
Namun, sebenarnya bukan matematika yang Julian sukai.
Dia menyukai matematika karena kakaknya. Dan, saking fokusnya Julian pada
tujuannya, dia sampai tak tahu apa yang sebenarnya dia sukai.
“Bunga
matahari tidak sadar kelebihannya sendiri. Dia tdak sadar dia lebih tinggi dari
rata-rata bunga pada umumnya. Tidak tahu bahwa dia cantik. Tidak tahu bahwa
banyak orang yang lebih senang melihatnya daripada melihat matahari itu
sendiri.” – Sophie – hlm. 153
Sophie, dia punya mama yang menjadi mataharinya. Sophie
anak seorang penulis hebat. Kemudian, Sophie terobsesi untuk menjadi penulis
juga, sama seperti mamanya.
Namun, nama besar mamanya malah membuat Sophie merasa
punya target yang menyiksa dirinya sendiri. Sampai-sampai, Sophie pura-pura tak
tahu apa yang sebenarnya sangat dia inginkan dan bisa membuatnya bahagia.
“...selama
aku menulis karena mengejar bayang seseorang, sebaiknya tidak usah menulis sama
sekali.” – Sophie – hlm. 117
Sedangkan Agnes, dia menolak menjadi bunga matahari.
Dia menjadi dirinya sendiri meskipun Agnes harus menghadapi tekanan yang
menyiksa hidupnya.
“Aku
sangat suka dengan perasaan berdebar-debar ketika melihat reaksi orang-orang
yang memakan masakanku. Kebahagiaan terbesarku adalah jika mereka menyukainya.
Seakan-akan saat orang lain menerima masakanku, mereka juga menerimaku apa
adanya.” – Agnes – hlm. 136
Dulu, Agnes punya seorang kakak perempuan. Dia
digadang-gadang akan menjadi seorang dokter hebat seperti kedua orang tuanya.
Sayang sekali, dia harus meninggal karena kecelakaan.
Setelah sang kakak meninggal, sikap mama Agnes berubah
padanya. Agnes berpikir, itu karena sang mama merasa kecewa Agnes tidak bisa
seperti kakaknya.
Beruntungnya, mereka tidak harus menghadapi masalah
mereka sendiri. Ada lainnya, sahabat-sahabat mereka yang hadir untuk memberi
semangat, memberi motivasi dan menyadarkan mereka tentang bagaimana mereka
harus memilih tujuan hidup mereka. Sekaligus, memperkenalkan mereka tentang
rasa cinta.
“Jangan
pernah… hanya dengan melihat, kamu menilai siapa yang lebih menderita dan siapa
yang lebih bahagia.” – Agnes – hlm. 139
Morning
Light, menurutku novel yang berisi. Dia berhasil dibawakan
dengan cara bercerita yang ringan dan dengan konflik yang tidak klise.
Meskipun, akhirnya tetap tertebak dengan telak.
Namun, bukan akhir yang menentukan sebuah kualitas
sebuah novel. Cara penyelesaian masalahnya dan jalan ceritanya lah yang
mempengaruhi kualitasnya. Dan, penulis benar-benar berhasil menunjukkan
kualitasnya.
“Jangan
menandalkan orang lain untuk menyelesaikan masalah kalian. Berusahalah
mengatasi masalah dengan kekuatan sendiri, itulah yang membuat orang jadi
dewasa.” – Mama Devon – hlm. 130
Yang aku suka lagi, kisah cinta antar sahabat di novel
ini tidak dibuat ruet dengan hubungan bersegi-segi. Kisah cintanya sangat
sederhana, dan aku malah suka.
“Tidak
ada yang salah jika kamu punya perasaan lebih pada sahabatmu sendiri! Kalau
kamu mencoba menekannya, perasaan itu justru akan meledak.” –
Agnes – hlm. 167
Novel ini masih ada typo. Tapi, tidak banyak. Hanya ada
satu atau dua kesalahan penulisan. Namun, dalam hal pemenggalan paragraf, aku
merasa kurang sependapat dengan penulis.
Penulis sering membuat paragraf baru padahal paragraf
tersebut masih bisa jadi satu dengan paragraf sebelumnya. Jujur, aku merasa
salah sangka. Biasanya, jika itu paragraf baru, apalagi yang berisi percakapan,
berarti tokoh yang berbicara atau yang diceritakan penulis sudah berubah.
Sebagai contoh :
“Hal
seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” kata Agnes. “Seperti saat kita ke pameran
foto waktu itu, kamu merasa bahagia kan? Semuanya terlihat dari wajahmu.”
“Wajah
itu…,” Agnes menunduk. “Aku selalu menunggunya. Menunggu sambil berdebar-debar
untuk melihatnya lagi.”
Nah, contoh dua paragraf di atas menurutku kurang
tepat. Jika dipisah seperti itu, aku merasa yang paragraf ke dua sudah berganti
Julian yang mengatakannya, bukan lagi Agnes. Meskipun, setelah kalimat “Wajah
itu…” penulis menyebutkan nama Agnes. Tetap saja, secara otomatis pemikiranku
menebak setelah ini, pasti Julian yang berkata karena sudah beda paragraf.
Harusnya, paragrafnya menjadi seperti ini :
“Hal
seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” kata Agnes. “Seperti saat kita ke pameran
foto waktu itu, kamu merasa bahagia kan? Semuanya terlihat dari wajahmu. Wajah
itu…,” Agnes menunduk. “Aku selalu menunggunya. Menunggu sambil berdebar-debar
untuk melihatnya lagi.”
Kecuali, satu tokoh mengatakan kalimat super panjang.
Nah, kayaknya sah-sah saja untuk dijadikan dua paragraf.
Oh iya. Menurutku juga, untuk kalimat “Hal
seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” sebelum kata “lho” harusnya dipisah
dengan tanda baca koma. Dan, aku menemukan beberapa kalimat yang kekurangan
tanda baca seperti kalimat tersebut.
Kemudian, di halaman 157 paragraf tiga, penulis
menyebutkan “Tak
ada kata ‘maaf yang terucap, tapi mereka sudah tahu bahwa kata-kata itu sudah
keluar bersama dengan air mata penyesalan.”
Padahal, di paragraf sebelumnya mama Agnes mengatakan, “…Maafkan Mama…
maafkan Mama Nes…”
Nah, tahukan kesalahannya? Jelas sekali ada kata maaf
yang keluar. Kenapa penulis mengatakan “Tak ada kata maaf”?
Oke, lupakan typo-typo
tersebut. Karena apa yang bisa kita tangkap di novel ini sangat pantas menjadi
alasan untuk tak mempedulikan typo itu.
Jadilah diri sendiri, dan kejarlah apa yang membuatmu
bahagia, bukan mengejar bayang-bayang yang hanya membuatmu merasa menang namun
tak bahagia. Itulah pesan yang aku tangkap dari novel ini.
“Kata
Socrates, bijaksana artinya kita tahu bahwa kita tidak tahu segalanya.” –
Sophie – hlm. 147
Ah, di novel ini karakter masing-masing tokohnya begitu
berbeda-beda dan penulis mampu menampilkan mereka secara konsisten sampai akhir.
Devon tipe cowok ceria dan suka bercanda. Dia lebih
terlihat jarang serius namun bisa bersikap manis banget sama cewek.
Julian, si poker face yang
juara banget di bidang akademik. Dia ini karakternya berkebalikan dengan Devon.
Namun, meski jarang menampilkan wajah peduli, sebenarnya dia sangat peduli
sekali dengan teman-temannya.
Karakter Sophie terasa lebih sinis dengan mulut
pedasnya dan sikap judesnya. Namun, Sophie sama seperti tiga temannya, dia
sangat peduli dengan mereka.
Sedangkan Agnes, dia tipe cewek manis yang selalu ceria
meskipun hatinya luluh lantah. Dia ini kebalikannya Sophie.
“Mungkin
benar kata orang, kelebihan seseorang itu letaknya di belakang. Kita tidak bisa
melihatnya sendiri. Kita butuh seseorang melihatnya untuk kita.” –
Agnes – hlm. 141
Dari segala permasalahan yang mereka hadapi itulah aku
banyak belajar tentang hidup dan impian.
Untuk cover-nya, aku
rasa sangat sesuai dengan tema ceritanya.
Ending-nya
meski bisa aku tebak, tapi lumayan bikin senyum dan lega.
“Kebahagiaan
itu bukan sesuatu yang diberikan oleh orang lain, tetapi sesuatu yang kita buat
sendiri.” – Julian – hlm. 142
Rating novel ini 3,4 dari 5 bintang. Dan, ini novel
kedua Windhy Puspitadewi yang aku baca. Sebelumnya, aku sudah baca Let Go dan
aku cukup puas dengan novel itu.
No comments:
Post a Comment