Thursday, February 19, 2015

Resensi – MORNING LIGHT “Akuilah, ini yang aku mau”




Penulis : Windhy Puspitadewi
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance
Kategori : Young Adult, Friendship
Terbit : 2010
Tebal : viii + 180 hlm
ISBN : 979 – 780 – 433 – 6
Harga : Rp. 23.000

“Bunga matahari selalu menghadap matahari. Mengikuti ke mana pun matahari pergi. Berusaha menjadi seperti matahari dan tertekan karena sadar tidak akan pernah bisa, sekuat apapun dia berusaha. Dan karena perhatiannya selalu tertuju pada apa yang dilihatnya, dia tidak bisa melihat ke dalam dirinya sendiri.” – Sophie – hlm. 153

Devon, Julian, Sophie dan Agnes, mereka bersahabat.  Hidup mereka bisa dibilang sama seperti bunga matahari yang senantiasa menghadap ke mataharinya masing-masing.
Bagi Devon, mataharinya adalah sang ayah. Dan, dia dipaksa untuk menjalani hidup seperti bunga matahari.
Awalnya, Devon sangat mencintai sepak bola. Bukan karena ayahnya adalah mantan pemain sepak bola, tapi karena dia menyukainya. Namun, itu dulu sebelum sang ayah merubah sepak bola menjadi hal yang menekannya.
Ayah Devon selalu ingin anaknya tak terkalahkan. Dia memberikan latihan ekstra keras pada Devon. Bahkan memberikannya target-target yang membuat Devon merasa sangat tertekan. Ayahnya benar-benar ingin Devon menjadi apa yang belia impikan.
“Tekanan dari orang-orang terutama Ayah membuatku melupakannya. Hal yang sangat kucintai berbalik menjadi bebanku. Sesuatu yang seharusnys kulakukan dengan senang berubah menjadi kewajiban yang kubenci.” – Devon – hlm. 129

Julian. Baginya, sang kakak adalah mataharinya. Kakaknya adalah matematikawan yang hebat. Maka, Julian harus sama hebatnya, atau kalau bisa lebih hebat lagi.
Namun, sebenarnya bukan matematika yang Julian sukai. Dia menyukai matematika karena kakaknya. Dan, saking fokusnya Julian pada tujuannya, dia sampai tak tahu apa yang sebenarnya dia sukai.
“Bunga matahari tidak sadar kelebihannya sendiri. Dia tdak sadar dia lebih tinggi dari rata-rata bunga pada umumnya. Tidak tahu bahwa dia cantik. Tidak tahu bahwa banyak orang yang lebih senang melihatnya daripada melihat matahari itu sendiri.” – Sophie – hlm. 153

Sophie, dia punya mama yang menjadi mataharinya. Sophie anak seorang penulis hebat. Kemudian, Sophie terobsesi untuk menjadi penulis juga, sama seperti mamanya.
Namun, nama besar mamanya malah membuat Sophie merasa punya target yang menyiksa dirinya sendiri. Sampai-sampai, Sophie pura-pura tak tahu apa yang sebenarnya sangat dia inginkan dan bisa membuatnya bahagia.
“...selama aku menulis karena mengejar bayang seseorang, sebaiknya tidak usah menulis sama sekali.” – Sophie – hlm. 117

Sedangkan Agnes, dia menolak menjadi bunga matahari. Dia menjadi dirinya sendiri meskipun Agnes harus menghadapi tekanan yang menyiksa hidupnya.
“Aku sangat suka dengan perasaan berdebar-debar ketika melihat reaksi orang-orang yang memakan masakanku. Kebahagiaan terbesarku adalah jika mereka menyukainya. Seakan-akan saat orang lain menerima masakanku, mereka juga menerimaku apa adanya.” – Agnes – hlm. 136

Dulu, Agnes punya seorang kakak perempuan. Dia digadang-gadang akan menjadi seorang dokter hebat seperti kedua orang tuanya. Sayang sekali, dia harus meninggal karena kecelakaan.
Setelah sang kakak meninggal, sikap mama Agnes berubah padanya. Agnes berpikir, itu karena sang mama merasa kecewa Agnes tidak bisa seperti kakaknya.
Beruntungnya, mereka tidak harus menghadapi masalah mereka sendiri. Ada lainnya, sahabat-sahabat mereka yang hadir untuk memberi semangat, memberi motivasi dan menyadarkan mereka tentang bagaimana mereka harus memilih tujuan hidup mereka. Sekaligus, memperkenalkan mereka tentang rasa cinta.
“Jangan pernah… hanya dengan melihat, kamu menilai siapa yang lebih menderita dan siapa yang lebih bahagia.” – Agnes – hlm. 139
Morning Light, menurutku novel yang berisi. Dia berhasil dibawakan dengan cara bercerita yang ringan dan dengan konflik yang tidak klise. Meskipun, akhirnya tetap tertebak dengan telak.
Namun, bukan akhir yang menentukan sebuah kualitas sebuah novel. Cara penyelesaian masalahnya dan jalan ceritanya  lah yang mempengaruhi kualitasnya. Dan, penulis benar-benar berhasil menunjukkan kualitasnya.
“Jangan menandalkan orang lain untuk menyelesaikan masalah kalian. Berusahalah mengatasi masalah dengan kekuatan sendiri, itulah yang membuat orang jadi dewasa.” – Mama Devon – hlm. 130

Yang aku suka lagi, kisah cinta antar sahabat di novel ini tidak dibuat ruet dengan hubungan bersegi-segi. Kisah cintanya sangat sederhana, dan aku malah suka.
“Tidak ada yang salah jika kamu punya perasaan lebih pada sahabatmu sendiri! Kalau kamu mencoba menekannya, perasaan itu justru akan meledak.” – Agnes – hlm. 167

Novel ini masih ada typo. Tapi, tidak banyak. Hanya ada satu atau dua kesalahan penulisan. Namun, dalam hal pemenggalan paragraf, aku merasa kurang sependapat dengan penulis.
Penulis sering membuat paragraf baru padahal paragraf tersebut masih bisa jadi satu dengan paragraf sebelumnya. Jujur, aku merasa salah sangka. Biasanya, jika itu paragraf baru, apalagi yang berisi percakapan, berarti tokoh yang berbicara atau yang diceritakan penulis sudah berubah.
Sebagai contoh :
“Hal seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” kata Agnes. “Seperti saat kita ke pameran foto waktu itu, kamu merasa bahagia kan? Semuanya terlihat dari wajahmu.”
“Wajah itu…,” Agnes menunduk. “Aku selalu menunggunya. Menunggu sambil berdebar-debar untuk melihatnya lagi.”
Nah, contoh dua paragraf di atas menurutku kurang tepat. Jika dipisah seperti itu, aku merasa yang paragraf ke dua sudah berganti Julian yang mengatakannya, bukan lagi Agnes. Meskipun, setelah kalimat “Wajah itu…” penulis menyebutkan nama Agnes. Tetap saja, secara otomatis pemikiranku menebak setelah ini, pasti Julian yang berkata karena sudah beda paragraf.
Harusnya, paragrafnya menjadi seperti ini :
“Hal seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” kata Agnes. “Seperti saat kita ke pameran foto waktu itu, kamu merasa bahagia kan? Semuanya terlihat dari wajahmu. Wajah itu…,” Agnes menunduk. “Aku selalu menunggunya. Menunggu sambil berdebar-debar untuk melihatnya lagi.”
Kecuali, satu tokoh mengatakan kalimat super panjang. Nah, kayaknya sah-sah saja untuk dijadikan dua paragraf.
Oh iya. Menurutku juga, untuk kalimat  “Hal seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” sebelum kata “lho” harusnya dipisah dengan tanda baca koma. Dan, aku menemukan beberapa kalimat yang kekurangan tanda baca seperti kalimat tersebut.
Kemudian, di halaman 157 paragraf tiga, penulis menyebutkan “Tak ada kata ‘maaf yang terucap, tapi mereka sudah tahu bahwa kata-kata itu sudah keluar bersama dengan air mata penyesalan.”
Padahal, di paragraf sebelumnya mama Agnes mengatakan, “…Maafkan Mama… maafkan Mama Nes…”
Nah, tahukan kesalahannya? Jelas sekali ada kata maaf yang keluar. Kenapa penulis mengatakan “Tak ada kata maaf”?

Oke, lupakan typo-typo tersebut. Karena apa yang bisa kita tangkap di novel ini sangat pantas menjadi alasan untuk tak mempedulikan typo itu.
Jadilah diri sendiri, dan kejarlah apa yang membuatmu bahagia, bukan mengejar bayang-bayang yang hanya membuatmu merasa menang namun tak bahagia. Itulah pesan yang aku tangkap dari novel ini.
“Kata Socrates, bijaksana artinya kita tahu bahwa kita tidak tahu segalanya.” – Sophie – hlm. 147

Ah, di novel ini karakter masing-masing tokohnya begitu berbeda-beda dan penulis mampu menampilkan mereka secara konsisten sampai akhir.
Devon tipe cowok ceria dan suka bercanda. Dia lebih terlihat jarang serius namun bisa bersikap manis banget sama cewek.
Julian, si poker face yang juara banget di bidang akademik. Dia ini karakternya berkebalikan dengan Devon. Namun, meski jarang menampilkan wajah peduli, sebenarnya dia sangat peduli sekali dengan teman-temannya.
Karakter Sophie terasa lebih sinis dengan mulut pedasnya dan sikap judesnya. Namun, Sophie sama seperti tiga temannya, dia sangat peduli dengan mereka.
Sedangkan Agnes, dia tipe cewek manis yang selalu ceria meskipun hatinya luluh lantah. Dia ini kebalikannya Sophie.
“Mungkin benar kata orang, kelebihan seseorang itu letaknya di belakang. Kita tidak bisa melihatnya sendiri. Kita butuh seseorang melihatnya untuk kita.” – Agnes – hlm. 141

Dari segala permasalahan yang mereka hadapi itulah aku banyak belajar tentang hidup dan impian.
Untuk cover-nya, aku rasa sangat sesuai dengan tema ceritanya.
Ending-nya meski bisa aku tebak, tapi lumayan bikin senyum dan lega.
“Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang diberikan oleh orang lain, tetapi sesuatu yang kita buat sendiri.” – Julian – hlm. 142

Rating novel ini 3,4 dari 5 bintang. Dan, ini novel kedua Windhy Puspitadewi yang aku baca. Sebelumnya, aku sudah baca Let Go dan aku cukup puas dengan novel itu.

No comments:

Post a Comment