Tuesday, January 17, 2017

[Review] DUA CINTA NEGERI SAKURA – Irene Dyah

Penerbit : Gramedia
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Adult, Metropop, Islam
Terbit : 2015
Tebal : 186 halaman
ISBN : 978 – 602 – 03 – 1269 – 9
Harga : Rp. 49.500

Miyu Hasegawa, gadis Jepang yang mencintai Solo dan Tari. Dia lebih mirip Gadis Jawa dari pada orang Jepang.
Sifat Miyu yang lemah lembut harus diterpa sebuah perkara yang tampak bisa merobohkannya. Dia mencintai pria yang sudah memiliki istri, Scott, fotografer yang lebih sering meletakan kameranya dan lebih senang melihat Miyu menari langsung tanpa terhalang lensa.
Kenyataan bahwa Scott ternyata sahabat Aliyah, membuat Miyu susah payah menyembunyikan perasaannya kepada kedua sahabatnya – Aliyah dan Ajeng. Dia tidak ingin masalah perasaan akan merepotkan mereka berdua.
Terkadang, cinta bisa berjalan tanpa logika. Dan, apakah Miyu tetap mampu menjaga hatinya, atau dia mengalah dan menyambut uluran tangan Scott?
“Walaupun atas nama cinta. Aku tidak pernah merasa berhak bahagia di atas kesedihan orang lain. Sekali lagi, itu culas.” – Miyu – hlm. 146
Dua Cinta Negeri Sakura, ini sekuel dari Novel Tiga Cara Mencinta.
Aku membaca Novel Tiga Cara Mencinta di tahun 2014, di dalam bus menuju Surabaya. Saat itu, aku langsung menyukai cara bercerita Iren Dyah. Apalagi, di dalam ceritanya, dia menyisipkan banyak sekali hal yang membangun jiwa pembaca, seperti tentang Islam, tentang cinta, dan persahabatan. Dan, di seri kedua ini, aku masih bisa menemukan ilmu-ilmu yang sama.
Kalau di Tiga Cara Mencinta, fokusnya lebih ke Aliyah. Kali ini, fokusnya ke Miyu. Di novel pertama, aku sudah tahu konflik Miyu. Memang, saat itu konflik Miyu masih sangat mengambang. Dan, di sinilah Penulis mencoba menceritakan lebih detail.
Dari Miyu, aku belajar tentang cinta yang dewasa. Seperti apapun kita mencintai, tetap saja kita tidak boleh egois. Mau semasuk akal apapun alasan kita untuk mencinta dia – yang tidak lagi bisa kita cintai, tetap saja kita tidak boleh egois.
Mungkin, jika yang menjalani konflik ini adalah Ajeng, dia tidak akan peduli tentang egoisme. Eh, iya... Ajeng ‘kan nggak akan menikah dan nggak akan mau mencintai pria mana pun. Kalau kamu sudah baca Novel Tiga Cara Mencinta, kamu akan tahu seperti apa gilanya Ajeng. Dan, seperti apa konflik yang terjadi dengan rumah tangga Aliyah – dulu.
Terkadang, dalam konflik cinta segitiga, dimana yang pria sudah punya pasangan, kita akan dengan mudah menyalahkan pihak perempuan – yang dianggap sebagai penyebab rusaknya sebuah hubungan. Nah, di sini kita akan disadarkan, bahwa tidak semua perempuan yang menjadi perusak sebuah hubungan adalah pihak yang salah. Bisa jadi, dia juga korban, sama seperti Miyu.
Lagi-lagi Penulis berdakwah di dalam novelnya. Cara dakwahnya benar-benar begitu soft, sampai-sampai pembaca tidak akan merasa digurui, tapi perlahan pembaca akan mentelaah sendiri kebenaran dari ilmu tersebut.
Seperti tentang kejadian Ajeng yang pantatnya ditepuk seorang pria saat jalan-jalan di Jepang. Ini adalah gambaran manfaat berhijab. Seperti permen yang dibungkus plastik, maka permen itu akan lebih terjaga isinya dari pada permen yang dibiarkan terbuka.
Konflik Aliyah yang bingung memutuskan keluar dari tempatnya kerja dan menjadi ibu rumah tangga saja, ini juga menyadarkan kita bahwa hanya menjadi ibu rumah tangga itu adalah pekerjaan yang super mulia.
Di novel ini aku penasaran sama Thariq, kakak laki-laki Asyila – guru mengaji Aliyah. Cowok ini digambarkan Aliyah sebagai cowok yang ganteng, tapi dingin. Cuma, kalau sudah kenal Thariq ini menyenangkan. Duh, moga-moga di seri ketiga dia lebih banyak punya peran. Kalau Thariq ini sama Ajeng, seru kali ya.
Seri ketiga nanti fokusnya ke Ajeng. Setting pindah ke Bangkok. Sayang, saat ini belum punya bukunya. Ada yang mau beliin? Nggak usah deh, ntar ngrepotin.
Balik ke cerita. Untuk endingnya, gantung. Yah, maklum, masih ada novel sekuelnya.
Rating 2,8 dari 5 bintang.


1 comment:

  1. Ku akui buku ini tuh religinya terasa banget. Klop deh sama aku yang emang suka banget sama novel romance yang berbau religi. Tetapi masalahnya, aku kurang nyama aja dengan gaya bahasanya yang dipakai kak dyah, terlebih lagi ceritanya ngegantung, huft. Barang kalai ini pasti gara-gara selera bacaan tiap orang yg berbeda-beda kali yak, jadinya aku kurang menikmatinya.....(Btw, sebelum komen disini aku bela-belain baca ceritanya dulu lho di Ijak, biar bisa ngasih tanggepan gitu disini, hehe)

    ReplyDelete