Flash Fiction ini untuk
diikut sertakan di
Giveaway Novel
Aku sudah beranjak dari dudukku sesaat setelah sang penari itu meninggalkan panggungnya.
“Ndoro!” suara
pelayanku tak lagi kuhiraukan.
“Gayatri!” panggilku.
“Ndoro Agung?!” sang penari itu
terlihat terkejut melihatku.
Hatiku sakit mendengar
sebuatan dia untukku.
“Ndoro, maafkan saya!
Tolong lepaskan saya, nggak enak dilihat orang!” dia berusaha melepaskan
genggaman tanganku.
“Kau pikir aku akan
membiarkanmu pergi lagi? Tidak akan!” suaraku meninggi.
“Nanti kalau ibu ndoro
lihat bagaimana?” dia terlihat was-was.
“Biar saja ibuku tahu!”
jawabku sambil menyeretnya pergi dari tempat itu.
“Ndoro, kemana ndoro
mau bawa saya?” dia terlihat takut, tapi aku tak perduli.
***
Senja sore langit
Yogyakarta beranjak menuju pusaka raya bersama gemuruh dadaku yang tak kunjung
mereda.
“Kenapa kau pergi?”
tanyaku lirih.
“Karena saya nggak
pantas untuk Ndoro.” Aku tersenyum masam. “Maaf , saya sudah menikah sekarang,”
lanjutnya, membuat harapan terakhirku runtuh seketika.
“Kau menikah?” Dia
tertunduk, “Kau membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya, tapi kau juga yang
menghancurkannya! Kenapa?” suaraku meninggi.
“Karena saya nggak
pantas untuk Ndoro!” masih dengan jawaban yang sama.
“KAU PIKIR AKU PEDULI!”
aku benar-benar murka. Dia berlutut di kakiku dan menangis.
Aku terpejam, aku
benar-benar tak tahu lagi untuk apa aku hidup sekarang.
__________________
Kalau denger nama
Kota Beijing yang terlintas di benakku adalah film Kabut Cinta, Tembok Cina,
dan Bao Chun Lei pebulu tangkis kesukaan adikku
Twitter : @dianputuamijaya
FB : Dian Putu
No comments:
Post a Comment