Penulis : Donna Widjajanto
Tebal :
vii + 225
Penerbit : Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
No. ISBN : 978-602-9397-99-4
Harga :
Rp. 39.500
Hidup
akan lebih baik jika menggunakan kaki sendiri untuk melangkah, mata sendiri
untuk melihat, dan hati sendiri untuk menentukan cintanya. Memang terkesan
mudah untuk yang terbiasa menapaki sendiri hidupnya. Tapi, jika hidup yang
harusnya bisa berdiri sendiri itu terlalu tak dipercaya, dan banyak tangan
terlalu ikut campur menyangga hidupnya, apa yang akan terjadi?
Inilah
yang dirasakan Zetta, seorang gadis yang tak pernah lepas dari pengawasan orang
tuanya, membuatnya selalu takut sendiri dan terkesan tidak mandiri.
Cerita
diawali dengan tragedi hilangnya Zetta di Phanteon. Untung dia bertemu Rama,
salah satu anggota tour yang memang memutuskan untuk jalan sendiri tidak ikut
rombongan tour yang lebih sibuk ke tempat-tempat belanja, karena tour ini memang
bertujuan untuk shopping ala ibu-ibu
arisan
Hilangnya
Zetta bikin acara Shopping ibu-ibu
jadi berantakan karena mama Zetta, Bu Sisil terlalu khawatir sama putrinya yang
memang nggak pernah jauh darinya. Jadilah, Pak Totok dan Bu Jasmine
mengorbankan acara belanja mereka dan menemani Bu Sisil mencari Zetta.
Karena
nggak ketemu juga dengan Zetta, akhirnya mereka memutuskan kembali ke hotel,
berharap mereka bertemu orang yang dicarinya.
Zetta
yang bersama Rama tak bisa menikmati pemandangan Kota Roma yang exsotis, dan
itu bikin Rama juga nggak bisa menikmatinya. Akhirnya, Rama menuruti permintaan
Zetta untuk kembali ke hotel walaupun dengan setengah hati.
Sampai
di hotel, Zetta berhasil bertemu dengan mamanya. Pertama bertemu, Bu Sisil
bukannya menanyakan keadaan anaknya, malah memarahinya karena nggak mikirin
mamanya yang cemas setengah mati. Dan, parahnya Bu Sisil juga memarahi Rama yang
sebenarnya udah jadi penyelamat Zetta. Alhasil Bu Rita, Bibirnya Rama nggak
terima keponakannya di tuduh ingin menculik Zetta.
Rama
akhirnya pergi bersama Bibinya agar tidak terjadi perang dunia ke III antara Bu
Rita dan Bu Sisil. Sedangkan Zetta malah ikut-ikutan kabur karena marah sama
mamanya. Terpaksa Pak Totok mengejarnya, dan saat itulah Pak Totok ngusulkan
ide gila. Dia ingin Zetta sementara jauh dulu dari mamanya, lebih baik Zetta
jalan sendiri sama Rama, biar mamanya tahu, Zetta nggak selemah yang mamanya
kira.
Dan
terjadilah petualangan seru Zetta dan Rama, yang membuat mereka makin dekat.
Banyak banget kejadian yang mereka alami, dari kesasar di gang-gang kecil kota
Roma yang mirip seperti labirin, makan es krim yang berakhir romantis, sampai
kecopetan. Dan, nggak ketinggalan ketemu
sama duo calon dokter asal Indonesia yang punya misi keliling dunia.
Nah,
disinilah Rama diuji. Dia harus menahan cemburu dan kesalnya karena melihat
Arya yang nguntitin Zetta mulu. Di beberapa adegan, Zetta dan Arya memang terlihat
akrab. Dan apakah Zetta beneran suka sama Arya, atau Zetta suka sama Rama? Berhasilkah
Zetta membuktikan dirinya kalau dia bisa mandiri? Semua jawaban hanya bisa
kalian temukan di Novel Sett’er Celo de Roma
Sebenarnya,
daya tarik Novel Sott’er Celo de Roma ini terdapat pada settingnya, dan kisah
petualangannya. Tapi, Penggambaran Settingnya kurang dieksplor lebih, dan lebih
menggutamakan konflik Zetta dan ibunya, atau Zetta dengan Rama, atau Zetta
dengan dirinya sendiri. Inilah yang bikin ceritanya kurang sedap.
Dan
lagi, penulis membuat sudut pandang yang cukup bervariasi dalam satu novel.
Sudut pandang dibagi menjadi tiga, sudut pandang Zetta, Sudut pandang Rama dan
sudut pandang penulis. Dan, tak ada keterangan saat sudut pandangnya berganti,
tapi itu bukan masalah berarti bagiku. Dan, Jujur di awal cerita kehadiran
sudut pandang penulis bikin jenuh, bikin cerita bergerak lambat. Tapi, pas
pertengahan mulai kerasa satu kesatuannya.
Yang
membuat aku sangat terganggu adalah banyaknya kesalahan tanda baca, dan juga
pemilihan idiom yang kurang tepat. Ada beberapa kalimat yang kurang sesuai jika
digunakan dalam pharagrap itu.
Contohnya :
“Gue, eh…, yah…,
seperti yang bisa elo kira-kira…gue agak-agak tipe pemberontak,” gue, mengaku,
tapi kecil, mini, liliput. (Halaman 104)
Nah
penggalan paragrap ini contohnya, “gue,
mengaku, tapi kecil, mini, liliput.” Dalam penjelasan ini sebenarnya Rama
ingin menggambarkan dirinya yang tak ada apa-apanya sama Zetta. Tapi, pilihan
kalimatnya susah dicerna.
Juga
penggunaan kata gue-elo pada Zetta.
Bagi aku, Zetta itu anak rumahan yang jarang bergaul sama teman-temannya, dia
pasti lebih sering pakek aku kamu. Kalau untuk Rama, Arya dan Andi sih fine-fine saja, karena karakter mereka
adalah anak gaul.
Yang
perlu diacungi jempol itu pada cara mbak Donna menceritakan kebiasaan ibu-ibu
arisan, kesan rumpinya dapet banget.
Dan
untuk karakternya, saat di awal cerita, aku merasa Rama terlalu cerewet untuk
ukuran cowok, atau mungkin karena sudut pandang yang dipakai adalah sudut
pandang pertama. Tapi, saat mulai ke tengah udah kerasa karakter yang
sebenarnya. Walaupun Rama itu digambarkan anaknya suka berontak, tapi disini
aku malah menangkap kesan Rama yang punya tanggungjawab dan tahu kemana dia
ingin melangkah. Dia juga matang, dan dewasa dalam bersikap.
Sedangkan
Zetta, aku menangkap karakter yang jauh dari kata anak mami, atau anak papi.
Dia lebih terkesan cewek yang peduli dan penurut, juga berperasaan halus.
Kalau
karakter Andi kenapa aku ngerasa di cuma hiasan, ya? Dia kurang diperankan
sehingga aku kurang menangkap karakternya. Berbeda sama Karakter pendukung yang lain. Seperti pada karakter Bu Rita atau si Meyka,
bahkan Karakter Agus si guide. Mereka benar-benar terasa fungsinya, nggak cuma
hiasan. Maaf, ya mbak. :D
Dalam
plot yang terus berjalan, Mbak Donna juga nggak mengesampingkan pesan-pesan
moralnya. Dia ngajarin kita anak muda untuk menengok kekayaan yang dimiliki
negaranya sendiri, jangan trus silau sama kekayaan negara asing. Seperti
percakapan Arya dan Zetta tentang Museum di Indonesia.
……” kata Arya membela
diri. “Lagian, museum di Indonesia ‘kan yah… gitu-gitu…”
“Ya, nggaklah! Justru
tahun-tahun belakangan ini museum-museum di Indonesia makin bagus-bagus, loh!”
sergahku. “Museum Gajah udah punya gedung baru yang keren banget. Di banyak
museum juga sudah banyak peraga yang menggunakan komputer, layar sentuh, dan
perangkat interaktif modern.” (Halaman 162)
Juga
Sketsa Kota Roma yang tersebar di beberapa halaman. Bagus banget!!! Andaikan
sama adikku dibolehin aku warnai, udah aku warnai itu sketsa… hahahaha…
Sekarang
nilainya. Eh, aku kasih dua aja dari lima bintang. Tetap berkarya mbak Donna!!!
Di tunggu karya selanjutnya dan kuis selanjutnya. Hahaha… asal tahu saja ya,
novel ini lagi-lagi aku dapatkan secara cuma-cuma, hanya bermodal twitter saja.
Makasih, mbak Donna
Juga Sketsa Kota Roma yang tersebar di beberapa halaman. Bagus banget!!! Andaikan sama adikku dibolehin aku warnai, udah aku warnai itu sketsa… hahahaha…
ReplyDeleteaaah.. makasiih.. aku yg gambar sketsanya.. >.<