Monday, June 3, 2013

RESENSI – COTT’ER CELO DE ROMA : Biarkan Aku Bebas!!!


Penulis           : Donna Widjajanto
Tebal              : vii + 225
Penerbit         : Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
No. ISBN      : 978-602-9397-99-4
Harga             : Rp. 39.500

Hidup akan lebih baik jika menggunakan kaki sendiri untuk melangkah, mata sendiri untuk melihat, dan hati sendiri untuk menentukan cintanya. Memang terkesan mudah untuk yang terbiasa menapaki sendiri hidupnya. Tapi, jika hidup yang harusnya bisa berdiri sendiri itu terlalu tak dipercaya, dan banyak tangan terlalu ikut campur menyangga hidupnya, apa yang akan terjadi?
Inilah yang dirasakan Zetta, seorang gadis yang tak pernah lepas dari pengawasan orang tuanya, membuatnya selalu takut sendiri dan terkesan tidak mandiri.
Cerita diawali dengan tragedi hilangnya Zetta di Phanteon. Untung dia bertemu Rama, salah satu anggota tour yang memang memutuskan untuk jalan sendiri tidak ikut rombongan tour yang lebih sibuk ke tempat-tempat belanja, karena tour ini memang bertujuan untuk shopping ala ibu-ibu arisan
Hilangnya Zetta bikin acara Shopping ibu-ibu jadi berantakan karena mama Zetta, Bu Sisil terlalu khawatir sama putrinya yang memang nggak pernah jauh darinya. Jadilah, Pak Totok dan Bu Jasmine mengorbankan acara belanja mereka dan menemani Bu Sisil mencari Zetta.
Karena nggak ketemu juga dengan Zetta, akhirnya mereka memutuskan kembali ke hotel, berharap mereka bertemu orang yang dicarinya.
Zetta yang bersama Rama tak bisa menikmati pemandangan Kota Roma yang exsotis, dan itu bikin Rama juga nggak bisa menikmatinya. Akhirnya, Rama menuruti permintaan Zetta untuk kembali ke hotel walaupun dengan setengah hati.
Sampai di hotel, Zetta berhasil bertemu dengan mamanya. Pertama bertemu, Bu Sisil bukannya menanyakan keadaan anaknya, malah memarahinya karena nggak mikirin mamanya yang cemas setengah mati. Dan, parahnya Bu Sisil juga memarahi Rama yang sebenarnya udah jadi penyelamat Zetta. Alhasil Bu Rita, Bibirnya Rama nggak terima keponakannya di tuduh ingin menculik Zetta.
Rama akhirnya pergi bersama Bibinya agar tidak terjadi perang dunia ke III antara Bu Rita dan Bu Sisil. Sedangkan Zetta malah ikut-ikutan kabur karena marah sama mamanya. Terpaksa Pak Totok mengejarnya, dan saat itulah Pak Totok ngusulkan ide gila. Dia ingin Zetta sementara jauh dulu dari mamanya, lebih baik Zetta jalan sendiri sama Rama, biar mamanya tahu, Zetta nggak selemah yang mamanya kira.
Dan terjadilah petualangan seru Zetta dan Rama, yang membuat mereka makin dekat. Banyak banget kejadian yang mereka alami, dari kesasar di gang-gang kecil kota Roma yang mirip seperti labirin, makan es krim yang berakhir romantis, sampai kecopetan. Dan, nggak ketinggalan  ketemu sama duo calon dokter asal Indonesia  yang punya misi keliling dunia.
Nah, disinilah Rama diuji. Dia harus menahan cemburu dan kesalnya karena melihat Arya yang nguntitin Zetta mulu. Di beberapa adegan, Zetta dan Arya memang terlihat akrab. Dan apakah Zetta beneran suka sama Arya, atau Zetta suka sama Rama? Berhasilkah Zetta membuktikan dirinya kalau dia bisa mandiri? Semua jawaban hanya bisa kalian temukan di Novel Sett’er Celo de Roma  
Sebenarnya, daya tarik Novel Sott’er Celo de Roma ini terdapat pada settingnya, dan kisah petualangannya. Tapi, Penggambaran Settingnya kurang dieksplor lebih, dan lebih menggutamakan konflik Zetta dan ibunya, atau Zetta dengan Rama, atau Zetta dengan dirinya sendiri. Inilah yang bikin ceritanya kurang sedap.
Dan lagi, penulis membuat sudut pandang yang cukup bervariasi dalam satu novel. Sudut pandang dibagi menjadi tiga, sudut pandang Zetta, Sudut pandang Rama dan sudut pandang penulis. Dan, tak ada keterangan saat sudut pandangnya berganti, tapi itu bukan masalah berarti bagiku. Dan, Jujur di awal cerita kehadiran sudut pandang penulis bikin jenuh, bikin cerita bergerak lambat. Tapi, pas pertengahan mulai kerasa satu kesatuannya.
Yang membuat aku sangat terganggu adalah banyaknya kesalahan tanda baca, dan juga pemilihan idiom yang kurang tepat. Ada beberapa kalimat yang kurang sesuai jika digunakan dalam pharagrap itu.
Contohnya  :
“Gue, eh…, yah…, seperti yang bisa elo kira-kira…gue agak-agak tipe pemberontak,” gue, mengaku, tapi kecil, mini, liliput. (Halaman 104)

Nah penggalan paragrap ini contohnya, “gue, mengaku, tapi kecil, mini, liliput.” Dalam penjelasan ini sebenarnya Rama ingin menggambarkan dirinya yang tak ada apa-apanya sama Zetta. Tapi, pilihan kalimatnya susah dicerna.
Juga penggunaan kata gue-elo pada Zetta. Bagi aku, Zetta itu anak rumahan yang jarang bergaul sama teman-temannya, dia pasti lebih sering pakek aku kamu. Kalau untuk Rama, Arya dan Andi sih fine-fine saja, karena karakter mereka adalah anak gaul.
Yang perlu diacungi jempol itu pada cara mbak Donna menceritakan kebiasaan ibu-ibu arisan, kesan rumpinya dapet banget.
Dan untuk karakternya, saat di awal cerita, aku merasa Rama terlalu cerewet untuk ukuran cowok, atau mungkin karena sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang pertama. Tapi, saat mulai ke tengah udah kerasa karakter yang sebenarnya. Walaupun Rama itu digambarkan anaknya suka berontak, tapi disini aku malah menangkap kesan Rama yang punya tanggungjawab dan tahu kemana dia ingin melangkah. Dia juga matang, dan dewasa dalam bersikap.
Sedangkan Zetta, aku menangkap karakter yang jauh dari kata anak mami, atau anak papi. Dia lebih terkesan cewek yang peduli dan penurut, juga berperasaan halus.
Kalau karakter Andi kenapa aku ngerasa di cuma hiasan, ya? Dia kurang diperankan sehingga aku kurang menangkap karakternya. Berbeda sama  Karakter pendukung yang lain.  Seperti pada karakter Bu Rita atau si Meyka, bahkan Karakter Agus si guide. Mereka benar-benar terasa fungsinya, nggak cuma hiasan. Maaf, ya mbak. :D
Dalam plot yang terus berjalan, Mbak Donna juga nggak mengesampingkan pesan-pesan moralnya. Dia ngajarin kita anak muda untuk menengok kekayaan yang dimiliki negaranya sendiri, jangan trus silau sama kekayaan negara asing. Seperti percakapan Arya dan Zetta tentang Museum di Indonesia.
……” kata Arya membela diri. “Lagian, museum di Indonesia ‘kan yah… gitu-gitu…”
“Ya, nggaklah! Justru tahun-tahun belakangan ini museum-museum di Indonesia makin bagus-bagus, loh!” sergahku. “Museum Gajah udah punya gedung baru yang keren banget. Di banyak museum juga sudah banyak peraga yang menggunakan komputer, layar sentuh, dan perangkat interaktif modern.” (Halaman 162)

Juga Sketsa Kota Roma yang tersebar di beberapa halaman. Bagus banget!!! Andaikan sama adikku dibolehin aku warnai, udah aku warnai itu sketsa… hahahaha…
Sekarang nilainya. Eh, aku kasih dua aja dari lima bintang. Tetap berkarya mbak Donna!!! Di tunggu karya selanjutnya dan kuis selanjutnya. Hahaha… asal tahu saja ya, novel ini lagi-lagi aku dapatkan secara cuma-cuma, hanya bermodal twitter saja. Makasih, mbak Donna

1 comment:

  1. Juga Sketsa Kota Roma yang tersebar di beberapa halaman. Bagus banget!!! Andaikan sama adikku dibolehin aku warnai, udah aku warnai itu sketsa… hahahaha…

    aaah.. makasiih.. aku yg gambar sketsanya.. >.<

    ReplyDelete