Saturday, June 22, 2013

Resensi - PARIS : ALINE “Cinta di sudut lain Kota Paris”




Judul : Paris “Aline”
Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Gagas Media
Jumlah Halaman : x + 214 hal
ISBN : 979-780-577-8
Tahun Terbit : 2013
Harga : Rp. 42.000

Gambar saya jelek, kamu cari clip-art dari internet aja.” Dia menatapku tajam. “Kamu tahu berapa banyak orang yang berusaha keras biar bisa ngegambar kayak kamu, termasuk dia?” Sena menunjuk dapur dengan dagunya. “Kamu buta atau apa, sih, sampe nggak tahu alasan temanmu yang satunya tadi minta gambar ke kamu? Kamu nggak sadar, dia pengin nunjukin gambar itu ke pacarnya, lalu ngaku-ngaku kalo itu gambarnya sendiri.” (Sena - halaman 79).

Paragraf di atas adalah dialog yang dilakukan Sena, tokoh pria di Novel Paris. Kata-katanya memang seperti asal ucap dan tanpa perasaan, tapi terdengar begitu membekas di telingaku. Ajaib!
Novel ini makin ajaib karena berkisah tentang cinta yang menurut aku tidak biasa, sedikit melencong dengan cara penulis lain menyampaikan cerita cintanya. Tidak romantis, tidak juga terlalu manis, kadang terasa hambar, bahkan mungkin lebih ekstrim.
Ini tentang Aline, Aline Ofeli. Gadis yang menganggap dirinya di bawah standar, dan biasa-biasa saja. Gadis yang memilih sekolah di Paris hanya demi mewujudkan impian ayahnya yang sudah meninggal. Gadis yang merana karena cintanya pada ubur-ubur bertepuk sebelah tangan. Dan, gadis yang berbakat menggambar, namun menganggap gambarnya sendiri tak menarik.
Kemudian, dia bertemu manusia eksentrik, manusia yang selalu berlebihan dalam segala hal, berselera aneh, dan suka tempat-tempat menyeramkan, juga misterius. Dia Aeolus Sena, pria yang dikenal Aline karena sebuah pecahan porselin.
Perlahan, mereka dekat karena janji tiga permintaan Aline yang akan dikabulkan Sena karena telah mengembalikan porselinnya. Dan, dari sanalah Aline mulai disadarkan tentang banyak hal, dari bagaimana sebenarnya sosok seorang Aline dimata orang lain, tentang kenapa Ubur-ubur terkesan membencinya, tentang perasaan Kak Erza padanya, tentang bakat Aline, bahkan akhirnya juga tentang cinta.
Tapi, Aline tak pernah tahu banyak tentang Sena. Bagi Aline, jawaban-jawaban pertanyaannya hanya dijawab Sena dengan candaan. Termasuk dimana tempat Sena bekerja, Aline mengaggap itu aneh dan tak mungkin.
Lalu, Sena perlahan-lahan semakin masuk mempengaruhi hidup Aline. Sampai-sampai Aline melakukan hal yang berbahaya hanya untuk bertemu Sena. Dan, itu membuat Sena tak bisa lepas lagi dari cinta Aline.
Keputusan Aline untuk nekat memanjat pagar rumah Keluarga Poussin dan menantang mereka, bagiku terdengar wajar. Walaupun, banyak yang berpendapat itu aneh. Tidak, tak ada yang aneh jika cinta sudah menguasai otak. Begitu juga dengan Aline. Cintanya mengharuskan dia berjuang tanpa peduli pada keselamatannya sendiri.
Pere Lachaise
Place de la Bastille


Setting Paris yang bebeda pun terdengar cukup wajar bagiku. Bahkan terkesan lebih unik dan menarik. Disini, tak ada Menara Eiffel atau tempat-tempat belanja yang menggiurkan, yang ada gambaran mencekap Placede la Bastille pada jam 12 malam, dan Pere Lachaise, sebuah kuburan yang menjadi tempat wisata. Tapi, ada juga tempat yang menarik yang menjadi settingnya, seperti Beaumarchais Boulangerie yang penuh roti-roti enak, dan beberapa tempat lainnya.
Karakternya juga dibuat berbeda, terutama pada tokoh Sena. Penulis sama sekali tak egois membohongi pembaca dengan menyajikan karakter yang bikin jatuh cinta tapi adanya cuma di dongeng saja. Dia menggambarkan Sena dengan ciri khas yang kuat, dengan kacamata bulat yang besar, penampilan yang jauh dari kata modis, dan berekspresi berlebihan pada hal-hal yang biasa saja. Contoh berlebihan Sena yang paling ekstrim adalah berjanji dengan darah. Hiiaaahhh!!!! Kalau aku ketemu Sena, mungkin aku udah ilfeel duluan.
Sketsa di Novel Paris
Karakter Aline juga benar-benar terasa. Jelas, karena novel ini diceritakan dari sudut pandang Aline yang selalu labil dan kadang kekanak-kanakan. Namun, aku tetap wajar-wajar saja, berbeda dengan karakter Sena yang membuatku menghela nafas.
Walaupun novel diceritakan dari sudut pandang orang pertama, tapi penggambaran setting dan suasananya tidak terkesan datar dan membosankan. Mereka sangat tercampur rapi dalam satu adonan cerita.
Konfliknya, tetap mengangkat cinta. Tapi, cinta yang aku rasakan di sini terasa sangat berbeda. Sama seperti yang sudah aku ceritakan di atas, novel ini tidak manis dan romantis. Tapi, cinta di sini lebih lembut dan tulus. Tidak hanya tentang cinta, novel ini juga berkisah tentang tekanan hidup dari masing-masing tokohnya. Tidak hanya tokoh utama yang sudah aku ceritakan, tapi juga tokoh-tokoh pendampingnya seperti Erza, teman-teman Bistro Lombok Aline, Sevigne, dan juga Keluarga Poussin.

Sketsa di Novel Paris

Yang sedikit aneh, kenapa Sena tetap bertahan hidup di Keluarga Poussin. Jelas-jelas dia bisa kapan saja mati disiksa oleh mereka. Dan, bukannya dia beberapa kali bisa kabur, kenapa tak pergi jauh sekalian dari mereka? Yah, memang dalam novelnya sudah dijawab sendiri oleh Sena. Tapi, tetap saja agak aneh.
Untuk dialognya, tetap menggunakan beberapa Bahasa Perancis seperti di novel-novel bersetting luar negeri pada umumnya, dengan porsi sangat sedikit dan dilengkapi notefoot. Sayangnya, tidak semua bahasa asing itu dilengkapi notefoot. Ada beberapa yang dibiarkan saja. Mungkin, penulis menganggap bahasa itu sudah umum. Tapi, untuk aku pribadi, atau mungkin beberapa pembaca yang lain yang tak pernah belajar Bahasa Perancis tetap akan kesulitan.
Lalu, percakapan antar dialog. Beberapa terkesan membingungkan, siapa yang sebenarnya mengucapkannya, Sena atau Aline? Dan, untuk memahaminya aku harus membacanya 4 kali di bagian-bagian itu.
Untuk Typo, tak ada. Novel ini anti Typo. Desain covernya juga minimalis namun terkesan retro, sama seperti desain di dalamnya. Sketsanya manis sekali, cocok sama karakter Aline yang suka menggambar.
Endingnya aku sangat suka, sempurna, sangat sempurna! Penulis menyelesaikan ceritanya karena memang ceritanya selesai, bukan dipaksa untuk selesai. Ending menempel dengan alamiah dan memberikan kesan sangat mengena untukku.
Dan, memo di akhir halaman, memberikan penekanan yang semakin manis. Memang singkat dan hanya percakapan ringan antara Sena dan Aline. Tapi, itu mengembalikan karakter Sena yang lama hilang di beberapa bab terakhir.
Sekarang mau kasih bintang dulu. Karena novel ini unik, dan memberikan aku rasa yang berbeda saat membaca novel, aku kasih 4 dari 5 bintang untuk Prisca Primasari. Khusus untuk gambarnya dan desain di dalamnya aku kasih nilai 5 dari 5 bintang. God Job!

3 comments:

  1. "Kemudian, dia bertemu manusia ekstrim, manusia yang selalu berlebihan dalam segala hal, berselera aneh, dan suka tempat-tempat menyeramkan, juga misterius."

    bukan manusia ekstrim, manusia eksentrik, menurutku :)

    nice review

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, itu Na! Itu maksudku, "eksentrik", nginget istilah itu nggak nemu2... hahahaha... Langsung kabur ngedit!!!

      Makasih, ya?! :D

      Delete
  2. Novel STPC yang paling pengen aku baca. Karena judulnya, covernya, dan rating di goodreads yang lumayan tinggi daripada STPC lain. Tapi belum kesampaian baca huhu...
    Setelah baca review kak Dian, tambah tertarik saya. Tokoh Sena sepertinya asik/unik walau katanya bikin ilfee hahaa. Mengetahui ada dialog yang bikin bingung, aku setuju, dari dialog yang kak Dian kutip di atas aja aku bingung siapa yang lagi ngomong. Untung dijelasin kalau itu dialognya Sena dan Aline.

    Terima kasih resensinya, referensi banget :)

    ReplyDelete