Judul : Paris “Aline”
Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Gagas Media
Jumlah Halaman : x + 214 hal
ISBN : 979-780-577-8
Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Gagas Media
Jumlah Halaman : x + 214 hal
ISBN : 979-780-577-8
Tahun Terbit : 2013
Harga : Rp. 42.000
Harga : Rp. 42.000
“Gambar saya
jelek, kamu cari clip-art dari
internet aja.” Dia menatapku tajam. “Kamu tahu berapa banyak orang yang
berusaha keras biar bisa ngegambar kayak kamu, termasuk dia?” Sena menunjuk dapur dengan dagunya. “Kamu
buta atau apa, sih, sampe nggak tahu alasan temanmu yang satunya tadi minta
gambar ke kamu? Kamu nggak sadar, dia pengin nunjukin gambar itu ke pacarnya,
lalu ngaku-ngaku kalo itu gambarnya sendiri.” (Sena - halaman 79).
Paragraf di atas adalah
dialog yang dilakukan Sena, tokoh pria di Novel Paris. Kata-katanya memang seperti
asal ucap dan tanpa perasaan, tapi terdengar begitu membekas di telingaku. Ajaib!
Novel ini makin ajaib
karena berkisah tentang cinta yang menurut aku tidak biasa, sedikit melencong
dengan cara penulis lain menyampaikan cerita cintanya. Tidak romantis, tidak
juga terlalu manis, kadang terasa hambar, bahkan mungkin lebih ekstrim.
Ini tentang Aline,
Aline Ofeli. Gadis yang menganggap dirinya di bawah standar, dan biasa-biasa
saja. Gadis yang memilih sekolah di Paris hanya demi mewujudkan impian ayahnya
yang sudah meninggal. Gadis yang merana karena cintanya pada ubur-ubur bertepuk
sebelah tangan. Dan, gadis yang berbakat menggambar, namun menganggap gambarnya
sendiri tak menarik.
Kemudian, dia bertemu
manusia eksentrik, manusia yang selalu berlebihan dalam segala hal, berselera
aneh, dan suka tempat-tempat menyeramkan, juga misterius. Dia Aeolus Sena, pria
yang dikenal Aline karena sebuah pecahan porselin.
Perlahan, mereka dekat
karena janji tiga permintaan Aline yang akan dikabulkan Sena karena telah
mengembalikan porselinnya. Dan, dari sanalah Aline mulai disadarkan tentang
banyak hal, dari bagaimana sebenarnya sosok seorang Aline dimata orang lain, tentang
kenapa Ubur-ubur terkesan membencinya, tentang perasaan Kak Erza padanya,
tentang bakat Aline, bahkan akhirnya juga tentang cinta.
Tapi, Aline tak pernah
tahu banyak tentang Sena. Bagi Aline, jawaban-jawaban pertanyaannya hanya
dijawab Sena dengan candaan. Termasuk dimana tempat Sena bekerja, Aline
mengaggap itu aneh dan tak mungkin.
Lalu, Sena
perlahan-lahan semakin masuk mempengaruhi hidup Aline. Sampai-sampai Aline
melakukan hal yang berbahaya hanya untuk bertemu Sena. Dan, itu membuat Sena
tak bisa lepas lagi dari cinta Aline.
Keputusan Aline untuk
nekat memanjat pagar rumah Keluarga Poussin dan menantang mereka, bagiku
terdengar wajar. Walaupun, banyak yang berpendapat itu aneh. Tidak, tak ada
yang aneh jika cinta sudah menguasai otak. Begitu juga dengan Aline. Cintanya
mengharuskan dia berjuang tanpa peduli pada keselamatannya sendiri.
Pere Lachaise |
Place de la Bastille |
Setting
Paris yang bebeda pun terdengar cukup wajar bagiku. Bahkan terkesan lebih unik
dan menarik. Disini, tak ada Menara Eiffel atau tempat-tempat belanja yang
menggiurkan, yang ada gambaran mencekap Placede la Bastille pada jam 12 malam, dan Pere Lachaise, sebuah kuburan yang menjadi tempat wisata. Tapi, ada juga tempat
yang menarik yang menjadi settingnya,
seperti Beaumarchais Boulangerie yang
penuh roti-roti enak, dan beberapa tempat lainnya.
Karakternya juga dibuat
berbeda, terutama pada tokoh Sena. Penulis sama sekali tak egois membohongi
pembaca dengan menyajikan karakter yang bikin jatuh cinta tapi adanya cuma di
dongeng saja. Dia menggambarkan Sena dengan ciri khas yang kuat, dengan
kacamata bulat yang besar, penampilan yang jauh dari kata modis, dan
berekspresi berlebihan pada hal-hal yang biasa saja. Contoh berlebihan Sena
yang paling ekstrim adalah berjanji dengan darah. Hiiaaahhh!!!! Kalau aku
ketemu Sena, mungkin aku udah ilfeel
duluan.
Sketsa di Novel Paris |
Karakter Aline juga
benar-benar terasa. Jelas, karena novel ini diceritakan dari sudut pandang
Aline yang selalu labil dan kadang kekanak-kanakan. Namun, aku tetap
wajar-wajar saja, berbeda dengan karakter Sena yang membuatku menghela nafas.
Walaupun novel
diceritakan dari sudut pandang orang pertama, tapi penggambaran setting dan suasananya tidak terkesan
datar dan membosankan. Mereka sangat tercampur rapi dalam satu adonan cerita.
Konfliknya, tetap
mengangkat cinta. Tapi, cinta yang aku rasakan di sini terasa sangat berbeda.
Sama seperti yang sudah aku ceritakan di atas, novel ini tidak manis dan
romantis. Tapi, cinta di sini lebih lembut dan tulus. Tidak hanya tentang cinta,
novel ini juga berkisah tentang tekanan hidup dari masing-masing tokohnya.
Tidak hanya tokoh utama yang sudah aku ceritakan, tapi juga tokoh-tokoh
pendampingnya seperti Erza, teman-teman Bistro Lombok Aline, Sevigne, dan juga
Keluarga Poussin.
Sketsa di Novel Paris |
Yang sedikit aneh,
kenapa Sena tetap bertahan hidup di Keluarga Poussin. Jelas-jelas dia bisa
kapan saja mati disiksa oleh mereka. Dan, bukannya dia beberapa kali bisa kabur,
kenapa tak pergi jauh sekalian dari mereka? Yah, memang dalam novelnya sudah
dijawab sendiri oleh Sena. Tapi, tetap saja agak aneh.
Untuk dialognya, tetap
menggunakan beberapa Bahasa Perancis seperti di novel-novel bersetting luar negeri pada umumnya, dengan
porsi sangat sedikit dan dilengkapi notefoot.
Sayangnya, tidak semua bahasa asing itu dilengkapi notefoot. Ada beberapa yang dibiarkan saja. Mungkin, penulis menganggap
bahasa itu sudah umum. Tapi, untuk aku pribadi, atau mungkin beberapa pembaca
yang lain yang tak pernah belajar Bahasa Perancis tetap akan kesulitan.
Lalu, percakapan antar
dialog. Beberapa terkesan membingungkan, siapa yang sebenarnya mengucapkannya,
Sena atau Aline? Dan, untuk memahaminya aku harus membacanya 4 kali di bagian-bagian
itu.
Untuk Typo, tak ada.
Novel ini anti Typo. Desain covernya juga minimalis namun terkesan retro, sama
seperti desain di dalamnya. Sketsanya manis sekali, cocok sama karakter Aline
yang suka menggambar.
Endingnya
aku sangat suka, sempurna, sangat sempurna! Penulis menyelesaikan ceritanya
karena memang ceritanya selesai, bukan dipaksa untuk selesai. Ending menempel dengan alamiah dan
memberikan kesan sangat mengena untukku.
Dan, memo di akhir
halaman, memberikan penekanan yang semakin manis. Memang singkat dan hanya
percakapan ringan antara Sena dan Aline. Tapi, itu mengembalikan karakter Sena
yang lama hilang di beberapa bab terakhir.
Sekarang mau kasih
bintang dulu. Karena novel ini unik, dan memberikan aku rasa yang berbeda saat
membaca novel, aku kasih 4 dari 5 bintang untuk Prisca Primasari. Khusus untuk
gambarnya dan desain di dalamnya aku kasih nilai 5 dari 5 bintang. God Job!
"Kemudian, dia bertemu manusia ekstrim, manusia yang selalu berlebihan dalam segala hal, berselera aneh, dan suka tempat-tempat menyeramkan, juga misterius."
ReplyDeletebukan manusia ekstrim, manusia eksentrik, menurutku :)
nice review
Nah, itu Na! Itu maksudku, "eksentrik", nginget istilah itu nggak nemu2... hahahaha... Langsung kabur ngedit!!!
DeleteMakasih, ya?! :D
Novel STPC yang paling pengen aku baca. Karena judulnya, covernya, dan rating di goodreads yang lumayan tinggi daripada STPC lain. Tapi belum kesampaian baca huhu...
ReplyDeleteSetelah baca review kak Dian, tambah tertarik saya. Tokoh Sena sepertinya asik/unik walau katanya bikin ilfee hahaa. Mengetahui ada dialog yang bikin bingung, aku setuju, dari dialog yang kak Dian kutip di atas aja aku bingung siapa yang lagi ngomong. Untung dijelasin kalau itu dialognya Sena dan Aline.
Terima kasih resensinya, referensi banget :)