FanFiction
ini diambil
dari
novel Melbourne “Rewind”
karya
Winna Efendi
Apa yang tersisa dari perpisahan?
Hampa.
Iya, itulah yang aku rasakan setelah mengantar Max pergi dalam
diam.
Sejujurnya, saat itu aku ingin berlari, memeluk pungungnya,
berkata lirih, “Please, don’t go!”
Tapi, aku tahu ini mimpinya, ini pilihannya. Berhak ‘kah aku egois mencabut
mimpi itu dari hidupnya?
Setahun berlalu. Tempat Max tetap saja kubiarkan kosong. Mungkin,
rasa hampa ini terlalu nyaman hingga aku enggan beranjak pergi. Sama seperti
kebiasan lama ini, duduk di pojok Prudence Bar, dengan segelas kopi di kanan
laptopku. Sibuk mendengarkan musik, mempersiapkan playlist yang akan kuputar malam nanti.
Kadang, aku terdiam, menatap sofa kosong tepat di depanku, dan
bayangan Max yang menekuri laptopnya muncul di depanku. Sempurna mengingatkanku
padanya, sempurna mengatakan padaku, “Ternyata, aku masih merindukannya.”
Lagu Life After You
milik Daughtry belum habis diputar, namun karena perasaan hampaku tiba-tiba
berubah rindu─itulah yang mempengaruhi tanganku menggeser kursor dan mengklik
dua kali tepat pada tulisan Back To You
milik John Mayer, dan bergantilah lagu di dalam earphodku.
Back
to you
It always comes around
Back to you
I tried to forget you
I tried to stay away
But it's too late
It always comes around
Back to you
I tried to forget you
I tried to stay away
But it's too late
Pelan, kupejamkan mataku, menyandarkan tubuhku senyaman mungkin
dalam pelukan sofa tua Prudence. Menghayati setiap baitnya, menyenandungkannya
pelan seperti mengucap doa. Berharap setiap liriknya memanggil Max kembali
dalam hidupku. Berharap dia membawakan rasa itu kembali dalam hatiku,
menggantikan hampa yang tak pernah pergi.
“Maximillian, mungkinkah kau kembali di hidupku lagi?”
***
Jika lagu yang aku putar tadi, yang kusenandungkan dengan mata
terkatup dengan suara lirih bak hatiku yang bernyanyi, benar-benar tersampaikan
padanya dan membuatnya berlari menghampiriku saat ini, mungkin inilah yang
disebut keajaiban. Dia kembali, dia ada di depanku sekarang, menatapku, dan
perlahan tersenyum padaku.
Nyata, iya, dia nyata!
Tapi, kenapa aku gamang?
“Hai!” Syukurlah dia menyapaku lebih dulu. Setidaknya aku tahu dia
masih mengingatku.
“Hai, Max!” kucoba mengatur hatiku, menahan semua rasa yang
hampir-hampir meluap mengisi seluruh ruang yang dulu hampa. “Apa kabar?”
Dia mengangkat bahunya, bergerak satu langkah lebih dekat
denganku. “Baik!” Senyum itu, senyum yang sama, senyum yang selalu membuat aku
tertular senyumnya. “What about some
coffee?”
Masih juga dengan ajakan yang sama, seperti ajakan pertamanya.
Aku menggangguk, sekarang gantian aku yang bergerak mendekatinya.
Saat aku sudah berada tepat di sampingnya, mata kami bertemu, namun tak ada satu
katapun yang keluar dari mulutnya.
Dia memindahkan pandangannya, berdehem sekali sambil membetulkan
tali ransel yang bergelayut manja di bahu kanannya.
“Prudence?” Dia menyebut
nama bar tempat dulu kami sering menghabiskan waktu.
Aku hanya menggangguk.
Ah, aku butuh waktu untuk bersikap biasa.
Atau aku perlu melihat ke dalam dirinya, di sampingku ini masihkah
Maximillian yang sama? Apakah aku masih bisa berlari dan memeluknya sepeti
dulu? Atau dia sekarang sudah berbeda?
***
Pertanyaanku terjawab. Dia masih tetap sama dengan sosok yang
meninggalkanku beberapa tahun yang lalu. Aku bisa menjawabnya setelah beberapa
kali bertemu dengannya, menghabiskan waktu di Prudence Bar, menikmati kopi kami
masing-masing dan dengan aktifitas kami yang diselingi percakapan ringan dengan
topik sedikit menyerempet pada apa yang kami lakukan saat kami berpisah, dan
kenapa dulu kami akhirnya memutuskan saling mencintai.
“Ah, hujan!” ucapan lirihnya membuat aku mengangkat wajahku dari
layar laptop. Pandanganku ikut-ikutan menatap jalanan depan Prudence lewat kaca besarnya.
“Hem,” gumamku belum mengalihkan pusat pandangku dari hujan.
“Masih sama seperti dulu.” Kudengar desahan nafasnya, namun dia
juga belum berpaling. “Masih sama seperti saat kita sering duduk di sini, saat
sebelum kita belum seperti ini.”
Kualihkan juga tatapanku. Sedikit menunduk, kukulum senyum
simpulku, namun ada yang perih di hatiku. “Seperti ini, memang kita seperti apa
sekarang?” kuangkat wajahku, kutatap langsung matanya.
Dia mengakat bahunya. Dengan sedikit kasar dia banting punggungnya
pada sandaran sofa. “Sekarang kita berbeda. Kamu dan aku berbeda.”
“Waktu membuat semua orang berbeda, Max!”
“Ya.”
“Sebenarnya, dunia tetap saja berubah, kadang kita saja yang tidak
sadar.”
“Tapi, apa perubahan itu bisa mengembalikan sebuah keadaan?”
“Dia bisa menghapus, tapi mungkin dia juga bisa mengembalikan.”
Aku kembali menatap layar laptopku. “Memang apa yang ingin kamu kembalikan?”
tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku.
“Hubungan kita.” Ucapannya mampu menghentikan detak jantungku
sepersekian second.
“Ya?” tampang bingungku membuatnya tersenyum.
Dia meneguk kopinya sampai tandas, lalu kembali bersandar. “Laura,
waktu memang membawa lari hubungan kita, membuatnya putus karena jarak
bermil-mil. Sekarang waktu mengembalikan aku di dekatmu. Apakah hubungan itu
bisa diikat kembali?” Sekarang kulihat wajah itu tampak serius, lebih serius.
“Namanya juga ikatan, jelas tak akan sesempurna tali yang utuh. Namun, aku
ingin kita berusaha menyempurnakannya. Apakah kamu mau menjalin hubungan ini
kembali?”
Speechless, aku
tak siap dengan semua argumen dan pertanyaannya. Ini terlalu mendadak. Memang,
aku menikmati kebersamaan kami, tapi untuk kembali, entahlah, aku sedikit
takut.
“Max…” sulit sekali merangkai kata ini. “Biarkan aku berfikir.
Oke?” Kupijat keningku karena terlalu pusing.
“Kenapa?”
“Entahlah! Mungkin aku sedikit terkejut dengan ucapanmu.”
Dia tertawa hambar. “Terkejut? Benarkah? Aku pikir kamu sudah menantikan
pernyataanku. Aku pikir─“ dia memalingkan wajahnya, menatap bartender di ujung
lain yang sedang memperlihatkan sedikit kelihaian atraksinya. “Yah, aku rasa
aku terlalu percaya diri.” Kulihat bahunya tampak jatuh ke bawah.
“Aku hanya perlu waktu berfikir. Ini bukan sebuah penolakan.
Bisakah kau bersabar sebentar. Aku harus benar-benar tahu apa yang aku inginkan
untuk hubungan kita.”
“Apa kau tak nyaman dengan kehadiranku?” suaranya tampak lemah.
“Aku nyaman berada di dekatmu.”
“Lalu?”
“Aku takut kau pergi lagi!”
Max mengerutkan dahinya. “Oh, Laura!” Dia menggeleng tak mengerti.
“Jadi, masalahnya kamu trauma aku pergi lagi?”
Aku tersenyum sekilas. Kumatikan laptopku dan memasukkannya ke
dalam tas. “Aku harus pergi.” Kulirik jam tanganku, pukul delapan lebih lima
menit waktu Melbourne, tandanya satu jam lagi aku harus sudah ada di studio
untuk persiapan siaran malam. “Kita bicara lagi besok.” Kusandang tali
ranselku. “Bye, Max!” ucapku sebelum
meninggalkannya. Tampak dia hanya menggangguk dan tak membalas senyumku.
Ah, Max, kenapa kamu tampak begitu kecewa? Kenapa kamu seperti
terluka? Padahal aku tak yakin tak melukaimu suatu saat nanti jika kita
benar-benar kembali bersama. Dan jika itu terjadi, apakah aku tahan melihat
kamu kesakitan karena aku?
Ah, Max, waktu sepertinya merubah hatiku, mendekorasi ruang sempit
itu. Apa mungkin waktu membuat buram namamu disana hingga aku sendiri tak yakin
untuk berucap “Ya” saat kau menyatakan keinginanmu itu?
“Maaf!” gumamku.
Kupercepat kakiku menyusuri jalanan yang basah karena hujan yang
sekarang tinggal gerimis, namun tetap saja udara terasa sangat dingin hingga membuatku
harus menarik ujung jaketku semakin rapat.
***
Seminggu ini kami tak bertemu. Meneleponku pun tidak. Dan aku
semakin terpuruk dengan flu yang melandaku. Sialnya, Cee sahabatku sedang
berlibur dengan tunangannya, jadi seratus persen akulah yang harus merawat
diriku sendiri.
Hakzziiingggg…!!!!
Entah berapa kali aku bersin. Suhu tubuhku pun tak bisa dibilang
normal. Untuk mengambil minumpun rasanya malas bangun. Ya ampun, rasanya aku
mau mati.
“Max,” aku ingat hanya dia yang bisa menolongku. Kuraih ponselku
yang terdiam di atas meja dekat tempat tidur. Kuketikkan pesan singkat padanya.
Max, bisakah kamu belikan aku obat flu?
Setengah jam kemudian bel berbunyi, susah payah aku menyeret
kakiku membuka pintu. Dan saat pintu terbuka, Max memelukku, menyangga tubuhku
yang hampir terjatuh.
“Kamu baik-baik saja, Laura?” Katanya sambil mengangkat tubuhku
menuju ke kamar. Ah, baunya inilah yang membuatku selalu rindu padanya.
Setelah meletakkanku di atas tempat tidur dan memastikan selimut
menutup tubuhku, dia pergi entah ke mana. Yang aku tahu, dia kembali dengan
cepat, dan kuarasakan ada handuk basah melekat di keningku. Setelah itu aku
disodori beberapa pil dan segelas air. Selesai meneguknya aku langsung
tertidur.
Pagi itu, wajah Max lah yang pertama kulihat. Rasanya tubuhku
lebih baik. Kucoba untuk duduk. Kuperhatikan Max yang tidur di sofa persis di
dekatku. Sepertinya dia membuat sofa kesayanganku berpindah tempat. Aku
tersenyum membayangkannya susah payah memindahkannya sendirian.
“Thanks, Max!” ada
perasaan hangat dalam dadaku. “I love you.”
Tanpa aku sadari kalimat itulah yang berikutnya kuucapkan. Dan saat itulah aku
sadar, tempat itu masih dihuninya. Sekarang, nama yang dulu samar sudah kembali
sangat jelas tercetak di sana.
Kini aku yakin untuk menerima tali yang dia sodorkan padaku.
“I love you, Max!”
“Hem…” Aku tertawa mendengar gumamannya dalam tidur. Dia tampak
sangat lelah.
No comments:
Post a Comment