Cerita pendek ini terpilih sebagai Juara
3 yang terfavorit versi juri @fiksimetropop dalam event #terHARU Juli 2013 yang merupakan event kerja sama blog metropop lover dengan Penerbit
Haru. Cerpen juga bisa di baca di sini> http://menulismetropop.wordpress.com/2013/09/04/juara-3-at-the-end-of-dream-karya-dian-putu-s-amijaya/
Saat
kau melangkah, kadang apa yang ada di depanmu tak akan bisa kau lihat, karena
dia terlalu dekat.
Mungkin
sama seperti ini. Dia di depanku adalah manusia yang paling ingin aku musnahkan
secepatnya, atau setidaknya ingin kuhindari sejauh-jauhnya. Tapi, kenyataannya
aku selalu harus ada di dekatnya. Hal itulah yang membuatku yakin aku tahu
segalanya tentang dirinya. Bahkan, sampai detail kesehariannya.
Ternyata,
aku salah! Aku memang selalu berada di dekatnya. Namun, aku tak tahu banyak
tentangnya. Tentang hatinya, keluarganya, dan terutama alasan mengapa ia
menjadi orang yang paling ingin aku musnahkan.
***
“Idih,
gila ya! Ada gitu cowok nyebelin kayak dia!”
Kuhempaskan
tubuhku di belakang kemudi mobil. Kucengkeram erat setir untuk meluapkan
emosiku. “Bisa nggak, sih, nyuruhnya pake bahasa manusia, jangan pake bahasa
iblis kayak gitu!”
Emosiku
pun belum reda saat suara ringtone ponselku menyeruak dari dalam tas
selempangku.
“Ya,
halo!” nada bicaraku masih sarat emosi.
“Duh…duh…duh….”
Suara di seberang telepon menyadarkanku, membuatku menurunkan volume suaraku.
“Ah,
Mas Roy!”
“Iya,
Vania, it’s me! Dengar ya, Jemy minta kamu buat beliin nasi padang
langganannya, tahu kan tempatnya?”
Mendengar
sebaris kalimat itu, mukaku makin keruh.
“Itu
kan jauh Mas Roy, entar bajunya gimana? Ini bukannya udah ditungguin di lokasi
pemotretran?”
“Udah
deh! Nurut aja, dia lagi nggak mood. Dia nggak mau kerja kalau
makanannya belum datang. Pokoknya cepet, ya, beib!“ Telepon langsung
ditutup dan aku hanya bisa menghela napas sembari mengelus dada.
Oh,
ngomong-ngomong namaku Vania. Aku bekerja sebagai asisten artis Jeremia Ronald,
si bintang film dan model yang sedang di puncak popularitas. Aku memanggilnya
Jemy, hanya untuk obrolan di kalangan manajemennya. Di depannya, aku tetap
memanggilnya Jeremy, seperti publik mengenalnya begitu. Asal tahu saja, jangan
percaya sama tampang cute-nya, senyum ramahnya, dan sikap sopannya di
depan publik. Itu bohong, dia manusia paling menyebalkan dan kejam sedunia.
Contohnya
hari ini. Kemarin, dia menyuruhku untuk memilih baju untuk pemotretan, katanya
baju apa saja boleh. Nyatanya, dia tak mau memakainya. Ia bilang, bajunya
norak, kurang ketat, warnanya kusam, bla…blaa…bla. Lalu aku disuruh, oh bukan,
diperintahkannya untuk mengambil bajunya yang lain. Oke, aku laksanakan! Tapi,
belum juga aku sampai di tempatnya, ia sudah memerintahkan –lewat manajernya,
mas Roy– utuk membelikan nasi padang kesukaannya yang tempatnya melencong dan
berputar-putar tidak keruan dari jalur yang kuambil sekarang. Hah… nanti, kalau
aku telat, yakin, pasti kena omel.
Akhirnya,
kuarahkan mobilku ─mobil manajemen Jemy, maksudnya─ ke tempat nasi padang
langganannya, setelah itu aku langsung ngebut ke tempat pemotretan. Tapi, dasar
aku yang sial atau bagaimana, jalanan Jakarta makin padat saja di jam makan
siang begini. Sial! Ponsel di tasku sejak tadi tak mau berhenti berdering,
membuat aku makin senewen. Selintas pikir, ingin kubanting saja ponsel itu.
Untung saja, otak warasku masih bekerja. Jika ponsel itu kubanting, sudah pasti
besok aku jadi pengangguran. Jemy akan meneriakiku, “YOU’RE FIRED” dengan
intonasi yang persis sama dengan intonasi Donald Trump.
Satu
setengah jam kemudian, aku sampai. Dengan kedua tangan yang repot membawa satu
set pakaian Jemy, dan satu tangan membawa sekeresek nasi padang, aku bergegas
membuka pintu studio tempat pemotretan Jemy siang ini. Oh, Tuhan…. Kenapa Kau
memberiku cobaan hidup seberat ini!
“Sorry
telat!”
Kuserahkan
baju yang kubawa kepada Mas Roy dan kuletakkan nasi padang di depan Jemy
sebelum aku langsung rubuh di atas kursi. Lemas.
“Lelet
banget, sih! Nggak bisa cepet dikit, ya?! Kebiasaan banget! Sampai aku hafal
kalau kamu bakalan datang lima tahun kemudian setelah perintah diturunkan.”
Suara
Jemy membuat kupingku panas, tapi aku diam saja, tak punya tenaga lagi untuk
sekadar merasa kesal. Dan, saat kulirik, dia masih menatapku tajam. Dua mata
elangnya seolah hendak menerkamku bulat-bulat.
“Lo
pikir gue ayam, makan nggak pakai piring?”
Hufft, aku lupa.
Dengan sisa tenaga yang tinggal beberapa kalori saja aku melesat ke pantry dan
mengambilkan peralatan makan untuk Jemy, termasuk satu botol Avian.
Dan,
Jemy mungkin memang sudah kelaparan karena begitu nasi padang kusajikan di atas
piring, dan sendok dan botol Avian kuletakkan di hadapannya ia langsung
melahapnya. Oke, puji syukur karena dia tak meneruskan omelannya.
Pemotretannya
sendiri berjalan sangat lancar setelah Jemy kenyang, membuat satu pekerjaan
hari ini selesai dengan baik. Dan kami mesti bersiap-siap ke tempat berikutnya
untuk shooting salah satu episode FTV yang dibintangi Jemy. Tapi,
sialnya, di luar studio sudah banyak wartawan yang menunggu kami. Oh, salah,
maksudku menunggu Jemy. Aduh, ini pasti gara-gara kabar si Bos sedang dekat
dengan model itu, Sanita Agatha, janda cantik beranak dua.
“Yuk,”
Jemy sudah beranjak dari kursinya.
“Tapi,
Jer. Di luar kayak gitu, tuh!” Mas Roy tampak cemas.
“Mau
ditunggu sampai kapan? Minta pihak keamanan gedung dong, atau siapa kek. Gue
dah di-BBM Rasya dari lokasi shooting.”
“Iya,
tapi…” Mas Roy tetap tak yakin.
Sayang,
si Jemy sudah tak bisa dihentikan. Tanpa ragu, ia berjalan mendahului kami,
membuat kami terpaksa mengikutinya.
Dan
ternyata, waw…wartawan-wartawan itu banyak banget, sih? Sepertinya semua
wartawan infotainment kompak berkumpul di sini. Mereka semakin ganas
ketika melihat Jemy keluar dari pintu studio.
“Jeremy,
apakah benar kamu punya hubungan dengan Sanita Agatha?”
Itu
satu-satunya pertanyaan yang terdengar jelas di telingaku. Lainnya hanya
terdengar seperti dengungan lebah.
“Van…ayo…kamu
ikut buka jalan!” Mas Roy menyuruhku maju. Mau tak mau aku melangkah dan
mencoba mendorong kerumunan itu. Ah, gila ya! Masih berat dorong ini daripada
dorong mobil. Tapi, aku tetap berusaha sampai akhirnya aku terpental ke
belakang, terjatuh dengan bodohnya.
“Lo
nggak papa?” Jemy berbisik di telingaku. Tanpa mendengar jawabanku, dia
langsung membantuku berdiri.
“Cepetan
deh!” kali ini perintah untuk Mas Roy, sepertinya dia mulai tak sabar.
Jalan
mulai terbuka, dan mobil kami sudah menanti di ujung sana. Sekarang, Jemy
merangkulku dan memaksaku agak menunduk untuk menembus kerumunan.
Sepertinya
ini terbalik. Harusnya aku yang melindunginya, bukan dia yang melindungiku.
Ternyata, ada sisi baiknya juga kamu, Jemy. Oke, kalau begitu minus kamu aku
kurangi, sekarang jadi minus 8,5 dari sebelumnya minus 9,9.
Karena
aku masih linglung ─gara-gara dia tiba-tiba baik begitu─ terpaksa dia
menyuruhku naik duluan dengan gerakan dagunya, baru kemudian dia mengikutiku
dari belakang, dan seorang petugas keamanan menutup pintu mobil, dan akhirnya
kami berlalu.
Suasana
hening sesaat, sampai suara desahan Jemy membuat Mas Roy bersuara.
“Kamu
nggak papa kan, Jem?” Mas Roy yang duduk di samping kemudi menengok ke
belakang. Jemy hanya menunduk terdiam, kacamata dan topi hitamnya masih belum
dilepas, tangannya memegangi tengkuknya.
“Vania!”
tatapan Mas Roy berpindah ke arahku yang duduk di sebelah Jemy. “Lain kali,
kamu hati-hati. Masak kena dorong dikit aja udah ambruk!”
“Maaf,
mas,” jawabku sekenanya.
***
Kuceritakan
kejadian hari ini pada Rani, teman satu indekosku yang kerja freelance
sebagai editor di sebuah penerbitan besar. Ia hanya menanggapi ceritaku dengan
desahan atau sekadar mengedikkan bahu atau mengangkat alisnya bergantian. Ia
baru berpaling dari sebuah buku yang sejak tadi membuatnya tampak sibuk, saat
aku selesai bercerita.
Ia
langsung menatapku dengan pandangan prihatin. “Kenapa ya aku ngerasa Si Jeremy
itu nggak semenakutkan yang kamu ceritakan, Van!” ucapnya padaku. “Dia
sebenarnya baik, tapi karena kondisilah jadinya dia sering begitu.” Kata-kata
itu sering kudengar dari mulutnya.
“Entahlah,
yang jelas dia selalu membuat hidupku susah!” Dan aku selalu menjawab dengan
hal yang sama.
Rani
tersenyum, “Baca nih!” Dia menyodorkan sebuah buku tebal beraksen pink.
Di cover-nya sebuah judul tercetak jelas. So, I Married the Anti-fan.
“Itu buku yang nyeritain tentang artis sama anti-fan-nya gitu, deh.”
“Trus?”
“Ya,
kamu baca aja, biar tahu kenapa sih artis kadang jadi jutek, sadis, dan
nyebelin kayak Jeremy itu. Mungkin aja itu karena tuntutan keadaan? Udah, deh,
mending baca sendiri biar paham.”
“Setebal
ini? Mana aku punya waktu, Ran?”
“Ya,
masukin aja ke tas, sempatkan baca ketika kamu ada waktu.” Rani beranjak dari
duduknya menuju dapur, dan aku mencoba membaca halaman pertamanya. Ternyata,
buku ini cukup asyik, membuatku melupakan jam tidur dan terus membaca, hingga
akhirnya aku tertidur memeluk buku itu.
***
Suara
ponsel membuatku terjaga.
“Halo!”
Serak suaraku menggambarkan dengan jelas bahwa aku baru bangun tidur.
“Vaniaaaa….!!!!”
Teriakan Mas Roy benar-benar membuatku terbangun seratus persen.
Oh,
God! Jam berapa sekarang? Aku telat! Aduh, yakin nih bakal diomeli sama
si Jemy lagi!
Tanpa
memedulikan ponsel yang masih memperdengarkan omelan Mas Roy, aku langsung
menuju kamar mandi, mencuci muka, dan menggosok gigi sekadarnya. Secepat kilat
mengganti baju, tak teringat menyisir rambut, hanya sempat menyambar topi biru
di atas nakas samping tempat tidur, lalu secepatnya aku kabur ke ujung gang,
berdoa semoga segera ada taksi yang bisa membawaku ke hadapan si Jeremia Ronald
dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Dan,
sial tujuh turunan! Tak ada satu taksi pun yang lewat. Mas Roy sudah menelepon
berkali-kali lagi, mengamuk karena aku telat. Akhirnya, aku diminta langsung
menuju lokasi shooting hari ini, tapi harus mengambil beberapa naskah di
apartemen Jemy terlebih dahulu. Hah, sudah marah-marah ujung-ujungnya tetep
saja menyuruh. Mereka berdua itu sama saja!
Satu
jam lebih aku baru sampai dan langsung berlari masuk apartemen Jemy. Tak perlu
heran, aku punya kunci cadangan apartemen mewah ini. Tanpa membuang waktu, aku
segera memindai seluruh tempat untuk mencari naskah itu, dan syukurlah, aku
melihatnya tergeletak di atas meja dekat tempat tidur Jemy yang masih
berantakan. Naskah itu ditumpuki beberapa foto.
Ternyata
itu foto lama keluarga Jemy. Sesosok anak kecil berumur 11 tahunan sedang
nyengir ke arah kamera. Sudah jelas itu Jemy cilik. Garis-garis wajah bocah
dalam foto itu sama persis dengan garis wajah Jemy dewasa. Menggemaskan. Tanpa
sadar aku tersenyum melihatnya, membuatku sejenak melupakan tugasku. Sesaat
kemudian, aku tergagap, karena aku harus segera meluncur ke tempat Jemy berada,
atau aku akan dicekik olehnya.
***
“Lama,
ya?” Mas Roy menyambutku dengan tatapan ibu tiri dan langsung merebut benda di
tanganku dengan kesal. Hal itu membuat foto-foto yang tak sengaja terselip di
antara naskah yang terbawa olehku jatuh berserakan di lantai.
Jemy
memungut foto itu, dan tatapan sengitnya langsung ditujukan kepadaku, membuatku
langsung tertunduk dan tak berani meliriknya. “Kenapa foto ini ada di sini?”
“Nggak
sengaja kebawa,” jawabku lirih masih tak berani menatap matanya.
“Kamu
lihat, ya?”
Aku
mengangguk. Aku masih merasakan tatapannya belum berpindah dariku, “Break!”
teriaknya pada semua kru. Lalu, dia pergi tanpa peduli dengan teriakan Mas Roy
yang menghalanginya. Dan, shooting benar-benar berhenti total karena
tiba-tiba Jemy menghilang. Selanjutnya, aku kena damprat habis-habisan dari Mas
Roy dan tatapan sinis para kru film. Sempurna!
Ternyata
dia benar-benar ngambek padaku, bahkan sampai hari ini, saat kami shooting
ke Yogyakarta, tempat orangtuaku tinggal, tempat aku dilahirkan. Ah,
Yogyakarta….
Di
sela-sela menunggu proses shooting, saat tak ada perintah apa pun, aku
membaca buku yang dipinjamkan Rani. Ternyata benar apa yang dibilngnya. Banyak
hal yang aku pahami tentang kenapa artis begini, kenapa artis begitu, juga arti
sebenarnya seorang anti-fan jika dilihat dari sudut pandang positif, dari buku
itu.
Karena
buku itu juga, aku mulai bisa berpikir positif tentang Jemy. Sama seperti Hu
Joon yang kenyataannya tak seperti dugaan Geun Yong.
Shooting masih dilakukan
di sekitaran Malioboro, dan ibuku ─yang memang kukabari bahwa aku sedang ada di
Yogyakarta tapi tak bisa mampir─ memilih menemuiku di lokasi shooting
dengan membawa banyak makanan khas Yogyakarta. Mulai dari gudeg, bakpia, hingga
geplak. Aduh, senangnya. Itu semua makanan kesukaanku.
“Ibu
tahu aja kalau aku lagi kangen gudeg!” kusambut tas besar yang dibawa ibu.
“Sama siapa, Bu?”
“Sama
masmu. Tapi, dia harus balik ke tempat kerja, jadi nggak bisa nemuin kamu.
Tadi, katanya titip salam aja buat kamu.” Kami bercakap-cakap sambil berjalan
menuju ke tempat teduh di bawah pohon beringin besar.
Aku
dan ibu menggelar tikar yang dibawa ibuku dan mendudukinya.
“Itu,
ya Jeremi?” Ibu menatap takjub cowok yang masih sibuk berakting di bawah arahan
sutradara yang berulang kali berteriak CUT jika ada yang kurang pas. Aku hanya
mengangguk sambil menikmati bakpia dan geplak.
“Enak,
Bu!”
Sepertinya
Ibu tak mendengarku, karena tiba-tiba Ibu berdiri dan berjalan ke arah tempat shooting
yang tampak sudah masuk jadwal break makan siang. “Ibu mau ngapain?”
teriakku. Dan, mulutku menganga saat tahu ternyata Ibu mendatangi Jemy.
Dengan
wajah ramah, Jemy menyambut ibuku. Lalu, ibuku menunjuk tempat kami duduk.
Sesaat kemudian, Ibu mengajak Jemy ke tempat lesehan dadakan kami. Sendirian,
tanpa Mas Roy.
“Ayo
duduk, Nak Jemy. Ibu bawakan banyak makanan. Tapi, kalau untuk semua orang
kayaknya nggak cukup,” ibuku mempersilakan Jemy duduk, dan aku hanya bisa
bengong.
“Memang
cuma begini makanannya. Ya, niat Ibu sih cuma mau bawain Vania yang kangen
masakan Jogja. Ayo dicicipin!” Begitulah awal cerita Jemy makan bersamaku dan
Ibu.
Di
sela-sela makan siang itu, Ibu terus bercerita tentang aku, tentang masa
kecilku, tentang konyolnya aku, kejelekan-kejelekanku, tetang keluargaku, termasuk
cerita tentang Mas Alan dan Ayah. Ternyata, semua itu mampu membuat Jemy
terkadang tertawa lebar. Padahal ceritanya tidak benar-benar lucu. Ada apa
sih sama dia yang biasanya susah dibikin ketawa?
Setelah
itu, tahu apa kejadian yang lebih aneh lagi? Jemy malah mampir ke rumahku.
Bahkan, dia tak canggung menerima tantangan bermain kartu remi bersama Mas Alan
dan Ayah. Yang makin membuatku syok, dia memutuskan untuk menghinap di sini
semalam. Padahal, dia harusnya sudah pulang ke Jakarta karena besok ada jadwal shooting
acara lain. Sebagai ganti mengurus beberapa jadwal yang tertunda, Mas Roy
diperintahkan pulang.
Entah
sampai pukul berapa mereka baru selesai bermain kartu, aku tak terlalu
memperhatikannya, karena aku lebih asyik tiduran di balai-balai belakang rumah,
di dekat kolam lele ayahku. Dan, saat sedang asyik menatap taburan bintang di
langit sana, tiba-tiba Jemy sudah duduk di dekatku.
“Kamu
beruntung punya keluarga seperti mereka.” Kutatap dia yang sedang melihat
langit. “Aku selalu bermimpi memiliki keluarga sepertimu.” Lalu dia tersenyum,
senyum samar yang seolah menyembunyikan luka. “Keluargaku terlalu sibuk hanya
untuk satu hari kebersamaan. Keluarga bagi kami hanya…” dia terdiam sesaat lalu
menghela nafas. “Hanya sebuah identitas.” Dia melihatku, membuatku terpaksa
berpaling. “Kenapa? Kau terkejut melihatku seperti itu? Bisa akrab dengan
keluargamu?”
Aku
mengangguk, dan dia tertawa.
“Aku
juga!” jawabannya membuatku kembali menatapnya hingga mata kami bertemu. Di
sanalah untuk pertama kalinya aku menemukan pancaran ketulusan yang tak pernah
kudapati sebelumnya. “Mungkin aku akan sering ke sini. Boleh, kan?”
“Apa?”
Dia
menghela napas, “Gimana caranya agar mereka menjadi keluargaku, ya?” aku
mengernyitkan kening, bingung menebak arah pembicaraan ini. Lalu, lagi-lagi dia
melihatku, dan tersenyum sama seperti tadi, “Gimana kalau kita menikah?”
“Apa?”
kali ini aku hampir terjungkal dari balai-balai. Dia tertawa, bahunya
terguncang dan sudut matanya mulai berair. “Apanya yang lucu?” Aku benar-benar
kesal saat aku tahu aku dipermainkannya.
“Maaf-maaf!”
dia masih juga tertawa. “Terima kasih,” ucapnya pelan hampir berbisik.
“Untuk?”
“Untuk
semuanya. Untuk kesabaranmu menghadapiku, untuk tak pernah pergi sekalipun aku
sangat menyebalkan. Dan, untuk keluargamu yang menyenangkan.” Dia menatapku
dengan tatapan yang tak mampu kujelaskan. Yang pasti, Jemy yang selama ini
kukenal bukanlah Jemy yang seperti ada di hadapanku saat ini. Inikah Jemy yang
sebenarnya?
“Van,”
dia memanggil namaku. “Kalau aku terlalu letih sama duniaku, maukah kau
menemaniku melarikan diri?” Ada sinar keseriusan di sana, dan itu membuatku
mengangguk tanpa sadar. “Van… aku…” Kata-kata Jemy selanjutnya terputus,
berganti suara dering ponselku yang menjerit-jerit.
h,
sial! Ternyata… ini mimpi? Hufft… kuraih ponselku di atas nakas. Nama Mas Roy
berkedip di layarnya.
“Iya,
mas?” aku menjawab dengan suara serak.
“Vaniaaaa…..!”
teriakan Mas Roy benar-benar membawaku ke dunia nyata. “Kamu baru bangun?”
kujauhkan ponsel dari telingaku.
“Iya,
mas,” jawabku.
“Kau
becanda, ya? Ayo cepat bangun!”
Oh,
realita. Mengapa tak kau saja yang menjadi mimpiku, dan mimpi manis yang tadi
menjadi realitaku?
Belum
sempat aku mendapat taksi, Mas Roy sudah mengintruksikanku untuk mengambil
naskah di apartemen Jemy. Lalu aku bertemu foto-foto itu, dan aku sadar, ini
seperti déjà vu.
Karena
mengingat dengan jelas kemarahan Jemy di mimpi, aku perlahan memeriksa tumpukan
naskah di tanganku agar tak ada satu foto pun yang terbawa olehku.
Aku
datang ke tempat shooting yang berada di kawasan salah satu jalan
protokol di bilangan Jakarta Selatan dengan selamat. Ya, walaupun tatapan ibu
tiri dari Mas Roy tetap aku dapatkan. Setidaknya, aku tak jadi diberi tatapan
sinis semua orang gara-gara membuat Jemy kabur dari shooting seperti di
mimpiku.
“Van!”
suara Jemy membangunkanku dari lamunan, dan tiba-tiba sebuah mobil melaju
kencang ke arahku, sebelum sesaat kemudian kurasakan tubuhku ditubruk, didekap
sepasang lengan kokoh yang kutahu adalah milik Jemy. “Kau mau bunuh diri, ya?!”
teriaknya padaku saat kami sudah terjatuh di pinggir jalan.
Ternyata
karena terlalu sibuk mengingat mimpi tadi malam, aku jadi melamun saat
menyeberangi jalan ketika mengikuti Jemy yang pindah lokasi shooting.
“Vania!”
dia menatapku cemas karena aku masih membisu. “Van, lo nggak papa, kan?”
Kutatap
matanya, “Itu…”
“Apa?”
“Mimpiku
semalam kenapa bisa terulang, ya?”
“Mimpi
apaan?” dia belum melepaskan pelukannya. Posisi kami masih sama seperti saat
pertama terjatuh ke tanah.
Sayang,
sebelum aku sempat bercerita, Mas Roy dan orang-orang sudah panik menghampiri
kami.
“Kalian
nggak papa, kan?” suara Mas Roy tampak ketakutan.
Kami
berusaha berdiri. Tampak Jemy sedikit kesakitan dan mengelus lengannya.
“Nggak
papa, kan?” tanyaku merasa bersalah padanya.
Dia
menatapku sinis, “Menurutmu?” tak meneruskan kata-katanya dia langsung
melangkah meninggalkanku, diikuti Mas Roy dan kru yang lain.
Aku
hanya bisa menghela napas dan berjalan cepat menuju tempat di mana aku bisa
menemukan sebotol air. Aku perlu minum untuk menenangkan diriku, dan
mengingat-ingat lagi apakah ada adegan hampir ditabrak mobil di mimpiku
semalam.
Tunggu,
bukannya tiga hari lagi kami akan shooting ke Yogyakarta? Aduh, apa
mungkin mimpiku akan terulang juga di sana? Aku menggeleng keras untuk
mengenyahkan pikiranku.
Pokoknya,
kalau aku jadi ke Yogyakarta aku tak akan menelepon ibuku. Aku tak akan
membiarkan mereka bertemu. Aku tak mau mimpiku menjadi nyata di sana. Tidak!
Tapi,
bukankah kalau Jemy bertemu keluargaku dia akan menikahiku? Tidak! Waktu dia
bilang ingin menikah, itu kan hanya bercanda. Wajahku yang sesaat tadi tampak
berseri kembali muram.
“Vania!!!!”
teriakan Mas Roy membuatku tergagap.
“Iya,
Mas Roy!” Kutaruh botol air sembarangan dan langsung berlari ke arahnya.
Mimpi
sialan itu membuatku gagal fokus. Alhasil, seharian aku kena semprot Jemy
dantMas Roy. Tapi, walaupun begitu, tetap saja aku melamunkan mimpiku. Aku tak
sabar ingin segera ke Yogyakarta dan membuktikan mimpiku. Aku agak penasaran
juga pada kata-kata terakhir Jemy di mimpi itu. Mungkinkah dia bilang I Love
You padaku? Atau dia benar-benar mengajakku menikah agar bisa menjadi
bagian dari keluargaku?
Ah…sudah…sudah!
Aku bisa gila kalau memikirkannya terus! Yang jelas, karena mimpi itu aku tahu
Jemy tak seperti kelihatannya. Dia bisa baik. Koreksi, dia memang baik, baik
sekali mau menyelamatkanku, walaupun mulutnya sering mengomel pedas. Mungkin
juga itu karena salahku, atau dia memang perlu tempat mencurahkan omelan karena
hidupnya yang terlalu melelahkan.
Lebih
baik kulanjutkan saja membaca So, I Married the Anti-fan ini dan segera
menamatkannya. Sepertinya kisah Hu Joon dan Geun Yong lebih menarik daripada
kisah mimpiku yang semu ini.
***
Keren banget cerpennya, kak.
ReplyDeleteTerima kasih, Abang! :D
ReplyDeletekeren cerpennya. tapi masih penasaran sih. kira2 mereka bakal nikah gak ya?
ReplyDeleteHahaha... cerpen ini aku bikin novel, tapi belum kelar karena ada tantangan lain. Jadi, aku pindah fokus dan ninggalin draf novelnya. Hahaha...semoga aja bisa selesai, jadi kita bisa tahu akhirnya.
ReplyDelete