Saturday, March 1, 2014

Flash Fiction - COFFEE PHILOSOPHY



Diikutsertakan dalam
Tantangan menulis #KalimatPertama

“Bagiku hidup seperti secangkir moka, bukan secangkir kopi tanpa gula.” Vean menertawakan teorinya sendiri.
Aku? Hem, aku hanya diam tak berekspresi di depannya.
Vean mengangkat bahu, tak ambil pusing dengan sikap dingin yang sejak tadi kuperlihatkan padanya.
“Santai aja, lah! Mereka menikah bukan akhir yang buruk, kan? Malah terkesan happy ending!” tawanya semakin berdera riuh.
Sial, kenapa aku harus punya kakak tiri aneh kayak dia, sih?!
“Sekarang emang terasa pahit buat kamu. Tapi tenang, aku akan menuangkan gula  di hidup kamu. Nanti, gelas kopi pahitmu itu akan sama nikmatnya dengan kopi mokaku ini.” Dia mengangkat gelas kopinya dan menyesapnya perlahan. Lagi, setelah menuntaskan tetes terakhir minuman kesukaannya, dia tersenyum hangat kepadaku.
Idih, dia pikir senyumnya itu membuatku terpesona apa?
“Oke, aku punya satu sendok gula. Aku yakin, dia bisa sedikit merubah rasa di hidup kamu. Jadi, dengarkan kata-kataku!” Dia menegakkan punggungnya, dan mencondongkan wajahnya ke arahku.
Aku yang merasa risih, memilih berpaling darinya. Kulirik sekilas cowok itu, dia tampak menyeringai geli.
Helooo…saat ini wajahku nggak mirip badut, ya?! Kenapa dia terus menganggapku lucu?
Heran, deh! Selama tiga bulan menjadi adiknya, tak ada sekalipun aku melihat dia terlihat tak bahagia. Apa dia punya cadangan kebahagiaan segudang hingga dia terkesan tak pernah berduka meski ayah dan ibunya bercerai gara-gara kehadiran mamaku?
“Sekarang, kamu adalah anak ayahku.” Ucapnya tegas.
Kugigit bibir bawahku. Perasaan getir yang tadi menghilang kini merasukiku lagi.
“Sekarang, kamu adalah adikku.”
Kuhela nafasku keras-keras. Tak peduli jika dia mendengarnya.
“Dan, sekarang mamamu adalah mamaku juga.”
Kutatap dia dengan tajam. Tapi, dia membalasku dengan senyuman, membuat aku berpaling lagi darinya.
“Jadi, bisakan kamu mengikuti arus yang digariskan Tuhan untukmu? Ini tidak akan berat, kok! Memang awalnya terasa aneh. Tapi, perlahan semua akan baik-baik saja. Sama seperti segelas moka.”
Tuh, mulai lagi deh filosofinya.
“Saat pertama kali kamu menyesapnya, dia akan terasa pahit di lidah. Namun, pelan-pelan rasa manisnya akan menguar, menimbulkan rasa nyaman. Kayak hidup ini, kita hanya butuh waktu untuk menemukan manis dari rasa pahit.”
Aku menunduk. Kuremas jemariku karena gemuruh haru memenuhi dadaku.
Kutuliskan sebaris kalimat di atas buku catatanku.
Semudah itukah kamu menghadapi hidup ini?
Kugeser buku catatanku agar dia bisa membacanya.
Dia tertawa, “Ya! Sebenarnya, pahit-manisnya hidup itu tinggal kita yang menakarnya. Kamu bilang hidup ini sepahit kopi tanpa gula. Nah, sepahit itulah hidup kamu. Namun, kalau kamu bilang hidup kamu semanis kopi dengan gula dua sendok. Seperti itu pula rasa manis yang kamu rasakan.”
Kuambil lagi bukuku dari hadapannya. Bulpoinku kembali bergerak. Kali ini menuliskan sebaris kalimat tepat di bawah tulisanku tadi.
Kamu tak membenci mamaku?
Tanpa menungguku menyodorkan ke hadapannya, dia sudah mencuri tahu isi tulisanku.
Dia menggeleng, “Kenapa harus benci? Aku malah berterima kasih pada mamamu. Karena mamamu, ayahku menemukan kebahagiaan yang tidak dia dapat saat bersama ibuku.”
Bagaimana denganmu? Apa kamu akan bahagia hidup bersama kami?
“Tentu saja aku akan bahagia. Karena aku sudah menakar kebahagian itu banyak-banyak ke dalam hidupku saat aku tahu ayah akan menikahi mamamu. Dan, kamu juga harus melakukan hal yang sama sepertiku. Oke?”
Aku tak mengangguk, tak juga menggeleng. Aku hanya menatapnya, berusaha menebak jalan pikirannya. Apakah dia benar-benar sehebat itu? Bagaimana jika dia di posisiku? Masihkan dia tetap bisa sebahagia itu?
Dia bisa bicara seperti itu karena dia diciptakan sempurna. Berbeda denganku. Aku tak bisa bicara sejak kecelakaan merenggut ayahku. Aku harus menerima kenyataan bahwa mamaku adalah perempuan perebut suami orang. Belum lagi lingkungan yang menanggap orang yang tak bisa bicara sepertiku tak berguna, meski otakku encer di atas rata-rata.

Omongan kamu absurd!
Dia mengakat alisnya, “Kok absurd?”
AKU SUDAH MENUANGKAN RIBUAN SENDOK GULA KE DALAM GELASKU. PERCUMA! TETAP SAJA HIDUPKU SEPAHIT KOPI TANPA GULA!!!
Kutulis kata-kataku dengan huruf besar untuk menggambarkan kekesalanku padanya. Atau, jika aku bisa bicara, saat itu aku sudah berteriak di depan mukanya biar dia tahu rasa.
Kututup buku catatanku. Dengan sedikit terburu-buru, aku beranjak dari kursi taman di belakang rumah baru kami.
“Kamu mau ke mana?” teriaknya saat melihatku meninggalkannya.
Ke manapun aku pergi bukan urusanmu “KAK” Vean!
Tapi, saat aku sampai di kamar, dan kulihat dia yang masih di sana sendirian,  pikiranku melayang. Benarkah hidupku sepahit kopi tanpa gula?
Aku tersenyum. Tidak, hidupku memang tidak sepahit itu.
Kuhela nafasku. Sebenarnya, dalam hidupku banyak hal manisnya juga. Sayangnya, karena terlalu larut dalam aura kesedihan yang kuciptakan sendiri, aku tak merasakan manis itu.
Aku teringat beberapa kejadian di beberapa bulan belakangan. Salah satunya saat Vean menjemputku ke sekolah. Kalau boleh jujur saat itu hatiku berbunga-bunga. Namun, aku tak ingin dia tahu. Jadilah aku tetap terlihat murung di depannya. Juga tentang kejutan ulang tahun yang dibuatkan keluarga baruku. Aku sebenarnya terharu, namun aku tak ingin menunjukkannya pada mereka. Karena aku tak ingin mereka menganggap aku senang dengan keadaan kita saat ini.
Yep, ternyata selama ini bukan gula yang kutuangkan dalam hidupku. Tapi, kopilah yang memenuhi cangkirku. Pantas rasanya pahit sekali.
Kulihat lagi Vean dari jendela kamarku. Sekarang dia sedang sibuk dengan ponselnya. Sedang apa dia? Sms ke cewek yang kemarin?
Tiba-tiba aku merasakan rasa tidak senang. Cewek kayak begitu dijadiin pacar. Semoga mereka segera putus! Batinku.
Aku terkejut sendiri. Sejak kapan aku peduli pada Vean? Mungkinkah diam-diam aku sudah menganggapnya sebagai kakakku?
Aku menggeleng keras-keras. Apakah sebenarnya aku sudah menerima kehadirannya?
Aku bergeming cukup lama. Mencoba membaca hatiku sendiri. Mencari tahu seberapa berubah hidupku.
Ya, jika memang harus berubah, maka biarkan saja berubah. Aku tersenyum. Perasaan lega muncul tiba-tiba. Dan, helaan nafas berat membulatkan ikrar pejanjian hati ini.
Aku akan menuangkan gula banyak-banyak di hidupku. Karena aku ingin kopi manis, bukan kopi pahit tanpa gula lagi.
***
Catatan :
“Bagiku hidup seperti secangkir moka, bukan secangkir kopi tanpa gula” adalah kalimat pertama di Novel The Mocha Eyes karya Aida MA. Kenapa kalimat ini yang aku pilih? Karena hidup memang seperti moka, bukan seperti kopi tanpa gula.
Manusia hidup berarti dia terus berjalan dalam arus kesedihan maupun kebahagiaan. Tak mungkin manusia hanya merasakan kesedihan saja. Arus sesekali menariknya dalam kebahagiaan. Namun, beberapa orang menanggap kebahagiaan itu tak terasa karena dia lupa bersyukur. Jika dia manu bersyukur, kebahagiaan sekecil apapun akan menjadi gula dalam hidupnya.

2 comments:

  1. Pesan ceritanya bagus, Kak. Gimana kita sebagai manusia itu seharusnya lebih banyak bersyukur menerima apa-apa yang sudah digariskan ya. Karen hidup itu ngga seterusnya sedih, pun ngga seterusnya senang. takarannya sudah pas, seimbang. tinggal manusia itu sendiri bagaimana menyikapinya dalam hidup ya.
    Ah, manis hehehe. Salam kenal ya kak :))

    ReplyDelete
  2. Hai ashima, salam kenal juga. Iya, bersyukur itu salah satu kunci bahagia yang sederhana. :)
    Makasih ya udah mampir dan baca tulisanku :D

    ReplyDelete