Diikutsertakan dalam
Tantangan menulis #KalimatPertama
Dari @KampusFiksi
“Bagiku hidup seperti
secangkir moka, bukan secangkir kopi tanpa gula.” Vean menertawakan teorinya
sendiri.
Aku? Hem, aku hanya diam
tak berekspresi di depannya.
Vean mengangkat bahu, tak
ambil pusing dengan sikap dingin yang sejak tadi kuperlihatkan padanya.
“Santai aja, lah! Mereka
menikah bukan akhir yang buruk, kan? Malah terkesan happy ending!” tawanya semakin berdera riuh.
Sial, kenapa aku harus punya kakak tiri aneh kayak dia, sih?!
“Sekarang emang terasa
pahit buat kamu. Tapi tenang, aku akan menuangkan gula di hidup kamu. Nanti, gelas kopi pahitmu itu
akan sama nikmatnya dengan kopi mokaku ini.” Dia mengangkat gelas kopinya dan
menyesapnya perlahan. Lagi, setelah menuntaskan tetes terakhir minuman
kesukaannya, dia tersenyum hangat kepadaku.
Idih, dia pikir senyumnya itu membuatku terpesona apa?
“Oke, aku punya satu sendok
gula. Aku yakin, dia bisa sedikit merubah rasa di hidup kamu. Jadi, dengarkan
kata-kataku!” Dia menegakkan punggungnya, dan mencondongkan wajahnya ke arahku.
Aku yang merasa risih, memilih
berpaling darinya. Kulirik sekilas cowok itu, dia tampak menyeringai geli.
Helooo…saat ini wajahku nggak mirip badut, ya?! Kenapa dia
terus menganggapku lucu?
Heran, deh! Selama tiga
bulan menjadi adiknya, tak ada sekalipun aku melihat dia terlihat tak bahagia. Apa
dia punya cadangan kebahagiaan segudang hingga dia terkesan tak pernah berduka
meski ayah dan ibunya bercerai gara-gara kehadiran mamaku?
“Sekarang, kamu adalah
anak ayahku.” Ucapnya tegas.
Kugigit bibir bawahku.
Perasaan getir yang tadi menghilang kini merasukiku lagi.
“Sekarang, kamu adalah
adikku.”
Kuhela nafasku
keras-keras. Tak peduli jika dia mendengarnya.
“Dan, sekarang mamamu
adalah mamaku juga.”
Kutatap dia dengan tajam.
Tapi, dia membalasku dengan senyuman, membuat aku berpaling lagi darinya.
“Jadi, bisakan kamu
mengikuti arus yang digariskan Tuhan untukmu? Ini tidak akan berat, kok! Memang
awalnya terasa aneh. Tapi, perlahan semua akan baik-baik saja. Sama seperti
segelas moka.”
Tuh, mulai lagi deh filosofinya.
“Saat pertama kali kamu
menyesapnya, dia akan terasa pahit di lidah. Namun, pelan-pelan rasa manisnya
akan menguar, menimbulkan rasa nyaman. Kayak hidup ini, kita hanya butuh waktu
untuk menemukan manis dari rasa pahit.”
Aku menunduk. Kuremas
jemariku karena gemuruh haru memenuhi dadaku.
Kutuliskan sebaris
kalimat di atas buku catatanku.
Semudah
itukah kamu menghadapi hidup ini?
Kugeser buku catatanku agar dia bisa membacanya.
Dia tertawa, “Ya!
Sebenarnya, pahit-manisnya hidup itu tinggal kita yang menakarnya. Kamu bilang
hidup ini sepahit kopi tanpa gula. Nah, sepahit itulah hidup kamu. Namun, kalau
kamu bilang hidup kamu semanis kopi dengan gula dua sendok. Seperti itu pula
rasa manis yang kamu rasakan.”
Kuambil lagi bukuku dari
hadapannya. Bulpoinku kembali bergerak. Kali ini menuliskan sebaris kalimat
tepat di bawah tulisanku tadi.
Kamu
tak membenci mamaku?
Tanpa menungguku menyodorkan ke hadapannya, dia sudah mencuri tahu
isi tulisanku.
Dia menggeleng, “Kenapa
harus benci? Aku malah berterima kasih pada mamamu. Karena mamamu, ayahku
menemukan kebahagiaan yang tidak dia dapat saat bersama ibuku.”
Bagaimana
denganmu? Apa kamu akan bahagia hidup bersama kami?
“Tentu saja aku akan
bahagia. Karena aku sudah menakar kebahagian itu banyak-banyak ke dalam hidupku
saat aku tahu ayah akan menikahi mamamu. Dan, kamu juga harus melakukan hal
yang sama sepertiku. Oke?”
Aku tak mengangguk, tak
juga menggeleng. Aku hanya menatapnya, berusaha menebak jalan pikirannya. Apakah
dia benar-benar sehebat itu? Bagaimana jika dia di posisiku? Masihkan dia tetap
bisa sebahagia itu?
Dia bisa bicara seperti
itu karena dia diciptakan sempurna. Berbeda denganku. Aku tak bisa bicara sejak
kecelakaan merenggut ayahku. Aku harus menerima kenyataan bahwa mamaku adalah
perempuan perebut suami orang. Belum lagi lingkungan yang menanggap orang yang
tak bisa bicara sepertiku tak berguna, meski otakku encer di atas rata-rata.
Dia mengakat alisnya,
“Kok absurd?”
AKU
SUDAH MENUANGKAN RIBUAN SENDOK GULA KE DALAM GELASKU. PERCUMA! TETAP SAJA
HIDUPKU SEPAHIT KOPI TANPA GULA!!!
Kutulis kata-kataku
dengan huruf besar untuk menggambarkan kekesalanku padanya. Atau, jika aku bisa
bicara, saat itu aku sudah berteriak di depan mukanya biar dia tahu rasa.
Kututup buku catatanku.
Dengan sedikit terburu-buru, aku beranjak dari kursi taman di belakang rumah
baru kami.
“Kamu mau ke mana?”
teriaknya saat melihatku meninggalkannya.
Ke manapun aku pergi bukan urusanmu “KAK” Vean!
Tapi, saat aku sampai di
kamar, dan kulihat dia yang masih di sana sendirian, pikiranku melayang. Benarkah hidupku sepahit
kopi tanpa gula?
Aku tersenyum. Tidak,
hidupku memang tidak sepahit itu.
Kuhela nafasku.
Sebenarnya, dalam hidupku banyak hal manisnya juga. Sayangnya, karena terlalu
larut dalam aura kesedihan yang kuciptakan sendiri, aku tak merasakan manis
itu.
Aku teringat beberapa
kejadian di beberapa bulan belakangan. Salah satunya saat Vean menjemputku ke
sekolah. Kalau boleh jujur saat itu hatiku berbunga-bunga. Namun, aku tak ingin
dia tahu. Jadilah aku tetap terlihat murung di depannya. Juga tentang kejutan
ulang tahun yang dibuatkan keluarga baruku. Aku sebenarnya terharu, namun aku tak
ingin menunjukkannya pada mereka. Karena aku tak ingin mereka menganggap aku
senang dengan keadaan kita saat ini.
Yep,
ternyata selama ini bukan gula yang kutuangkan dalam hidupku. Tapi, kopilah
yang memenuhi cangkirku. Pantas rasanya pahit sekali.
Kulihat lagi Vean dari
jendela kamarku. Sekarang dia sedang sibuk dengan ponselnya. Sedang apa dia? Sms ke cewek yang kemarin?
Tiba-tiba aku merasakan
rasa tidak senang. Cewek kayak begitu
dijadiin pacar. Semoga mereka segera putus! Batinku.
Aku terkejut sendiri.
Sejak kapan aku peduli pada Vean? Mungkinkah diam-diam aku sudah menganggapnya
sebagai kakakku?
Aku menggeleng
keras-keras. Apakah sebenarnya aku sudah menerima kehadirannya?
Aku bergeming cukup lama.
Mencoba membaca hatiku sendiri. Mencari tahu seberapa berubah hidupku.
Ya, jika memang harus
berubah, maka biarkan saja berubah. Aku tersenyum. Perasaan lega muncul
tiba-tiba. Dan, helaan nafas berat membulatkan ikrar pejanjian hati ini.
Aku akan menuangkan gula banyak-banyak di hidupku. Karena aku
ingin kopi manis, bukan kopi pahit tanpa gula lagi.
***
Catatan :
“Bagiku hidup seperti secangkir moka, bukan secangkir kopi tanpa gula” adalah kalimat pertama di Novel The Mocha Eyes karya Aida MA. Kenapa
kalimat ini yang aku pilih? Karena hidup memang seperti moka, bukan seperti
kopi tanpa gula.
Manusia hidup berarti dia terus
berjalan dalam arus kesedihan maupun kebahagiaan. Tak mungkin manusia hanya
merasakan kesedihan saja. Arus sesekali menariknya dalam kebahagiaan. Namun,
beberapa orang menanggap kebahagiaan itu tak terasa karena dia lupa bersyukur.
Jika dia manu bersyukur, kebahagiaan sekecil apapun akan menjadi gula dalam
hidupnya.
Pesan ceritanya bagus, Kak. Gimana kita sebagai manusia itu seharusnya lebih banyak bersyukur menerima apa-apa yang sudah digariskan ya. Karen hidup itu ngga seterusnya sedih, pun ngga seterusnya senang. takarannya sudah pas, seimbang. tinggal manusia itu sendiri bagaimana menyikapinya dalam hidup ya.
ReplyDeleteAh, manis hehehe. Salam kenal ya kak :))
Hai ashima, salam kenal juga. Iya, bersyukur itu salah satu kunci bahagia yang sederhana. :)
ReplyDeleteMakasih ya udah mampir dan baca tulisanku :D