Penulis
: Aida M.A.
Penerbit
: Bentang Pustaka
Tebal
Buku : x + 250 hlm
Tahun : Mei 2013
Harga
: Rp. 44.000
ISBN
: 978-602-7888-32-6
“Perasaan
manusia itu seperti cangkir, setiap saat diisi dengan berbagai macam hal. Kamu
tidak akan merasakan bahagia jika kamu membiarkan cangkirmu diisi penuh dengan
sesuatu yang rasanya pahit. Rasa cangkirmu itu berdasarkan apa yang kamu
pilih!” – Ibu Muara – Hlm. 77
Muara, dia hidup bagaikan segelas kopi pahit yang pantang bersua
gula. Baginya, itulah rasa satu-satunya yang bisa dia pilih. Tak ada keinginan
merubah gaya hidupnya yang seperti manusia antisosial─menghindari keramaian,
bahkan enggan berbincang dengan sesama kawan─meski itulah yang membuat dia
ditinggalkan kekasihnya, Damar untuk perempuan lain.
“Kamu
itu manusia aneh. Kamu terus saja hidup pada masa lalumu. Kebencian dan semua
ketakutan yang kamu punya saat ini hanya tabungan dari masa lalumu yang belum
kamu keluarkan.” – Ibu Muara – Hlm. 72
Namun, siapa sangka segelas kopi yang dicampur dengan cokelat yang
disodorkan seorang pria bernama Fariz membuat dia membuka hatinya. Perlahan, Muara
merubah cita rasa yang selama ini dia pertahankan. Bahkan, dia yang mulai
menutup rapat hatinya setelah ditinggalkan Damar, perlahan mulai menampakkan
celahnya.
“Kalau
kamu mengandaikan hidupmu sebagai kopi yang pahit, sekalipun ada hari yang
manis, kamu akan tetap merasa pahit.” – Fariz – Hlm. 139
Muara bukan gadis yang memang terlahir sebagai kopi pahit. Dulu,
dia semanis susu, senyumnya secerah mentari. Muara tak berubah tanpa sebab. Semua
selalu punya alasannya.
The Mocha Eyes,
sebuah novel yang memang diracik khusus sesuai dengan temanya “Mocha”
benar-benar menyajikan rasa yang ingin disampaikan. Dengan alurnya yang cepat,
The Mocha Eyes dibuka dengan rasa pahit seperti kopi tanpa gula khas Muara,
mulai ke tengah ada rasa cokelat yang dituang Fariz. Keduanya mulai menjadi
satu, klop membuat pembaca tak bisa berhenti menyecapnya sampai tetesan
terakhir.
Dengan sudut pandang bercerita yang berganti-ganti dari sudut
pandang Muara, kemudian sudut pandang Fariz dan juga sudut pandang penulis,
novel ini tidak membuat pembaca kebingungan menangkap inti cerita. Ciri khas narasinya
pun ikut berganti sesuai perubahan sudut pandang ceritanya. Dan, kisah cinta
antara Muara dan Fariz tampak manis dengan caranya sendiri walaupun tanpa
adegan romantis yang legit.
Karakter di novel inipun menggambarkan rasa yang sama seperti kopi
dan cokelat seperti tema yang diambil.
Muara jelas mewakili pahitnya kopi dengan karakternya tak pernah
tersenyum, muram, sebisa mungkin menjauhi interaksi dengan orang lain, dingin,
bahkan terkesan ketus. Dia sangat bisa menunjukkan keputusasaannya pada hidup.
Sedangkan Fariz, dengan manis dia muncul di tengah rasa pahit yang
melanda pembaca. Dia menuangkan rasa cokelat dengan takaran pas. Fariz menjalankan
fungsinya dengan baik apalagi dengan latar belakang pekerjaannya sebagai
psikoterapis, dia dengan mudah membaur masuk lebih dalam di hidup Muara.
Cara Fariz menjalankan pekerjaannya tampak sangat nyata. Mungkin
karena pekerjaan suami Mbak Aida yang seorang hipnoterapis, jadi Mbak Aida
dengan mudah melakukan riset tentang segala hal yang berhubungan dengan
pekerjaan Fariz.
Tokoh yang sangat hebat di novel ini adalah ibu Muara. Dengan
berbagai cobaan yang bertubi-tubi menderanya, dan beban seorang anak gadis yang
mengalami trauma hebat dalam hidupnya, ibu Muara masih bisa berdiri tegak di atas kedua kakinya. Dia masih bisa
tersenyum dan hidup normal meski dia masih harus mendorong putri satu-satunya
untuk keluar dari gua gelap yang enggan dia tinggalkan.
Bagiku, novel ini tidak sekedar novel roman biasa. Dia lebih cocok
disebut novel inspiratif bertoping romantis. Membuat pembaca tanpa sadar masuk
pada bagian-bagian yang menyentuh hati karena hampir dikeseluruhan halaman kita
akan bertemu quote-quote inspiratif yang memaksa kita menjejalkan semuanya di
rerung jiwa kita.
Tak hanya quote, dari konflik yang dibangun penulis, kita disuguhi
pesan moral bahwa melakukan pelecehan seksual pada seseorang akan berdampak
besar pada korbannya. Memaafkan masa lalu adalah jalan keluar untuk menemukan
bahagia yang sudah kita lupa bagaimana rasanya.
Masih ada satu lagi kejutan dalam novel ini. Jika kita teliti, ada
bentuk himbauan bahaya merokok dan penggunaan MSG dalam makanan. Himbauan itu
tidak terasa menggurui karena penulis memaparkan dampak dari perilaku berbahaya
yang selama ini masih marak dilakukan masyarakat dalam bentuk percakapan atau
narasi yang menjadi satu dengan cerita.
Sayangnya, aku kurang setuju dengan covernya, bukan karena
desainnya. Menurut aku, desain sudah sangat cocok dengan cerita yang diangkat.
Namun, akan lebih sempurna jika cover tidak di potong sepanjang papan yang
menuliskan menu spesialnya. Karena terasa sayang saja harus terpotong begitu.
Terima Kasih hadiahnya Mbak Aida M.A |
Dan dengan kemampuan penulis yang kaya diksi, dengan gaya
bercerita yang tidak membosankan, akhirnya aku memberikan rating 3,4 dari 5
bintang untuk novel The Mocha Eyes.
Terakhir, novel ini sangat direkomendasikan untuk semua pembaca
yang menyukai novel roman yang tak terlalu manis dengan narasi yang cantik dan
penuh inspirasi. []
review yg cerdas...Makasih banyak dian.
ReplyDeleteMakasih kembali Mbak Aida. Nggak nyangka di baca sang penulisnya :D
ReplyDelete