Saturday, March 3, 2018

[REVIEW] The Second Best – Morra Quatro



Penerbit : Gagas Media
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Cinta Segitiga, Musik, Young Adult
Tebit : 2017
Tebal : viii+218 halaman
ISBN : 978-979-780-900-3
Harga : Rp. 60.000

Gue mikir, mungkin benar juga yang mereka semua bilang. Akan selalu ada satu yang paling kita inginkan itu, yang tak bisa kita miliki. Sedangkan kita tak bisa sendiri,tak berani. Itu sebabnya kebanyakan dari kita berakhirnya dengan yang terbaik kedua. The second best.” – Aidan – hlm. 3

Gwen Nardini, sejak pertama kali dia bertemu Aidan Arkhana, dia tahu, dia sudah tertarik padanya. Belum, dia belum menyadari jika itu awal dari rasa cinta.
Gwen bukan perempuan pengejar pria. Dia lebih memilih menyimpan perasaannya, sekedar menyatakan hatinya lewat sorot mata yang tersembunyi.
Edgar Wimantara, dia hadir tepat di sisi Aidan. Dia membawa ketertarikan pada Gwen. Dan, dia meyatakan dengan cepat perasaan itu.
Gwen mencoba mengelak. Namun, Edgar buka tipe orang yang mudah menyerah. Dia masih berusaha mendapatkan apa yang dia mau. Dan, Gwen menyerah. Namun, dia tak menghapus Aidan dalam hatinya.
“Pilihan kedua, sebab pilihan pertama tak mampu kita miliki. Sebab ada nama yang hanya ditulis di hati, tidak di tempat lain. Sebab hanya itu pengakuan yang kita milik. Aku belum mengerti betapa mudah orang bisa terjebak dengan pilihan itu; yang kedua itu. Aku hanya tahu hatiku tak perlu sakit. Sebab, ke tempat itu ia memang tak pernah jatuh.” – Gwen – hlm 115

Gwen menjalani hidupnya seperti air mengalir. Dia menerima kehadiran Edgar di sisinya. Namun, dia tetap cemburu saat melihat Maya bersama Aidan. Sekali lagi, Gwen cuma bisa menyembunyikan rasa di hatinya. Dia berharap, hanya dirinya yang tahu semua itu.
“...Seperti hidup, kami juga tak pernah tahu lagu berikutnya yang harus bermain. Hanya mengikuti penanda nada yang terdengar pertama, lalu bermain, karena itu satu-satunya yang kami tahu...” – hlm. 15.

Gwen memang menerima kehadiran Edgar. Namun, dia tak tahu apa yang disembunyikan Edgar darinya. Dia tak pernah mengerti apa yang dirasakan Aidan pada segala hal yang terjadi. Gwen tak tahu apa-apa.
Waktu menuntun Gwen untuk mengerti dengan sendirinya. Dia cukup terkejut pada apa yang dia tahu. Edgar sudah berlari terlalu jauh. Dia sulit dikendalikan, meski oleh sahabatnya sendiri, Aidan.
Mungkin, Edgar tahu sesuatu. Mungkin, dia berusaha untuk menepisnya. Namun, hati kadang kala begitu lelah hingga mencari cara untuk melegakannya sendiri. Jadi, jika Edgar salah, tidak sepenuhnya dia salah. Biar saja waktu membawa mereka kemana saja. Pada akhirnya pun, kita akan tahu ke mana ujung dari semua ini.
“Tak bisa segala hal. Setidaknya, tidak dalam waktu yang bersamaan. Akan selalu ada satu ruang kosong yang harus kita sisakan untuk apa-apa yang tak kita kehendaki terjadi. Harus bisa hidup dengan itu. Harus bisa, hidup dengan memikul ruang kosong yang berat itu.” – Gwen – hlm. 92
 

  The Second Best, bercerita tentang Gwen yang menerima pilihan kedua, meski pada dasarnya dia masih menyimpan rasa untuk pilihan pertama.
Setelah sekian lama tak berjumpa dengan karya Morra Quatro, kali ini, buku kedua yang aku pilih di tahun 2018 adalah karyanya.
Dia masih selincah dulu dalam membuat cerita. Bahasanya masih indah. Melankolisnya masih sangat kental. Karakter tokoh-tokohnya masih begitu hidup dan memukau.  Aku selalu suka dengan hal-hal yang dia campurkan dalam ceritanya.
Meskipun, di awal bab sampai hampir pertengahan, aku agak kesulitan untuk masuk dalam cerita. Mungkin karena mood bacaku yang agak turun karena lama nggak baca buku. Atau, karena aku bacanya sepenggal-penggal. Maklum, sekarang aku harus mencuri waktu sekedar menghabiskan dua atau tiga bab.
Karakter yang aku suka adalah karakter Aidan. Dia tampak kekanak-kanankan, punya aura menyenangkan, selalu terlihat santai. Dia bisa membuat orang-orang di sekitarnya nyaman. Namun, dia punya banyak rahasia yang lebih suka dia sembunyikan. Dia menyimpan lukanya sendiri untuk sahabat terbaiknya.
Sedangkan Gwen, dia gadis keras kepala yang punya  tekat sekuat baja. Meski dia tahu, dia menyukai musik. Namun, dia tetap memperjuangkan impiannya yang lain. Baginya, mempunyai dua mimpi bukan sesuatu yang akan mempersulit hidupnya.
Sama seperti cinta di hatinya. Edgar menawarkan cinta padanya, disaat dia tahu dia mencintai Aidan. Dia menerima Edgar dan mulai menyayanginya. Namun, Gwen tidak serta merta membuang perasaannya untuk Aidan.
Aku suka saat penulis menceritakan rasa cemburu Gwen saat Aidan bersama Maya. Aku juga suka saat mereka mulai membahas tentang musik dan Coldplay. Bukan, aku bukan fan Coldplay. Tapi, aku suka saja saat mereka menyenandungkan lagunya, atau membahas hal-hal kecil seperti lebih asyik memutar album Coldplay secara berurutan.
Aku tadi menyebut novel ini melankolis bukan? Itulah yang aku rasakan sejak membuka novel ini sampai titik akhirnya. Sendu, muram. Semuanya ada dalam karakternya, jalan ceritanya, semuanya.
Ada beberapa waktu aku merasa kurang ditarik untuk terus membacanya. Itu aku rasakan di awal. Karena penasaran, bagaimana akhirnya, aku iseng baca bab terakhirnya. Di sini aku kembali semangat membaca. Di bab terakhir itu, aku menemukan beberapa hal yang membuat aku penasaran. Jadi, kalau kamu mulai ingin berhenti, ingatlah, penulis punya banyak kejutan di bagian-bagian akhirnya.
Ya, penulis ternyata banyak menyimpan rahasia dan keseruan-keseruan lain di belakang cerita. Ketegangan demi ketegangan dibalut melankolisme, itu ternyata enak rasanya.
Semakin ke belakang, aku semakin suka Aidan. Dan, meski Edgar punya fungsi juga sebagai tokoh antagonis, tapi aku tetap suka Edgar. Tanpanya, Aidan tak akan sekeren ini.
Untuk ending, jangan tanya ini happy atau sad. Morra selalu membuat ending di tengah-tengah. Selalu begitu, tapi itulah Morra. Bisa jadi, aku menyebutnya ini ciri khas dari dirinya.
Penulis novel melow itu banyak. Namun, yang bisa bikin ending seperti Morra, ini sangat jarang.
Aku hadiahi 3,1 dari 5 bintang untuk Morra Quatro.
 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos