Wednesday, October 23, 2013

Resensi - NOTASI "Kenangan di antara Surat-surat Tak terbalas"





Penulis : Morra Quatro
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2013
Halaman : vi + 294 hlm
Harga : Rp. 43.000
ISBN : 979-780-635-9
Kenangan adalah kenangan. Dia pergi, entah kembali, entah tidak, tetap saja menempati tempat tersendiri. Sekalipun kau berusaha mengusirnya jauh, dia tak akan benar-benar pergi. Dan kenangan kadang kala akan membuat hidupmu bergejolak suatu saat, di waktu yang tak akan kau kira.
Sama seperti kenangan yang menghantui Nalia. Kenangan tentang cintanya pada seorang pria Fakultas Teknik UGM, pria berkaca mata jangkung dengan rambut kriting yang terlihat sangat tenang, Nino.
“…. Bahwa saat-saat istimewa dalam hidup kita selalu datang tanpa peringatan. Seringnya kita tidak sadar ada saat-saat dalam hidup yang kemudian akan menjadi momen yang spesial, meskipun itu sedang berlangsung. Seringnya kita justru menyadarinya setelah semua berlalu.”Nalia Hal. 52

Pria itulah yang menarik perhatian Nalia lewat tawanya, pria itu juga yang menemaninya dalam remang malam kampus UGM, dia juga yang meminjamkan punggungnya untuk Nalia bersembunyi saat dia ketakutan pada bayangan kuda yang dikiranya hantu, dan pria itulah yang membuatnya tak bisa melepaskan kenangan sekalipun sudah bertahun-tahun lalu, sekalipun hatinya sudah tertambat pada seorang pria yang akan menikahinya dalam hitungan minggu, Faris.
Notasi adalah novel yang tidak biasa. Dia tidak hanya bercerita tentan cinta, namun Notasi bercerita tentang sejarah dan kenangan pahit bangsa ini dan juga kenangan untuk Nalia sendiri.
“Kami mahasiswa Indonesia, bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa Indonesia, bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang penuh keadilan. Kami mahasiswa Indonesia, bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.” Hal. 194

Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu Nalia. Dia memulai kisahnya dengan menarasikan perjalanannya menapaki UGM kembali bersama Faris, melewati kampusnya dan kampus Teknik dimana dia biasa melihat bayangan sosok Nino yang sangat dirindukannya.
Perlahan, dia memulai cerita tentang masa lalunya, mulai dari pertama kali bertemu Nino, perjuangan para anak-anak Teknik untuk mempertahankan Radio Jawara yang susah payah mereka dirikan, obrolan yang tak ingin diakhiri di warung Tiada Tara, penyerangan di event yang diselenggarakan anak-anak Fakultas Kedokteran Gigi, demonstrasi besar-besaran di era orde baru yang menuntut Soeharto turun, hilangnya Nino, dan surat-surat Nino untuk Nalia yang tak terbalas.
Sempuna, tanpa cela, tak membosankan dan sangat menyentuh. Sekalipun, aku masih menemukan beberapa typo yang tak aku hiraukan karena sempurnanya cerita ini.
Karakter Nino yang misterius membuat pembaca tak ingin melepaskan kisah ini begitu saja. Dia dan Nalia mampu menyajikan sebuah ikatan yang tak berlebihan dengan cinta-cinta seperti biasa.
“Nino itu padi yang sedang tumbuh. Dan padi yang sedang tumbuh tidak berisik. Seperti itulah dia.”Nalia Hal. 100
“Karena ia laki-laki yang baik. Yang pintar, yang menjaga kebenaran janji dan kata-katanya. Aku tahu aku bisa percaya padanya.” Nalia Hal. 121

Nalia sendiri mencirikan seorang wanita yang gigih, tangguh dan pintar. Dia juga setia kawan dan punya cara mencintai yang tak diumbar-umbar namun terasa begitu dalam.
Karakter Ve, wanita yang juga mencintai Nino tak kalah memikat. Dia menghadirkan sosok wanita yang tak kenal takut, setia kawan, dan aku juga salut dengan caranya mencintai Nino.
Novel ini mempunyai banyak sekali tokoh. Tapi, aku tidak dibuat bingung. Mereka seperti memang harus ada dan menjalankan fungsinya masing-masing. Bahkan, karakter mereka tetap konsisten sampai akhir cerita.
Tema yang diangkatnya pun termasuk berani. Politik, menguak beberapa kebobrokan Indonesia di bidang sumber daya alam. Menceritakan kisah pilu penghancuran orde baru yang membuat Indonesia porak poranda. Semuanya, aku benar-benar salut pada penulis satu ini.
Notasi, sangat tidak mengecewakan. Penuh teladan, membuat kita ingat kalau kita harus punya rasa nasionalisme untuk mempertahankan Indonesia yang sudah susah payah di bangun dan diperjuangkan dengan titik darah penghabisan, tidak hanya oleh para pahlawan sebelum kemerdekaan, namun juga pahlawan orde baru yang tak kenal takut.
Endingnya membuat aku yang sudah sesak merasakan fakta-fakta yang bergulir, semakin sesak dengan kenyataan yang harus di terima di epilog. Tidak apa-apa, inilah hidup, kita harus belajar menerima apapun yang sudah ditakdirkan.
Dan covernya sangat elegan, membuat kita tahu kalau novel ini akan mengajak kita kembali ke masa lalu.
Settingnya, Jogjakarta. Lekat, legit dan memikat. Detail dan sangat rinci. Namun, kadang aku malah sedikit kesulitan untuk membayangkannya. Dan, jika pembaca adalah alumni atau masih mahasiswa di kampus UGM, pasti ada nilai plus plus tersendiri saat membacanya. Jadi ingin menunjukkan pada kakak sepupuku yang alumni kampus ini.
Bicara tentang rating, aku tak segan untuk menyematkan nilai sempurna pada novel ini, 5 dari 5 bintang.

Sunday, October 13, 2013

Dongeng - Goodbye Sadness

Tulisan ini diikutsertakan dalam
#TantanganDongengPeri
 
Aislinn keluar dari kerumuman bunga matahari saat mendengar suara Bibi Leslie dan Paman Godi sepasang rusa teman baiknya.
“Hai, Aislinn, kau tampak lebih murung hari ini?” sapa Bibi Leslie sambil mendekatinya.
Aislinn menunduk, “Aku merasa, hari ini hutan akan menangis lagi,” ucapnya lirih.
Aislinn adalah peri hutan bertanduk rusa yang tak pernah tersenyum. Dia mempunyai ikatan batin dengan alam. Saat hutan bersedih karena dia dirusak dan penghuninya diburu, Aislinn bisa merasakan kesedihannya. Dan, saat dia bersedih, alam akan merespon dengan perubahan cuaca yang mendadak mengikuti perasaannya.
“Benarkah?!” Paman Godi terlihat cemas. “Sepertinya aku harus memperingatkan yang lain untuh berhati-hati.”
“Tapi, mereka sudah memasuki hutan cukup dalam, paman.” Wajah Aislinn tampak memucat. “Jika kau keluar dari sini, itu sangat berbahaya untukmu!”
Paman Godi mendesah berat. “Apa yang harus kita lakukan pada orang-orang tak bertanggungjawab itu?”
“Kita tak bisa apa-apa, sayang,” jawab Bibi Leslie. “Alam sendiri yang akan memperingatkan mereka jika saatnya tepat.”
Dan tiba-tiba Aislinn terduduk, air matanya menetes satu persatu. Dia tampak menahan sakit di dadanya. Perlahan, angin mulai bertiup kencang, awan menggelap dan hujan deras mulai turun.
“Hah… terjadi lagi!” keluh Bibi Leslie, dia sudah menunduk sedih.
Paman Godi hanya mengangguk dengan wajah tak kalah sedih.
Hari ini, Neil dan rombongan berhasil mendapatkan dua ekor rusa dan 3 ekor kelinci putih. Sebuah hasil buruan yang lumayan memuaskan.
Namun, saat mereka akan pulang, mereka tersesat. Hutan seperti menutup jalan untuk mereka. Neil memutuskan untuk mencari tempat teduh dan menunggu hari terang untuk pulang.
Rombongan menemukan sebuah gua kecil di dalam hutan. Dengan perlengkapan seadanya, mereka membuat api unggun dan membakar daging kelinci untuk makan malam.
Malam semakin larut, Neil dan rombongannya terlelap. Kemudian, Aislinn muncul mengamati mereka.
“Orang itu….” Aislinn teringat dengan mimpinya. Mimpi saat dia bertemu seseorang. Mimpi di mana dia tak merasa sedih dan selalu tertawa riang.
Neil terbangun dari mimpinya dengan keringat dingin dan wajah panik. Namun, dia langsung melupakan mimpinya karena dia merasakan sesuatu yang menatapnya dari jauh.
Neil beranjak dari tempatnya dan keluar dari Gua. Dia menangkap bayangan hitam di balik pohon besar.
Aislinn tahu dirinya mulai dekat dengan pria itu, tapi dia tak takut karena manusia tak akan bisa melihatnya kecuali para binatang.
“Siapa kau?” tanya Neil saat dia mulai menemukan sosok yang memperhatikannya.
Aislinn terkejut dirinya bisa ditemukan. Kenapa pria itu bisa melihatnya?
Aislinn tampak penasaran dan keluar dari persembunyiannya, dia ingin meyakinkan dirinya jika pria itu memang benar-benar bisa melihatnya.
“Kau bisa melihatku?” tanyanya ragu-ragu.
“Kau?” Neil tampak terkejut melihat gadis bertanduk rusa di hadapannya. Dan seketika dia teringat mimpi-mimpinya.
Aislinn tak menjawab, dia memilih diam dalam memendam keterkejutannya.
Neil melangkah mendekat, membuat Aislinn reflek munduk beberapa langkah, “Ini tidak mungkin, itu hanya mimpi,” kata Neil.
Aislinn seketika menghentikan langkahnya, dan Neil berhasil memperpendek jarak mereka. “Tapi, sekarang jadi nyata. Kau melihat aku yang sebenarnya,” gumam Aislinn.
Dalam mimpi Neil dan Aislinn, Aislinn tak bertanduk, dia layaknya seorang manusia biasa yang berwajah cantik dengan mata berbinar cerita, tidak sama dengan Aislinn di dunia nyata.
“Aku peri hutan.” Aislinn menjelaskan siapa dirinya. “Aku tak menyangka kau adalah salah satu dari manusia yang merusak alam,” kata Aislinn parau.
Nail terkejut dengan kata-kata yang dilontarkan Aislinn. “Aku hanya mengambil apa yang bisa diambil dari alam. Apa aku salah?”
“Tapi, manusia terlalu serakah dan mengambil lebih banyak dari yang harusnya mereka ambil.”
Neil terdiam dan menyadari kata-katanya benar. “Maafkan kami.” Neil menunduk dan menghela nafas berat. Dan saat itulah, Aislinn langsung bergerak cepat meninggalkan Neil.
Saat Neil tersadar, dia sudah sendirian. “Aislinn!!!” Sudah tak ada sahutan, hanya ada gemrisik dedaunan yang tertiup angin.
Aislinn termenung di pondoknya. Dia tak menyangka akan bertemu Neil di dunia nyata. Pria itu adalah bagian dalam dirinya sekalipun mereka hanya menjalin hubungan dalam mimpi saja.
Pandangan mata Aislinn kosong, fikirannya masih menerawang waktu dia berhadapan dengan Neil.
“Apa dia terkejut melihatmu?” tanya Bibi Leslie.
Aislinn mengangguk, tapi sesaat kemudian menggeleng, “Entahlah!” jawabnya lirih. “Aku harus menemuinya lagi!” Aislinn sudah berdiri dan siap beranjak pergi.
“Aku rasa jangan! Kamu lupa kamu tak boleh berdekatan dengan manusia, Aislinn?” tanya Paman Godi.
“Aku berjanji, aku akan berhati-hati, paman!” kata Aislinn meyakinkan.
Dia segera bergegas keluar dari pondoknya, tangannya terlihat memegang kedua sisi gaunnya agar kakinya leluasa berlari.
Aislinn dengan mudah menemukan pria itu. Ternyata, karena pertemuannya semalam, Neil memutuskan untuk tetap tinggal di hutan dan meminta rombongannya pulang.
“Kau belum pergi?” sapa Aislinn.
Neil tersenyum, “Ya, aku menunggumu.”
“Kenapa?”
“Karena aku….” Neil terdiam beberapa saat, “Karena aku harus bertemu kamu, Aislinn.”
Aislinn tampak bingung, Neil tersenyum. “Sebelum pertemuan kita, aku pernah bertemu denganmu di alam mimpiku. Kau adalah sosok yang membuatku enggan untuk bangun, karena dalam mimpi aku selalu bahagia bertemu denganmu.”
“…” Aislinn ternganga dengan cerita Neil. “Kau adalah takdir yang dikirimkan untukku.” Neil mendekat.
“Jangan sentuh aku!” teriak Aislinn.
“Kenapa? Apa kamu membenciku?” Wajah Neil tampak gundah.
Aislinn menggeleng dengan kuat. “Aku senang bisa bertemu denganmu.” Aislinn tersenyum, senyum pertamanya di dunia nyata.
Neil tertular senyum itu. “Aku juga!”
“Tapi, aku bukan takdirmu.” Aislinn menunduk. “Saat aku mendapatkan kebahagiaan, itu artinya saatnya aku mengorbankan diriku untuk alam.” lanjutnya.
“Aku tak mengerti!”
“Alam mulai rusak. Alam butuh penyembuh, dan akulah penyembuh itu” Jelas Aislinn. “Dan, bertemu denganmu membuatku bahagia.” Aislinn tersenyum. Dan alam berubah cerah dengan semilir angin yang menyejukkan. “Jadi, ini tanda waktunya telah tiba.”
Aislinn bergerak mendekati Neil. Perlahan tangannya terangkat, dengan ragu dia akan menyentuh wajah Neil namun tertahan. “Aku akan pergi dengan bahagia, Nail. Bahagia karena pernah bertemu denganmu.” Akhirnya, Aislinn menyentuh wajah Neil. Tapi, saat tangan itu menyentuh Neil, Neil merasakan gemuruh di dadanya.
“Aislinn, kau tak akan meninggalkanku seperti dimimpi-mimpiku ‘kan?”
“Aku akan pergi Neil.” Aislinn tersenyum.
“Aislinn!” Neil mencoba menggapai tubuh Aislinn yang mulai mengabur. “Aislinn, aku mohon jangan pergi!” Neil mulai panik.
Aislinn menggeleng. “Terima kasih, Neil. Terima kasih membuatku tersenyum.” Dan Aislinn benar-benar menghilang selamanya. Dia berubah menjadi roh alam yang akan selalu menebarkan benih kehidupan. Aislinn akan selalu ada dalam rintik gerimis, atau harum bunga saat musim semi. Aislinn akan membuat alam tersenyum dalam pelukannya.

Wednesday, October 9, 2013

Cerpen - Guesses In Heart

 Baginya, nggak ada hidup yang paling menyedihkan selain hidupnya sendiri. Dia memang gendut, memang kenapa? Dia dipaksa untuk diet, itu menyiksa! Dia selalu dihina Cinderella gembrot kenapa mereka yang sewot, itu tubuh dia ‘kok! Dia ingin orang di sekitarnya menerimanya apa adanya, bukan berusaha menghinanya dan memaksa untuk berubah.
Dan hidup Cinderella alias Cindy makin sengsara karena satu cowok bernama Romeo. Cowok paling ganteng dan populer di sekolah, tapi neyebelinnya amit-amit, apalagi kalau sama Cindy. Romeo sering mengganggunya, sampai Cindy stress dan akhirnya Cindy gagal diet karena dia selalu melampiaskan kekesalannya pada makanan.
“ROMEO!!!!” teriak Cindy saat baru saja membuka kotak bekalnya. Dia sama sekali tak tahu kalau cowok itu sudah memasukkan kecoa ke dalamnya.
Romeo tertawa terpingkal-pingkal di depan pintu. “Itu terapi biar lo kurusan. Bilang makasih, dong!” ucapnya dengan wajah puas karena berhasil membuat Cindy megap-megap saking sebalnya.
Cindy bangun dari duduknya dan menghampiri Romeo. “Lo tahu ‘kan, Tuhan nggak pernah tidur?” Romeo mengernyit menengar kalimat Cindy. “Jadi, gue mau bilang sama Tuhan, semoga lo punya cewek gendut kayak gue!”
Romeo tampak terkejut, namun sekejap kemudian dia terbahak-bahak sambil memegang perutnya. “Lo ngutuk gue?” tanyanya disela tawa yang masih berderai. “Emang mempan?”
Cindy meremas kedua tangannya, “Lihat saja!” jawabnya.
***
Cindy masih meneruskan langkahnya ke belakang sekolah untuk menghindari Romeo. Rasanya nggak aman menikmati makan siangnya di kelas. Cindy takut tiba-tiba Romeo muncul di depannya dan merusak selera makannya seperti kemarin.
Tapi, tiba-tiba dia berhenti karena telinganya menangkap sebuah bunyi ganjil dari dalam gudang. Bunyinya seperti seseorang yang mengetok pintu, namun terdengar sangat lemah.
“Hai…siapa di situ?” Cindy mulai mendekati pintu gudang.  “Ada ‘kah orang di dalam?”
“To…tolong!”
Cindy terperanjak mendengar suara lirih di balik pintu.
“To…tolong gue! Apapun yang lo minta bakalan gue kabulkan kalau lo nolongin gue!” suara di dalam terdengar terbata-bata namun cukup jelas. “Gue nggak bisa di ruangan sempit, gue mengidap Claustrophobia. Please, tolong gue!” Cindy seperti kenal suara itu.
 “Tungguin gue!” Cindy langsung lari ke ruang penjaga untuk mencari pertolongan. Dia nggak ngerti kenapa cowok menyebalkan itu bisa terkurung di sana.
Sepuluh menit kemudian, Pak Gunawan penjaga sekolah dan Cindy sudah kembali ke gudang dan membukakan pintu untuk Romeo yang sudah pingsan. Dan mereka langsung membawa Romeo ke UKS secepat yang mereka bisa.
***
Romeo sudah kembali masuk sekolah setelah ijin sakit karena kejadian itu. Dan, satu hal yang dia cari setelah sampai di sekolah adalah Cindy. Dia harus menemukan cewek itu, mengucapkan terima kasih, dan menepati janjinya untuk mengabulkan permintaannya.
Cindy sedang sarapan dan ada di pojok kantin saat Romeo menemukannya.
Morning!” Romeo sudah duduk di depannya saat Cindy menyadarinya. “Enak ya?”
Cindy menghentikan kegiatannya dan menatap Romeo curiga. “Apa?”
Romeo berdehem, “Gue cuma mau bilang makasih dan mau tanya apa permintaan lo ke gue.”
“Ha?” Cindy tampak bingung.
Romeo menghela nafas dan menatap cewek di depannya. “Kemarin gue inget, gue bakalan ngabulin apapun permintaan lo kalau lo nolong gue. Sekarang, gilirian gue menepati janji. Lo minta apa?”
Cindy melupakan sarapannya. “Aku minta apa?” Romeo mengangguk yakin. “Gue minta….” Cindy teringat kutukannya untuk Romeo, dan dia langsung menjawab, “Gue mau lo jadi pacar gue!”
Romeo seperti tersengat strum ribuan volt, “Pacar lo?”
“Kalau nggak mau, nggak papa!”
“Gue mau!” jawab Romeo terpaksa.
***
Romeo melakukan apa yang harus dia lakukan sebagai pacar Cindy. Mulai dari nemenin Cindy jalan-jalan, makan siang di kantin, sampai nganter jemput ke sekolah. Dan hari ini mereka sedang lunch di sebuah kafe.
Sebenarnya beberapa hari ini Cindy merasa keterlaluan. Dia teringat kata-katanya sendiri, Tuhan nggak tidur, dan Tuhan pasti tahu apa yang sudah dia lakukan.
“Romeo!” Cindy membuat Romeo menoleh dari ponselnya.
“Apa?” tanyanya.
“Kita putus aja,” jawab Cindy pelan.
Romeo mengerutkan alisnya dan menatap serius pacarnya. “Kenapa?”
“Masih tanya kenapa?” tanya Cindy kesal. “Karena ini cuma main-main!”
“Gue nggak pernah nganggep ini main-main!”
“Bohong!”
“Serius!”
“Kita pacaran cuma karena lo nepatin janji lo sama gue.”
“Iya! Dulu!” Senyum Romeo membuat Cindy membuang muka. “Tapi, gue udah kena kutukan dari lo!”
Cindy tertawa jengah, “Bullshit?!”
Romeo menggeleng, “Nggak! Gue serius!” Dia mengangkat tangannya membentuk huruf V dengan jarinya. “Gue beneran suka sama lo!”
“Tapi lo, kan…” Cindy tak bisa berkata-kata karena jantungnya berdetak terlalu cepat.
“Gue kenapa? Suka nyela lo? Iya memang! Itu sebelum gue ketagihan ngerasain asiknya jalan sama lo. Lo beda sama cewek-cewek yang biasa jadi pacar gue. Lo special edition.”
“Emang gue barang apa?!” Cindy langsung manyun.
Tawa Romeo mulai terdengar, “Sorry…sorry! Bukan gitu, intinya gue serius! Terserah, deh lo percaya apa nggak!”
Cindy masih menatap Romeo tak percaya, tapi dia menutup mulutnya. Dia memilih melihat kenyataannya, dan Romeo memang tak bohong, mereka tetap menjadi sepasang kekasih sekalipun badan Cindy  tetap gendut, dan setiap kali mereka jalan, mereka seperti angka 10. Romeo tetap cinta sama Cindy apa adanya.
 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos