Saturday, February 28, 2015

Resensi – BELLA AND THE BEAST “Cinta tanpa syarat”



Penulis : Astrid Zeng
Penerbit : Gramedia
Genre : Romance
Kategori : Adult, Amore
Terbit : 2012
Tebal : 256 hlm
ISBN : 978 – 979 – 22 – 159 – 0
Harga : Rp. 38.000
Bellatrix Wibisono, si gadis lugu putri bungsu keluarga Wibisono. Dia sangat di sayang kedua orang tuanya sampai-sampai dia dilarang berhubungan bebas dengan dunia luar.
Masalah muncul saat Bella sudah masuk masa menikah. Karena selalu mendapat perlindungan ketat, Bella tidak mengenal satupun pria di luar lingkungan keluarganya. Kemudian, muncul ide untuk menjodohkannya.
“Setiap orang punya bakat masing-masing. Mungkin kamu belum menemukannya.” – Tecla – hlm. 162

Pilihan jatuh pada keluarga sahabat Ayah Bella, Hubert. Ternyata, putra Hubert – Pilliph sudah mempunyai wanita pilihan. Dan Demetri Yoso-lah yang akhirnya menjadi calon suami Bella.
Demetri, dia dikenal sebagai laki-laki berparas mengerikan karena mempunyai parut bekas luka di wajahnya. Sebuah tanda yang tak ingin dihilangkan Demetri karena itu merupakan simbul luka di masa lalunya.
Demetri tak hanya dikenal memiliki wajah menyeramkan, namun dia juga terkenal punya tempramen yang emosional. Di dukung dengan fisiknya yang kekar hasil melatih ototnya setiap hari. Hingga dia pantas disebut monster.
Demetri sedikit terkejut saat Bella tak terlihat takut padanya. Bahkan, dia bisa sedikit bercanda dengannya. Dan, saat di kencan pertamanya. Demetri sudah dibuat tertawa lepas oleh Bella.
“Orang lain mungkin hanya melihat dirimu dari luar, penampilan saja. Tapi ada sebagian orang yang bisa melihat jauh ke lubuk hatimu.” – Hadi – hlm. 28

Kemudian mereka menikah.
Demetri merasa dia akan membuat Bella takut karena bekas lukanya. Dan, Bella pun selalu menjawab bekas luka itu memang menakutkan saat Demetri menanyakannya.
Salah paham dimulai. Demetri selalu menjauh saat Bella mengeluarkan jawaban tersebut. Padahal, bukan itu maksud Bella.
Bella juga sempat dibuat cemburu pada wanita masa lalu Demetri dan sahabatnya sendiri, Tatiana. Dan dengan bodohnya, Demetri juga sempat cemburu pada Michael, suami Tatiana.
“Wanita makhluk yang paling aneh. Sulit ditebak. Dan lebih sulit lagi membuat mereka mengungkapkan hal apa yang membuat hatinya terluka.” – Gerry – hlm. 145

Kesalahpahaman dan kecemburuan mereka berdua adalah sahabat mereka untuk saling mengenal satu sama lain. Dan cinta, membuat semua selalu indah meski harus melalui liku yang teramat panjang.

Bella and the Beast, sebuah novel amore yang mengangkat tema tentang dongeng Beauty and the Beast.
Novel ini memang novel Indonesia asli. Namun, cita rasanya khas novel harlequin terjemahan. Mungkin karena nama-nama tokohnya lebih ke Barat-baratan kayak Bellatrix, Demetri dan kawan-kawannya.
Nggak masalah, sih buat aku. Karena novel ini benar-benar membuat aku larut dalam alur ceritanya yang sangat ringan dengan cara bercerita yang nggak belibet.
Namun, sayang sekali. Typo-nya super duper buanyak. Beberapa membuat kalimat jadi ambigu dan jadi susah dimengerti juga. Bahkan, nama Demetri pun beberapa kali salah penulisan. Di luar typo, aku sangat menyukai cerita ini.
Bella disini dibentuk sebagai wanita yang super lugu. Bisa dibilang dia ini benar-benar cewek yang nggak tahu apa-apa – em… maaf, medekati blo’on, maybe. Ini yang bikin aku dibuat gemas sama dia.
Apalagi karakter Bella yang seperti itu dipertemukan dengan karakter Demetri yang superior, dan emosional.  Wah, kayak es dan api yang dipertemukan, mencair.
Konflik tentang hubungan salah paham antara Bella dan Demetri tentang ketakutan Bella pada bekas luka Demetri, juga perasaan cemburu di antara keduanya membuat novel ini bikin senyum juga geregeran.
Aku pikir novel ini cuma akan membahas konflik ringan ini. Ternyata, klimaksnya ada di bagian hampir ending. Dan, yah… meskipun klimaksnya nggak eksotik. Namun, endingnya manis banget. Suka-suka-suka!!!
Jadi nggak sabar buat baca seri berikutnya. Walaupun sekarang udah cukup susah nyari seri ini. Baru dapat 3 nih. Masih kurang 2. Pelan-pelan deh carinya.
Rating buat novel ini 3,5 dari 5 bintang.


Saturday, February 21, 2015

Resensi - EXPLICIT LOVE STORY “Pesona Sang Penakluk”

Penulis : Lee Sae In
Penerjemah : Dimintri Dairi
Penerbit : Penerbit Haru
Genre : Romance
Kategori : Adult, Korean, Terjemahan
Halaman : 386 hal
ISBN : 978-602-7742-20-8
Harga : Rp. 65.000
Han Lee Seon, si wanita berumur 24 tahun yang tahu banyak hal tentang seksualitas namun dia sama sekali tak punya pengalaman langsung yang bisa dia banggakan, alias dia masih perawan. Namun, ternyata dia sering kali dijadikan tempat untuk berkonsultasi tentang masalah tersebut. Yah, nggak heran jika dia sepandai itu dalam hal ini, karena sejak kecil, saat dia sendiri belum paham dengan istilah-istilah seksual sekalipun, dia sudah membaca majalah dan buku porno.
"Sejujurnya, aku merasa sedih tiap kali pertanyaan seperti itu muncul. Karena sebenarnya, aku belum pernah mengalami hal itu secara langsung, bahkan hingga aku berusia 24 tahun seperti sekarang. Seperti pepatah mengatakan "tong kosong nyaring bunyinya", seperti itulah diriku sekarang." Han Lee Seon hal. 21

Suatu hari, dia mengikuti acara perjodohan. Sayangnya, dia tak semempesona gadis di sampingnya, Seon Ju yang lebih cantik dan menggemaskan. Sehingga, dia hanya menjadi pelengkap saja. Namun, ternyata dia salah, dialah yang menjadi pusat perhatian paling bersinar di acara itu.
Kejadian ini dimulai karena dia sangat kesal dengan sikap pria-pria di depannya karena mereka menjadiakan nomor telepon Seon Ju yang berakiran 6969 sebagai lelucon, Bahkan mereka mengajak Seon Ju melakukan 6969 itu. Ah…ini sudah tahap pelecehan bukan?
Karena terlalu kesal, Lee Seon membuka mulutnya. Dia menyerang pria-pria itu mengunakan pengetahuan seksnya. Dia dengan berani meminta seorang pria yang punya tangan kecil untuk memperlihatkan padanya, kemudian dia mengukur tangan itu dan menyebutkan ukuran kelamin pria itu dengan blak-blakan.  Sekejap, mulut mereka terdiam. Tapi, ada satu mata yang langsung memperhatikan Lee Seon. Pria itu adalah pria paling menarik di pertemuan itu, Ma Gyu Jin.
"Hati harus lebih cantik dari wajah katanya? Itu omong kosong. Tak peduli wanita maupun pria, semuanya pasti dinilai dari penampilan. Jika berwajah cantik, semua pria pasti akan mengantre meskipun wanita itu berperangai aneh. Bukankah kita harus memiliki prianya terlebih dahulu baru bisa menunjukkan ketulusan hati? Tidak mungkin kan kita menempelkan hasil X-Ray hati dan membawanya ke mana-mana?" Han Lee Seon hal. 111

Ternyata kepandaian Lee Seon membuat Gyu Jin yang terkenal sebagai Ma Gyo Ju atau bisa disebut Cassanova menjadi penasaran pada dirinya. Dan, kepenasarannya menjadi gangguan untuk Lee Seon. Apalagi, Lee Seon di takdirkan menjadi Junior Gyu Jin di Klub Film yang dia ikuti. Bisa ditebak, mereka akan sering bertemu, dan Lee Seon harus berusaha tabah menghadapi permainan yang dibuat Gyu Jin untuknya. Namun, perlahan dia menyukai sensasi permainan itu sampai dia harus membuang pria yang jelas-jelas akan membuatnya bahagia, dan memilih pria yang jelas dia tahu, dia adalah playboy kelas kakap.
Apakah aku harus mendidik playboy ini agar menjadi orang yang baik?Han Lee Seon hal. 96
Aku juga berfikir sama. Aku hanya bisa mencintaimu saja tanpa peduli kau orang seperti apa.Ma Gyu Jin hal. 362

Explicit Love Story, novel yang penuh dengan hasrat namun menurutku, yah masih dalam tahap agak standar untuk novel dengan label dewasa. Tapi, untuk kalangan remaja, sepertinya jangan dulu menyentuh dan membacanya, sedikit bahaya!
Ehm…sepertinya novel ini setipe dengan All You Can Eat nya Christian Simamora ya?
Dengar-dengar, Penerbit Haru mengedit novel ini agar layak di baca di negara kita. Kalau baca yang aslinya, hem… gimana ya? Apa benar-benar lebih ‘horor’?
Oke, tata bahasa di novel ini cukup mudah diterima, sekalipun novel ini adalah novel terjemahan. Nama-nama yang digunakan termasuk tidak terlalu banyak, sehingga gampang untuk diingat. Hubungan antar tokohnyapun tak serumit novel bersetting korea pada umumnya. Yah, maklum penulisnya saja adalah penulis Novel Personal Taste yang sudah diangkat menjadi Drama Korea. Mungkin, ini juga yang membuat aku tertarik dengan novel ini. Aku pernah menonton Drama Korea ini dan secara keseluruhan aku menyukai ceritanya. Jadi, aku pikir aku pasti menyukai novel ini juga.
Novel ini bercerita dari sudut pandang Han Lee Seon yang menurutku kurang percaya diri dan kadang terlihat terlalu pasrah. Dia juga agak sembrono dan sedikit konyol. Namun, aku suka cara dia bercerita yang sangat menggambarkan karakternya tersebut, menjadikan novel ini sangat asyik.
Karakter Gyu Jin juga membuat penasaran. Awalnya, Lee Seon menyebut dia playboy. Namun, aku malah menangkap sosok Gyu Jin itu laki-laki yang hangat dan ramah. Dan, itulah yang membuat dia dikelilingi para wanita. Jadi, dia bukan menjadikan dirinya playboy, namun keadaan yang menuntutnya menjadi playboy. Tapi, dia tetap nggak bisa di bilang playboy. Saking ramah dan baiknya, kadang para wanita jadi mengasumsikan perhatiannya secara berbeda.
Dari dua tokoh utama tersebut, ada juga tokoh-tokoh lainnya yang membuat novel ini semarak. Seperti Seon Ju si gadis manis nan menggemaskan yang berubah menjadi rubah betina karena jatuh cinta pada Gyu Jin. Dengan akal liciknya, dia berusaha memisahkan Gyu Jin dan Lee Seon. Lalu ada juga pasangan Lee Jun (adik Lee Seon) dan Won Gyeong (Senior Lee Seon).  Mereka juga menjadi pengganggu yang menyebalkan bagi Gyu Jin dan Lee Seon. Dan, ada satu lagi tokoh yang gangguannya benar-benar menggoyahkan hubungan mereka, Hyeon Ji gadis cantik dari masa lalu Gyu Jin.
Menurutku novel ini terasa sangat ringan dan menghibur. Namun, aku tidak terlalu terbawa suasana yang di bangun. Bisa di bilang, aku bisa mengalir bersamanya, namun aku tak tenggelam di dalamnya.
Bagian yang menjadi nilai plus di novel ini adalah bagian sebelum epilog. Penulis seperti memberi bonus pada pembaca, karena di sana kita sedikit bisa mengetahui cerita dari sudut pandang Gyu Jin. Dan, Endingnya…hah…tetap berbau sama dengan keseluruhan novelnya, konyol tapi tetap terasa manis.
Dan Covernya, warna pink manis yang tidak norak, dengan ilustrasi yang membuat aku mengernyit, karena disana ada gambar underwear. Namun, itu yang bikin menarik dan membuat penasaran. Aku merasa, aku bisa menemukan cerita yang atraktif, sedikit keluar jalur, namun terasa konyol dan menghibur.
Rating 3,5 dari 5 bintang
 

Resensi – OPPA & I “Waktu tak pernah benar-benar kejam”



Penulis : Orizuka & Lia Indra Andriana
Penerbit : Haru
Genre : Romance
Kategori : Young Adult, Family Drama, Korean
Terbit : Desember 2011
Tebal : 156 hlm
ISBN : 978 – 608 – 98325 – 3 – 2
Harga : Rp. 28.000
 Selama lima tahun Jae In dan Jae Kwon – sepasang saudara kembar ini – terpisahkan oleh jarak Jakarta – Korea karena orang tuanya yang memutuskan berpisah.
Namun, perpisahan itu kemudian berakhir. Jae In dan Ibunya menerima permintaan ayahnya untuk berkumpul kembali dan menetap di Korea.
Sayang sekali, hati Jae In yang terluka karena menganggap ayahnya dan sang kakak tak lagi peduli padanya selama lima tahun – membuat Jae In membenci Jae Kwon dan tak mau memanggilnya ‘Oppa’. Bahkan, dia ingin Jae Kwon merahasiakan hubungan mereka dari teman-teman sekolahnya.
“Kenapa menggambar si bodoh itu? Kenapa, Jae In? Kenapa menggambar orang yang telah menghianatimu?” – hlm. 59

Beberapa kali interaksi Jae In dan Jae Kwon yang tampak tak biasa di depan teman-temannya, membuat mereka salah paham, termasuk Hye Rin dan Seung Won. Mereka mengira Jae In dan Jae Kwon pacaran.
Jae Kwon ingin sekali membongkar hubungan mereka. Tapi, Jae Kwon takut Jae In akan marah dan membocorkan rahasia terbesar Jae Kwon.
Tapi, sampai kapan hubungan mereka terus disembunyikan? Tidakkah Jae In tahu selama lima tahun ini dia tak pernah melupakannya. Dia selalu merindukan saudara kembarnya itu.

Oppa & I, novel yang lebih berfokus pada konflik kisah kakak beradik – Jae In dan Jae Kwon – yang selama lima tahun terpisahkan.
Karakter Jae In yang judes dengan mulut super ketus juga wajah sinisnya berhasil membuat konflik ini terasa sebuah masalah yang cukup pelik untuknya.
Sedangkan Jae Kwon yang mempunyai karakter selalu ceria, dan konyol tidak terlalu mempermasalahkan sikap adiknya. Dia seperti orang yang tidak merasakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Jae In dan dirinya. Bagi Jae Kwon, masalah terbesarnya adalah Hye Rin yang tiba-tiba menolaknya. Bahkan, masalah harus memilih antara sepak bola atau menjadi dubber di KBS tidak seberat masalah Hye Rin.
Seonbae, tentang kemarin… aku serius. Kalau aku tidak seperti yang Seonbae harapkan… kalau aku bukan seperti ini, Seonbae masih akan menyukaiku, kan?” – Jae Kwon – hlm. 103

Meskipun Jae Kwon ini konyolnya minta ampun – walaupun kekonyolannya berangsur mereda di Oppa & I : Love Mission – Jae Kwon di seri ini lebih terlihat cowok lugu. Gimana tidak, dia dengan gampang diperdaya Hye Rin si cewek bermuka dua yang menyebalkan.
Ah, aku harus kecewa di seri pertama ini. Dulu, waktu baca Oppa & I : Love Missions dan bertemu Seung Won hanya beberapa kali saja, aku berharap sekali akan bertemu dan mengenal Seung Won lebih banyak di seri pertamanya.
Ternyata, di seri ini, Seung Won juga cuma numpang lewat. Padahal, karakter Seung Won yang diversuskan dengan Jae In selalu seru. Pokoknya, aku protes kenapa Seung Won cuma dapat part sedikit. Semoga di Oppa & I : Love Sign, aku akan bertemu Seung Won dan Jae In lebih banyak.
“Jangan berbaik hati padaku” – Jae In
“Wae (Kenapa)?” – Seung Won
“Aku benci orang jahat. Tapi aku lebih benci orang baik.” – Jae In – hlm. 64

Seung Won di seri ini bukan cowok narsis. Jae Kwon lah raja narsis akut yang tak tersembuhkan walaupun dengan kembang tujuh rupa. Seung Won itu konyol kalau lagi latihan akting aja. Selebihnya, Seung Won tampak sebagai cowok ramah, baik, dan menyenangkan. Ah, tapi usilnya tetap ada.
Untuk cara bercerita dan alurnya, sama seperti komentarku di resensi Oppa & I : Love Missions, aku sangat menikmatinya. Cara berceritanya sangat ringan, dan alurnya juga mudah dipahami. Baca novel ini nggak perlu banyak mikir.
Di novel seri pertama ini, ternyata Ha Neul sudah memperlihatkan ketertariaknnya pada Jae Kwon. Dan, sekali lihat, Jae In sudah langsung tahu.
Sa Ra dan Ha Neul juga sudah mulai mendekati Jae In untuk menarik Jae In ke lingkungan persahabatan mereka. Ketulusan dua cewek ini sangat terasa. Namun, Jae In yang trauma ditinggalkan, malah merasa takut.
Ha Neul dan Sa Ra di seri ini belum diceritakan kalau mereka bergabung dengan majalah sekolah. Tapi, di seri ini, Ha Neul sudah diperlihatkan bakatnya di dunia menulis. Dialah yang membuat naskah drama Chun Hyang yang nantinya akan diperankan Jae In sebagai Chun Hyang dan Seung Won sebagai Mong Ryong-nya.
Ending-nya, meskipun nggak melejit. Namun, bisa ditutup dengan oke. Dan, meskipun novel ini dibuat sekuelnya, tapi ending tidak terasa menggantung. Jadi nggak menyiksa pembaca, deh.
Rating 3 dari 5 bintang

Thursday, February 19, 2015

Resensi – MORNING LIGHT “Akuilah, ini yang aku mau”




Penulis : Windhy Puspitadewi
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance
Kategori : Young Adult, Friendship
Terbit : 2010
Tebal : viii + 180 hlm
ISBN : 979 – 780 – 433 – 6
Harga : Rp. 23.000

“Bunga matahari selalu menghadap matahari. Mengikuti ke mana pun matahari pergi. Berusaha menjadi seperti matahari dan tertekan karena sadar tidak akan pernah bisa, sekuat apapun dia berusaha. Dan karena perhatiannya selalu tertuju pada apa yang dilihatnya, dia tidak bisa melihat ke dalam dirinya sendiri.” – Sophie – hlm. 153

Devon, Julian, Sophie dan Agnes, mereka bersahabat.  Hidup mereka bisa dibilang sama seperti bunga matahari yang senantiasa menghadap ke mataharinya masing-masing.
Bagi Devon, mataharinya adalah sang ayah. Dan, dia dipaksa untuk menjalani hidup seperti bunga matahari.
Awalnya, Devon sangat mencintai sepak bola. Bukan karena ayahnya adalah mantan pemain sepak bola, tapi karena dia menyukainya. Namun, itu dulu sebelum sang ayah merubah sepak bola menjadi hal yang menekannya.
Ayah Devon selalu ingin anaknya tak terkalahkan. Dia memberikan latihan ekstra keras pada Devon. Bahkan memberikannya target-target yang membuat Devon merasa sangat tertekan. Ayahnya benar-benar ingin Devon menjadi apa yang belia impikan.
“Tekanan dari orang-orang terutama Ayah membuatku melupakannya. Hal yang sangat kucintai berbalik menjadi bebanku. Sesuatu yang seharusnys kulakukan dengan senang berubah menjadi kewajiban yang kubenci.” – Devon – hlm. 129

Julian. Baginya, sang kakak adalah mataharinya. Kakaknya adalah matematikawan yang hebat. Maka, Julian harus sama hebatnya, atau kalau bisa lebih hebat lagi.
Namun, sebenarnya bukan matematika yang Julian sukai. Dia menyukai matematika karena kakaknya. Dan, saking fokusnya Julian pada tujuannya, dia sampai tak tahu apa yang sebenarnya dia sukai.
“Bunga matahari tidak sadar kelebihannya sendiri. Dia tdak sadar dia lebih tinggi dari rata-rata bunga pada umumnya. Tidak tahu bahwa dia cantik. Tidak tahu bahwa banyak orang yang lebih senang melihatnya daripada melihat matahari itu sendiri.” – Sophie – hlm. 153

Sophie, dia punya mama yang menjadi mataharinya. Sophie anak seorang penulis hebat. Kemudian, Sophie terobsesi untuk menjadi penulis juga, sama seperti mamanya.
Namun, nama besar mamanya malah membuat Sophie merasa punya target yang menyiksa dirinya sendiri. Sampai-sampai, Sophie pura-pura tak tahu apa yang sebenarnya sangat dia inginkan dan bisa membuatnya bahagia.
“...selama aku menulis karena mengejar bayang seseorang, sebaiknya tidak usah menulis sama sekali.” – Sophie – hlm. 117

Sedangkan Agnes, dia menolak menjadi bunga matahari. Dia menjadi dirinya sendiri meskipun Agnes harus menghadapi tekanan yang menyiksa hidupnya.
“Aku sangat suka dengan perasaan berdebar-debar ketika melihat reaksi orang-orang yang memakan masakanku. Kebahagiaan terbesarku adalah jika mereka menyukainya. Seakan-akan saat orang lain menerima masakanku, mereka juga menerimaku apa adanya.” – Agnes – hlm. 136

Dulu, Agnes punya seorang kakak perempuan. Dia digadang-gadang akan menjadi seorang dokter hebat seperti kedua orang tuanya. Sayang sekali, dia harus meninggal karena kecelakaan.
Setelah sang kakak meninggal, sikap mama Agnes berubah padanya. Agnes berpikir, itu karena sang mama merasa kecewa Agnes tidak bisa seperti kakaknya.
Beruntungnya, mereka tidak harus menghadapi masalah mereka sendiri. Ada lainnya, sahabat-sahabat mereka yang hadir untuk memberi semangat, memberi motivasi dan menyadarkan mereka tentang bagaimana mereka harus memilih tujuan hidup mereka. Sekaligus, memperkenalkan mereka tentang rasa cinta.
“Jangan pernah… hanya dengan melihat, kamu menilai siapa yang lebih menderita dan siapa yang lebih bahagia.” – Agnes – hlm. 139
Morning Light, menurutku novel yang berisi. Dia berhasil dibawakan dengan cara bercerita yang ringan dan dengan konflik yang tidak klise. Meskipun, akhirnya tetap tertebak dengan telak.
Namun, bukan akhir yang menentukan sebuah kualitas sebuah novel. Cara penyelesaian masalahnya dan jalan ceritanya  lah yang mempengaruhi kualitasnya. Dan, penulis benar-benar berhasil menunjukkan kualitasnya.
“Jangan menandalkan orang lain untuk menyelesaikan masalah kalian. Berusahalah mengatasi masalah dengan kekuatan sendiri, itulah yang membuat orang jadi dewasa.” – Mama Devon – hlm. 130

Yang aku suka lagi, kisah cinta antar sahabat di novel ini tidak dibuat ruet dengan hubungan bersegi-segi. Kisah cintanya sangat sederhana, dan aku malah suka.
“Tidak ada yang salah jika kamu punya perasaan lebih pada sahabatmu sendiri! Kalau kamu mencoba menekannya, perasaan itu justru akan meledak.” – Agnes – hlm. 167

Novel ini masih ada typo. Tapi, tidak banyak. Hanya ada satu atau dua kesalahan penulisan. Namun, dalam hal pemenggalan paragraf, aku merasa kurang sependapat dengan penulis.
Penulis sering membuat paragraf baru padahal paragraf tersebut masih bisa jadi satu dengan paragraf sebelumnya. Jujur, aku merasa salah sangka. Biasanya, jika itu paragraf baru, apalagi yang berisi percakapan, berarti tokoh yang berbicara atau yang diceritakan penulis sudah berubah.
Sebagai contoh :
“Hal seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” kata Agnes. “Seperti saat kita ke pameran foto waktu itu, kamu merasa bahagia kan? Semuanya terlihat dari wajahmu.”
“Wajah itu…,” Agnes menunduk. “Aku selalu menunggunya. Menunggu sambil berdebar-debar untuk melihatnya lagi.”
Nah, contoh dua paragraf di atas menurutku kurang tepat. Jika dipisah seperti itu, aku merasa yang paragraf ke dua sudah berganti Julian yang mengatakannya, bukan lagi Agnes. Meskipun, setelah kalimat “Wajah itu…” penulis menyebutkan nama Agnes. Tetap saja, secara otomatis pemikiranku menebak setelah ini, pasti Julian yang berkata karena sudah beda paragraf.
Harusnya, paragrafnya menjadi seperti ini :
“Hal seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” kata Agnes. “Seperti saat kita ke pameran foto waktu itu, kamu merasa bahagia kan? Semuanya terlihat dari wajahmu. Wajah itu…,” Agnes menunduk. “Aku selalu menunggunya. Menunggu sambil berdebar-debar untuk melihatnya lagi.”
Kecuali, satu tokoh mengatakan kalimat super panjang. Nah, kayaknya sah-sah saja untuk dijadikan dua paragraf.
Oh iya. Menurutku juga, untuk kalimat  “Hal seperti itu tidak bisa ditutupi lho,” sebelum kata “lho” harusnya dipisah dengan tanda baca koma. Dan, aku menemukan beberapa kalimat yang kekurangan tanda baca seperti kalimat tersebut.
Kemudian, di halaman 157 paragraf tiga, penulis menyebutkan “Tak ada kata ‘maaf yang terucap, tapi mereka sudah tahu bahwa kata-kata itu sudah keluar bersama dengan air mata penyesalan.”
Padahal, di paragraf sebelumnya mama Agnes mengatakan, “…Maafkan Mama… maafkan Mama Nes…”
Nah, tahukan kesalahannya? Jelas sekali ada kata maaf yang keluar. Kenapa penulis mengatakan “Tak ada kata maaf”?

Oke, lupakan typo-typo tersebut. Karena apa yang bisa kita tangkap di novel ini sangat pantas menjadi alasan untuk tak mempedulikan typo itu.
Jadilah diri sendiri, dan kejarlah apa yang membuatmu bahagia, bukan mengejar bayang-bayang yang hanya membuatmu merasa menang namun tak bahagia. Itulah pesan yang aku tangkap dari novel ini.
“Kata Socrates, bijaksana artinya kita tahu bahwa kita tidak tahu segalanya.” – Sophie – hlm. 147

Ah, di novel ini karakter masing-masing tokohnya begitu berbeda-beda dan penulis mampu menampilkan mereka secara konsisten sampai akhir.
Devon tipe cowok ceria dan suka bercanda. Dia lebih terlihat jarang serius namun bisa bersikap manis banget sama cewek.
Julian, si poker face yang juara banget di bidang akademik. Dia ini karakternya berkebalikan dengan Devon. Namun, meski jarang menampilkan wajah peduli, sebenarnya dia sangat peduli sekali dengan teman-temannya.
Karakter Sophie terasa lebih sinis dengan mulut pedasnya dan sikap judesnya. Namun, Sophie sama seperti tiga temannya, dia sangat peduli dengan mereka.
Sedangkan Agnes, dia tipe cewek manis yang selalu ceria meskipun hatinya luluh lantah. Dia ini kebalikannya Sophie.
“Mungkin benar kata orang, kelebihan seseorang itu letaknya di belakang. Kita tidak bisa melihatnya sendiri. Kita butuh seseorang melihatnya untuk kita.” – Agnes – hlm. 141

Dari segala permasalahan yang mereka hadapi itulah aku banyak belajar tentang hidup dan impian.
Untuk cover-nya, aku rasa sangat sesuai dengan tema ceritanya.
Ending-nya meski bisa aku tebak, tapi lumayan bikin senyum dan lega.
“Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang diberikan oleh orang lain, tetapi sesuatu yang kita buat sendiri.” – Julian – hlm. 142

Rating novel ini 3,4 dari 5 bintang. Dan, ini novel kedua Windhy Puspitadewi yang aku baca. Sebelumnya, aku sudah baca Let Go dan aku cukup puas dengan novel itu.
 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos