Saturday, March 28, 2015

Resensi – The Wolf & The Dove “Pesona sang Serigala”



Penulis : Kathleen E. Woodiwiss
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance
Kategori : Adult, Legenda, Peperangan
Terbit : 2013
Tebal : vi + 762 hlm
ISBN : 979 – 780 – 610 – 3
Harga : 68.000

Wulgar, sang kesatria Nurmandia mendapat perintah dari William sang duke untuk menaklukkan Darkenwald. Dia memilih cara damai untuk menaklukan tempat itu. Sayangnya, utusan yang dia kirim – Ragnor – mengacaukan semuanya. Ragnor membunuh sebagian penduduk desa dan Lord of Darkenwald, ayah Aislinn.
Situasi inilah yang membuat Aislinn membenci Nurmandia, tak terkecuali Wulgar. Meskipun akhirnya, Aislinn tunduk atas belaian Wulgar. Namun, keadaan Aislinn semakin kacau saat dia menyadari apa yang dia rasakan pada Wulgar tidak sekedar hasrat dan gairah saja. Dia mulai mencintai pria Nurmandia, musuhnya. Sekaligus pria yang langsung menghancurkan hatinya. Ya, Wulgar hanya menganggap Aislinn sebagai wanita simpanannya, tidak lebih.
“Berhati-hatilah, Aislinn. Aku akan mengatakan kepadamu yang sebenarnya. Tidak ada ikatan yang bisa mengikatku pada wanita manapun. Jadi, jaga hatimu.” – Wulgar – hm. 91

Wulgar, si anak haram, dia membenci wanita. Selama hidupnya, dia berjanji tidak akan pernah jatuh cinta. Namun, sayangnya hati kerasnya luluh pada pesona Aislinn. Wulgar mencoba untuk tidak percaya pada hatinya, dia bersih keras untuk mengakui apa yang dia lakukan dengan Aislinn selama ini hanya sekedar pemenuhan napsu.
“My lord, kau baru saja mendengar ada yang mengatakan bahwa pria adalah makhluk yang plin-plan. Bagaimana menurutmu? Apakah kau begitu, sire? Dan apakah menurutmu Wulgar juga begitu?” – Aislinn – hlm. 361

Hubungan keduanya yang semakin intim sering kali diganggu oleh Ragnor yang juga tergila-gila pada Aislinn. Wulgar tak mungkin melepaskan apa yang sudah diklaim menjadi miliknya. Dia sudah siap jika harus menghunus pedang demi mempertahankan Aislinn di sisinya.
“Ada pelajaran untuk masing-masing dari kita, tetapi kita lihat saja nanti siapa di antara kita yang akan menang.” – Wulgar – hlm. 42

Sampai kapan Wulgar membohongi hatinya dan tidak mengakui bahwa dia sudah takluk di bawah kaki Aislinn? Dan, berhasilkah dia mempertahankan Aislinn dari taktik licik Ragnor yang bertekat merebutnya?
“Wulgar, dengarkan aku. Apa pentingnya satu atau selusin? Apa pentingnya berapa harga yang harus dibayar? Jika aku datang kepadamu dengan sukarela, maka aku adalah pelacur” – Aislinn – hlm. 478

The Wolf & The Dove, novel yang mengambil zaman di tahun 1066 dimana peperangan untuk memperluas wilayah jajahan masih sangat marak terjadi. Kematian di medan perang dan kesedihan dari para korban perang benar-benar terasa.
Wulgar, dia menjadi kesatria pedang yang gagah berani dengan sikap yang begitu gentleman saat berhadapan dengan wanita. Meskipun, dia kadang sedikit kejam. Bagaimana tidak, dia tega mengikat kaki Aislinn di bawah ranjangnya agar wanita itu tidak kabur darinya. Tapi bagusnya, dia tidak memaksa Aislinn untuk melayaninya seperti sikap Ragnor pada Aislinn.
Sebenarnya, Wulgar lebih terkesan bijak, kuat, misterius, dan nakal. Inilah yang membuat siapapun yang bersua dengannya pasti jatuh cinta, tak terkecuali aku. Arg… aku luluh pada diskripsi karakter dan sosoknya. Wulgar, Wulgar, Wulgar… dia seperti serigala yang mempesona.
Aislinn adalah wanita bermartabat dengan tekat kuat yang harus rela kehilangan kesucian karena peperangan. Namun, dia wanita yang berjiwa baja dengan kebijaksanaan yang tiada tara. Pantaslah dia jadi seorang lady yang disayangi rakyatnya.  Kemampuannya menyembuhkan penyakit, membuat Aislinn benar-benar dibutuhkan.
Di novel ini, Aislinn dan Wulgar memang lebih banyak bertengkar, tapi aku selalu menikmati pertengkaran mereka, dan juga kemesraannya sekaligus. Apalagi saat Aislinn dan Wulgar mendamba dan saling merindukan saat jarak memisahkan mereka, hah…situasi itu bisa membuat yang membaca ikut merasa rindu.
Tokoh di novel ini cukup banyak, tapi mereka benar-benar hidup dan tak kalah hidup dari tokoh utamanya.
Yang menjadi kelemahan dari novel ini adalah masih banyaknya typo. Dan prolognya yang menggambarkan sebuah legenda. Aku tidak menemukan apa hubungan legenda itu dengan ceritanya.
Untuk ending-nya, em….ditutup dengan manis.
Ah, jadi teringat saat si kecil Bryce saat bersama Wulgar. Aku seperti melihat seorang pria tinggi kekar menggendong bayi laki-laki yang menggemaskan dengan sayang. Hah, itu tuh beneran pemandangan yang eksotis banget, deh.
Untuk ratingnya, 4,6 dari 5 bintang. Dan novel ini jangan pernah disentuh sama anak di bawah umur 18 tahun karena banyak sekali adegan dewasa yang tersebar hampir disepenjuru halaman.

Friday, March 20, 2015

Resensi – RUNAWAY “Selalu ada jalan”



Penulis : Kezia Evi Wiadji
Penerbit : Grasindo
Genre : Romance, Drama Family
Kategori : Young Adult
Terbit : 2014
Tebal : vi + 145 hlm
ISBN : 978 – 602 – 251 – 776 – 4
Harga : Rp. 36.000
“Mungkin begitulah hidup orang dewasa, banyak hal dan masalah yang tidak bisa kita pahami.” Reno – hlm. 118

Ya, Amy tak pernah mengerti kenapa tiba-tiba keluarganya berubah berantakan seperti ini. Dia berusaha tidak peduli, berusaha tuli, berusaha buta setiap kali orang  tuanya bertengkar. Sayangnya, semua indranya tetap berfungsi sebagaimana mestinya, dan ini membuat Amy selalu ingin menjauh dari rumah.
Satu tempat yang selalu dia tuju saat Amy tak tahu lagi harus ke mana, Gereja. Disanalah dia bertemu dengan seorang cowok bernama Reno yang selalu membuatnya kesal. Baginya, Reno tidak ubahnya sebagai penganggu.
Sialnya, mereka malah dipersatukan oleh event natal yang akan digelar di bulan Desember. Reno adalah ketua seksi dekorasi, dan Amy ada di dalamnya. Alhasil, Amy tak bisa menghindari Reno lagi.
“Sungguh mengherankan! Setiap hari aku melihat begitu banyak cowok, juga Bimo, mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu-abu dengan ranselnya, berseliweran di sekolah, tetapi kenapa terlihat berbeda jika aku melihatnya di diri Reno?” – Amy – hlm. 52

Tapi, kehadiran Reno malah membantu Amy untuk memilih jalan saat dia mulai tersesat. Reno mengajarinya betapa berharganya keluarga, betapa beruntungnya mempunyai mama-papa. Dia juga mengajari Amy untuk mau melihat lebih dalam pada masalah-masalah yang membelitnya.
Hidup Amy memang seperti di bolak-balik. Kenyataan yang coba disembunyikan, mulai diungkap. Bisakah Amy tetap menjadi Amy yang dulu? Dan, tetapkah Reno menjadi orang yang menyebalkan untuknya?
“Kalau aku bisa memilih, aku lebih memilih mempunyai orang tua yang bermasalah, tetapi aku masih bisa mengenal mereka. Bisa hidup bersama mereka.” – Reno – hlm. 118

Jalan Amy masih panjang. Dia sekarang sedang berjuang menemukan ujung yang membahagiakan.
“Kebahagiaan selalu ada, hanya kita mau meraihnya atau tidak.” – Reno – hlm. 119

Runaway, novel yang mengangkat konflik keluarga sebagai tema utamanya. Diceritakan dari sudut pandang Amy, aku semakin bisa menyelami bagaimana perasaannya.
Pertemuannya dengan Reno membuat novel ini ada sudut happy-nya, nggak melulu tegang kayak di medan perang.
Penulis sangat berhasil menciptakan momen-momen penting, seperti pertama kali Amy dan Reno bertemu. Kemudian yang membuat novel ini mencapai klimaks, saat Mama Amy masuk rumah sakit dan Amy sudah tak bisa menahan amarahnya pada sang papa. Lalu, saat Amy menangis di Gereja dan Reno hadir membawa pelita yang menunjukkan jalan untuk Amy. Semuanya tampak pas sesuai porsinya.
Di novel ini, Reno jadi tokoh favoritku. Dia bisa jadi sosok yang tegar menghadapi kehidupannya. Cara berfikirnyapun tampak harus dicontoh. Reno ini meskipun kadang jahil, tapi dia begitu bijak.
“Hidup kita penuh dengan pilihan. Kamu mau pilih yang mana? Selalu marah dan sedih? Atau mencoba menerima dan tetap bersyukur? Karena masalah akan tetap ada.” – Reno – hlm. 119

Amy sendiri jadi tokoh yang sebenarnya kuat – menurutku. Dia masih bisa berdiri tegar meskipun sering kali tak mampu menahan hasrat untuk berlari dari masalah.
Menurutku, sebenarnya Amy tak pernah membenci kehadiran Reno. Sebaliknya, sejak awal dia sudah tertarik padanya. Tapi, karena tidak ingin mengakui itu, Amy bersikap ketus pada Reno. Intinya, Amy membohongi dirinya sendiri.
Karakter Mama Amy menurutku lebih kayak childish. Setiap kali kalah bertengkar, dia akan mencari perhatian suaminya dengan menyakiti dirinya sendiri.
“…semua hal yang dilakukan Mama yang menurutku aneh, adalah bentuk protes Mama agar Papa kembali memperhatikan dan mencintainya.” – Amy – hlm. 43

Sedangkan sang papa, dia sebenarnya tipe pria baik dan bertanggung jawab. Namun karena terluka, dia mencoba mencari obat dengan cara melukai lawannya dengan cara yang sama.
Bisa dibilang, orang tua Amy terlalu egois dalam menghadapi masalahnya. Mereka tidak memikirkan seperti apa dampak dari keputusan yang mereka ambil. Disinilah kita bisa belajar, satu langkah saja salah berpijak, maka apa yang tertata baik akan berantakan. Dan, satu langkah saja salah mengambil jalan keluar, akan banyak pihak yang menanggung akibatnya.
Novel ini memang novel remaja, tapi bagus juga dibaca oleh orang dewasa seperti aku. Apalagi oleh orang tua agar mereka bisa tahu posisi mereka dalam mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri sebenarnya berpengaruh besar pada anak-anak mereka. Untuk remaja, mereka bisa belajar dari Amy dan Reno dalam menghadapi berbagai masalah.
Novel ini tampak semakin mendekati sempurna karena dibawakan dengan cara bercerita yang ringan dan khas kehidupan remaja.
Rating novel ini 3,5 dari 5 bintang.

Friday, March 13, 2015

Resensi – OPPA & I : LOVE SIGNS “Seperti apa jatuh cinta itu?”



Penulis : Orizuka & Lia Indra Andriana
Penerbit : Haru
Genre : Teen Romance
Kategori : Family Drama, Korea
Terbit : Februari 2014
Tebal : 220 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7742 – 27 – 7
Harga : Rp. 39.000
Skandal!!!
Satu kata itu menghancurkan kehangatan musim panas di hidup Jae In. Dia terpaksa menghadapi berita yang menyangkut dirinya dan Seung Won – yang tampak menjatuhkannya.
“Bahkan kalaupun kau tak mengatakan apa-apa, oppa akan tetap percaya kalau kau tidak seperti yang mereka katakan.” – Jae Kwon – hlm. 48

Belum lagi, Jae In juga harus rela dimaki bahkan dilempari telur busuk oleh penggemar fanatik Seung Won. Yang paling parah, Jae In sampai pingsan saat melihat pengakuan Seung Won bahwa dia dan Seung Won memang berpacaran.
“Pacaran dengan actor itu merepotkan. Mereka itu milik umum, tidak bisa menjadi milikmu seutuhnya. Kau harus siap diserang banyak fans. Fans cewek itu mengerikan. Bahkan poster saja bisa membuat heboh.” – Jae Kwon – hlm. 71

Pernyataan Seung Won berhasil membuat hati Jae In terasa hampir pecah karena amarah. Namun, kemarahannya perlahan digantikan kebingungan saat Seung Won muncul dihadapannya dan menyatakan perasaannya langsung.
Seung Won menyukainya? Lalu bagaimana perasaan Jae In untuk Seung Won? Itulah hal terbesar yang ingin sekali diketahui Jae In.
“Jae In-a, kurasa alasannya hanya ada satu : kau jatuh cinta kepadanya, hanya belum mau mengakuinya.” – Sa Ra – hlm. 110

Jae Kwon sendiri jelas marah, terutama pada Seung Won. Karena Seung Won, Jae In-nya harus menghadapi segala malapetaka. Dia semakin tak suka pada anak laki-laki itu. Apalagi, saat dia tahu, Seung Won benar-benar mencintai Jae In, Jae Kwon berusaha menjauhkan adiknya dari si aktor menyebalkan itu.
“Jae In lupa kalau ia punya tempat lain untuk berlari. Ia selalu bisa berlari kepada orang-orang yang peduli padanya dan bersedia melakukan apapun untuk melindunginya.” – hlm. 46

Segala hal yang terjadi tidak harus ditanggung sendiri oleh Jae In. Ada teman-temannya dan kakaknya. Ya, mereka ada untuk membantunya menemukan senyum Jae In kembali.



Oppa & I : Love Signs, seri ketiga dari Novel Oppa & I.
Jika di seri pertama lebih banyak membahas konflik keluarga, begitu juga di seri kedua. Namun, di seri kedua sudah dimasukkan unsur romance sedikit lebih kental. Nah, di seri terakhir ini, kita disuguhi kisah cinta yang mendominasi, meskipun unsur konflik keluarga tetap mewarnai, tapi sedikit sekali.
Di seri ini, bisa dibilang Seung Won menjadi tokoh utama karena langsung menjadi kunci permasalahan. Sayangnya, lagi-lagi porsi Seung Won sangat kurang, kurang ba-nget!!! Masak lebih banyak Dae Suk dan Tae Jun, sih?! Aih… yang benar saja?!!
Yap, konflik berpusat pada Jae In yang galau apakah dia sudah jatuh cinta pada Seung Won apa tidak. Memang, terkadang hal mudah seperti ini jadi hal paling sulit ditemukan jawabannya.
Di seri ini, Jae Kwon jadi kakak yang hiperprotektif. Dia benar-benar seperti orang tua yang punya anak perawan. Menggelikan.
Lalu, Sa Ra. Aku sudah menebak bahwa dia akan jadian dengan salah satu teman Jae Kwon. Nah, tebakanku betul.
Aku juga suka saat novel ini bersetting di Busan. Kalau pantainya, nggak bikin penasaran. Pantai ramai tak akan bisa menggodaku, tapi kalau pantai yang masih alami dan sepi pengunjung baru, deh bikin kepingin. Taejongdae, tempat inilah yang berhasil membuatku penasaran.
Novel ini punya alur yang cepat dengan cara bercerita yang ringan sekali. Namun, ada dua kalimat yang menurutku susunannya tidak sempurna.
Pertama, paragraf ketiga halaman sepuluh. Di kalimat “Saat ini, mereka sedang berjalan menuju sekolah mereka, SMA Kangnam Sangdan…”Menurutku, kalimat tersebut tak perlu ditambah kata ‘mereka’ yang hurufnya aku tebalkan. Karena siapa pelakunya sudah jelas, dan penggunakan kata yang sama di satu kalimat juga terasa kurang nyaman dibaca.
Kedua, paragraf ketiga halaman dua puluh. Pada kalimat tersebut sturkturnya terlalu bertumpuk-tumpuk. Dan pada kalimat “Tak lama setelah kehebohan tadi terjadi, bel masuk berbunyi,…  – beberapa detik kemudian.” Kalimat tersebut akan lebih enak jika kata “terjadi” dan kalimat keterangan waktu “beberapa detik kemudian” dihilangkan.
Hanya itu, sih kelemahannya. Lainnya, wao… memukau! Apalagi saat Seung Won muncur… arg,, aku suka sama dia. Dia itu menyebalkan tapi bikin terpesona.
Endingnya lumayan, lah. Tapi, yang paling seru saat adegan saat Jae In dan Seung Won ada di depan pagar rumah keluarga Park. Dan tiba-tiba Jae Kwon muncul. Trus mereka berantem gara-gara si Seung Won pamer rekaman kalimat” Seung Won oppa” yang keluar dari mulut Jae In. Jae Kwon belum rela kalau Jae In punya Oppa selain dirinya. Aih, dia ini kadang bikin gemes.
Rating untuk novel ini 3,2 dari 5 bintang.

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos