Diikutkan Dalam Lomba
Cerpen ‘Angels of Morning
Star Club’
“Kau percaya malaikat?”
Senyum itu, aku masih
mengingatnya sampai sekarang. Senyum saat dia menanyakan pertanyaan – yang
awalnya aku pikir hanya pertanyaan bodoh.
Dia masih menatapku,
penasaran.
“Kakak, katakan sesuatu.
Kau percaya malaikat?”
Kubuang tatapanku ke arah
lain, menghindari wajah penasarannya. Namun, dari lirikanku, aku tahu dia
benar-benar menunggu jawaban. Sampai-sampai, saking tak sabarnya, Angle
mengigit bibir bawahnya.
“KAK!!!” sentaknya kesal
karena senyum yang tadi aku sembunyikan akhirnya menyembul keluar. “JAWABLAH!”
Suaranya masih meninggi. “Kau hanya perlu menjawab, kenapa sulit sekali, sih?”
“Memang ada apa dengan
malaikat?” Aku malah ganti bertanya padanya.
Bahu Angle merosot,
“Entahlah!” suaranya terdengar sendu. “Aku…” Dia tampak berpikir. “Aku merasa
ada sayap yang perlahan tumbuh di punggungku.”
Keningku berkerut. “Kau
kebanyakan nonton film.”
Helaan napasku tak
membuatnya mengangkat wajah. Dia masih menunduk, kakinya sibuk menendang
kerikil-kerikil kecil di tepi sungai.
“Aku serius.” Dia
menghela napas, lebih keras dari helaan napasku. “Aku benar-benar merasakannya.
Kadang, aku merasa ada sesuatu seperti bulu yang begitu lembut saat aku berdiri
sendirian dan memejamkan mata.”
Kutatap sungguh-sungguh
wajah adikku, adik yang tiba-tiba muncul di hidupku entah sejak kapan. Yang aku
tahu, dia tidak benar-benar adikku. Tapi, karena terlalu kecil dan karena
kata-kata ibuku bahwa dia adikku, aku
mempercayainya.
Aku tahu betul bagaimana
ekspresinya saat dia mulai tak serius. Dan saat itu Angle tidak sedang
bercanda. “Saat sayap itu memelukku, aku merasakan kedamaian yang begitu
mempesona. Seperti, sedang dipeluk malaikat.”
“Oh, ya?” tanyaku datar
tampak tak tertarik.
“E’hem…”
Kami terdiam cukup lama.
“Apakah aku ini
malaikat?”
“Ya?” Aku tersentak
dengan pertanyaannya. “Kau malaikat?” Aku tertawa ringan. “Berarti aku juga
malaikat karena kita bersaudara.” Tawaku belum lenyap. “Tapi, aku tidak
merasakan apapun di punggungku.”
Lagi-lagi Angle menghela
napas dengan cukup keras. Dan, dia tak lagi membahasnya. Dia malah berjalan
pulang dan tak menghiraukanku.
Aku menatap punggungnya.
Samar-samar bayangan sayap putih membentang di sana. Kusipitkan mataku, bayangan
sayap itu semakin jelas. Namun, saat aku berkedip, sayap itu sudah lenyap.
Ini aneh, tapi aku tetap tak
mempercayai mataku. Aku pikir, saat itu aku sedang berhalusinasi karena cerita Angle.
Namun, saat ini aku
percaya. Sayap itu benar-benar tumbuh di punggung Angle dan dia sudah membawa
pergi adikku.
Suatu pagi, aku menemukan
banyak bulu putih bertebaran di tempat tidur Angle. Aku memungutnya satu,
merasakan kelembutannya dan mencium aroma Angle di bulu itu.
“Apakah ini bulu dari
sayap Angle?” tiba-tiba saja aku mengingat bayangan sayap itu.
“ANGLE!” Aku berteriak
kencang. Aku panik. Aku merasakan kekosongan yang amat dalam di hatiku. Rasa
kehilangan tiba-tiba mencengkramku kuat. “ANGLE!!!” Aku berlari ke beranda
kamarnya. Dan, aku baru sadar, pintu beranda kamar Angle sudah terbuka sejak
tadi. “ANGLE!!!” Aku berteriak makin kencang. Tapi, tak ada sahutan yang
kudengar.
Dia benar-benar pergi.
“Kakak!”
Kuangkat wajahku. Di
depan, hanya berjarak kurang dari seratus meter, malaikat bersayap putih itu
berjalan sambil menyunggingkan senyumnya.
“Kakak, kau sudah lama
menungguku?” Senyumnya makin lebar. “Aku merindukanmu. Maaf, aku lama tak
menjengukmu.” Wajah cerianya berangsur menghilang.
“Kau ini…” Entah kenapa
aku begitu sulit meneruskan kata-kataku.
Perlahan aku merasakan
pelukannya. Kupejamkan mataku, dan aku tahu, sayapnya ikut memeluk kami. Yah, aku merasakan sayap itu begitu mendamaikanku.
“I miss you, Kak!” bisiknya.
“Angle.” Tanpa
sadar, aku menyebut namanya.
“Aku tak bisa lagi menemuimu. Mereka sudah tahu kalau aku masih mencuri
waktu untuk bersamamu.” Dia melepas dekapannya. Sayap itu sudah tak lagi
melebar. Dia tampak
anggun menghias punggung Angle, adikku
– ah, bukan, dia bukan lagi adikku, tapi kekasihku.
Status itu berubah saat dia kembali menemuiku tiga bulan yang lalu. Dialah
yang merubahnya saat pernyataan cinta itu pertama kali meluncur dari bibirnya.
“Mereka bilang, aku bisa membunuhmu perlahan jika aku terus berada di
dekatmu.” Air matanya menetes. “Aku tak ingin membunuhmu, Kak.” Dia terisak.
Aku tersenyum. Kugenggam tangannya. “Aku akan mati bahagia kalau memang itu
yang harus terjadi.”
Angle mengingit
bibir bawahnya. Dia menggeleng, “Kau tampak kurus, Kak. Mereka benar – .” Dia terpejam.
“ – aku...aku akan
pergi, Kak. Aku ingin kau hidup dan bahagia.”
“Kau tahu, aku akan
bahagia jika bersamamu.” Kutarik dia mendekat dan memeluknya lagi. Dia menurut
dan menundukkan tubuhnya karena aku yang tak lagi kuat berdiri dari kursi roda
ini. “Manusia pasti mati, Angle. Dan, aku rela mati sekarang juga untukmu.”
Kurasakan air matanya
membasahi bahuku. “Tidak, Kak.” Dia melepas pelukannya dan berjalan mundur.
“Aku harus pergi.” Aku tahu, senyum itu senyum yang sangat dipaksakannya. “Aku
ingin kau bahagia. Berjanjilah, kau akan bahagia.”
“Kau tahu, aku tak akan
bahagia tanpamu.”
Sayapnya mulai melebar.
“Selamat tinggal, Kak!”
Dan, dia lagi-lagi pergi.
Ya, dia benar-benar pergi dan tak kembali.
Angle, kau memberiku
kehidupan, tapi kaulah yang membuat hatiku mati. Kau pikir aku bahagia? Tidak! Aku
tidak pernah bahagia.
Kau dengar aku?
***
No comments:
Post a Comment