Tuesday, September 29, 2015

Resensi – BY YOUR SIDE “Cinta terkalahkan oleh ambis”



Penulis : Bulan Nosarios
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Genre : Romance
Kategori : Adult, Amore, Friendzone
Terbit : Mei 2014
Tebal : 296 hlm
ISBN : 978 – 602 – 03 – 0451 – 9
Harga : Rp. 60.000

Kania, dia bercita-cita menjadi seorang dokter jantung. Kenangan akan ayahnya yang meninggal karena penyakit jantung menjadi salah satu pemicunya.
Selama ini, bisa dibilang, Kania tak pernah memikirkan dirinya sendiri, dia terlalu sibuk. Sampai-sampai dia merasa tak punya waktu untuk mengurus masalah cinta, dan menikah.
Semua orang tahu, Kania pun mungkin juga tahu, meskipun tak ada kata-kata lisan yang mengatakan, Erga – sahabat baik Kania – sangat mencintai dokter muda yang penuh ambisi ini. Orang-orang di sekitar merekapun lebih senang menganggap mereka sepasang kekasih. Padahal, status mereka hanya sahabat sangat baik. Dan, orang-orang itu tak peduli dengan status mereka yang sebenarnya. Mungkin, karena mereka berharap Kania dan Erga bisa bersatu.
“Kalian ultracomplicated. Apa? Bukannya begitu status kalian? Terlalu panjang dan berbelit untuk dijelaskan?” – Evan – hlm. 23

Sering kali, Kania memang tampak menghindar. Kania tahu dirinya. Jika dia membiarkan Erga masuk sebagai cinta di hidupnya, dia takut Erga akan terluka.
Erga sangat mengenal Kania. Dia takut, jika dia memaksa mengatakan perasaannya, Kania akan menjauh, dan dia tidak siap untuk itu. Erga memilih memendam perasaannya. Menjadi bagian dari hidup Kania, dan selalu ada untuknya, sudah cukup untuk Erga.
“Kita terbiasa merencanakan banyak hal yang mudah kita jalani, Kan. Tapi Tuhan membuat rencana supaya kita menjadi kuat. Sedikit hal yang tidak pasti, sedikit kepedihan, sedikit kebimbangan, begitulah hidup.” – Oma Kania – hlm. 226

Perlahan, muncul pihak-pihak yang membuat hubungan mereka menjadi tak nyaman. Erga kedatangan mantan kekasihnya, Nina. Dan, Kania bertemu dengan kakak kelasnya, seorang dokter kandungan yang cukup memikat, Dr. Bian.
Perasaan cemburu mulai muncul. Kehadiran masing-masing yang dulu terasa nyaman, berubah jadi tak mengenakkan. Rumah Oma Kania yang merangkap sebagai Restoran keluarga, sekaligus tempat Erga bekerja terasa menyesakkan buat keduanya.
“Dulu rasanya menjadi sahabat saja cukup. Sekarang jadi sahabat rasanya tidak lagi tepat, terasa kurang, namun untuk lebih… ia tidak berani mengambil resiko itu. Ia terlalu pelit berbagi hati, atau terlalu tamak tak mau menghentikan sebagian mimpinya sebagai manusia bebas.” – hlm. 233

Mereka butuh ruang yang lebih luas. Mereka butuh bernapas lebih bebas. Tapi, cinta di antara mereka tidak akan bisa begitu mudah membuat mereka baik-baik saja meskipun banyak ruang di antara mereka, banyak udara segar yang bisa mereka hirup. Karena, mereka bisa nyaman hanya jika mereka bisa saling jujur. Sayang, kejujuran itu terlalu mahal untuk mereka.
“Waktu akan mengubah mereka. Waktu akan membuat mereka bosan. Waktu akan menghadirkan orang lain dalam hidup mereka, menuntut cinta yang lain. Dan apakah ia bisa bertahan dengan semua kerumitan itu?” – hlm. 184
 
By Your Side, jujur saja aku meragukan novel ini, karena rating di goodread yang menurutku kurang memuaskan. Maaf, aku bukan tipe pembaca blurd. Aku lebih suka melihat rating goadreads dan membaca sekilas komentar para pembaca.
Saat membaca bagian awal novel ini, dan mulai memahami apa inti masalah di dalamnya, aku semakin ragu, friendzone. Sebenarnya, keduanya saling cinta, tapi di satu pihak cinta itu terhalang ambisi, dan dipihak lainnya terhalang rasa takut untuk mengakui cinta tersebut.
Apa ya bahasanya, terlalu biasa, mungkin.
Tapi tunggu dulu, ternyata aku begitu menikmati novel ini.
Menurutku, cara berceritanya yang luwes dan ringan, dengan konflik yang biasa-biasa saja, namun bisa membuat aku terikat pada kisahnya, dan sesekali berhasil menyentuh hatiku – sudah cukup membuat aku menyukai novel ini. Bisa jadi, cerita dengan konflik sederhana, jika bisa dibawakan dengan baik oleh penulisnya, akan jadi sesuatu yang lebih indah.
Karakter-karakter di novel ini cukup banyak. Namun, aku lebih menyoroti tokoh utamanya, Erga, Kania, Nina – mantan kekasih Erga. Mereka punya karakter kuat dan tidak gampang goyah.
Erga cowok yang hidupnya – kayaknya – santai-santai saja memang terkesan tak terlalu mau ambil pusing pada masa depannya. Buatnya, selalu berada di sekitar Kania, itu sudah cukup.
Rasanya, cara berpikir cowok seperti ini kok nggak menjanjikan masa depan, ya? Oke, Erga memang sudah berhasil dengan Kedai Oma, termasuk dengan Erga’s – sebuah kafe yang dikelola Erga. Erga menikmati menjadi fotografer amatir yang fotonya hanya dipajang di Kedai Oma. Dia juga sesekali menjadi barista.
Hidup Erga memang terasa nyaman. Tapi, apakah cukup? Jika dibandingkan dengan Kania, rasanya mereka punya tingkat yang berbeda. Kania jauh di atas Erga.
Kania menjalani profesinya sebagai dokter dengan sepenuh hati. Mimpinya menjadi dokter jantung membuat Kania tak pernah cukup punya waktu untuk dirinya. Kania terlampau sibuk. Sangat berkebalikan dengan Erga, kan?
Tunggu, bukannya cinta itu saling melengkapi? Sepertinya jika mereka bersama akan lebih baik. Erga punya banyak waktu untuk Kania yang sibuk. Jadwal mereka akan lebih mudah diatur, pasti.
Sayangnya, cara berpikir mereka, terutama Kania, jauh berbeda dari cara berpikirku. Munculnya sosok Nina yang cantik dan sangat memikat membuat Kania gusar. Kehadiran janda beranak satu inilah yang perlahan menyadarkan Kania, dia ternyata menginginkan Erga lebih dari sahabat. Tapi, lagi-lagi Kania teringat ambisinya.
Tokoh dengan karakter unik di novel ini membuat suasana cerita makin semarak. Munculnya Evan si koki yang hobi membuat Erga gerah dengan komentarnya. Evan ini kekasih adik Kania, Vidya. Vidya ini memang cocok jika bersanding dengan Evan. Mereka sama-sama punya keahlian menyindir tajam.
Dan, masih ada Dr. Bian yang bikin Erga cemburu, lalu Oma yang bikin adem, trus keluarga Erga yang begitu gerah dengan sikap Erga yang nggak jelas pada Kania.
Novel ini keren. Yang lagi capek baca novel terlalu serius dengan konflik njlimet, monggo nyoba novel ini. Aku bisa langsung fresh setelah membacanya, lho. Duh, kayak jualan aja. Jujur, aku nggak pakai sogokan apapun, lho, muji-muji novel ini.
Oh, tapi ada satu yang nggak terlalu aku suka. Saat penyelesaian masalahnya. Kenapa harus hidjrah, sih? Masih banyak cara lain, selain pergi, kan?
Kalau kamu gapang tersentuh, seperti aku, kamu akan menemukan banyak hal yang bikin hati dicubit, atau kamu akan senyum sendiri membayangkan beberapa hal yang terjadi antara Kania dan Erga yang sebenarnya nggak pernah jelas. Dan, so pasti kamu akan dibuat geregetan setengah mati.
Rating untuk novel ini 3,4 dari 5 bintang.

Friday, September 25, 2015

Resensi – TO ALL THE BOY’S I’VE LOVED BEFORE”



Karya : Jenny Han
Penerjemah : Airien Kusumawardani
Penerbit : Spring
Genre : Romance
Kategori : Young Adult, Terjemahan, Family Drama
Terbit : April 2015
Tebal : 380 hlm
ISBN : 978 – 602 – 71505 – 1 – 5
Harga : 64.000

Pernahkah kamu menulis surat berisikan perasaanmu pada seseorang?
Itulah yang selalu Lara Jean Song Covey lakukan di saat dia memutuskan untuk melepaskan perasaan cintanya untuk seseorang. Dia menuliskan semua yang ada di pikirannya, karena dia tahu, surat itu tak akan pernah sampai pada orang yang harusnya menerimanya. Dia memang memasukkan surat itu ke amplop, namun hanya untuk menyegelnya, lalu menyimpannya di dalam kotak topi milik ibunya.
“Aku bimbang. Mungkin lebih baik tidak membebani Margot dengan semua ini… Lagi pula, apa yang harus kukatakan? Bahwa aku menulis sejumlah surat cinta dan semuanya terkirim, termasuk surat yang kutulis untuk pacarmu?” – Lara Jean – hlm. 86

Sayang sekali, surat itu tiba-tiba saja sampai pada orang-orang yang harusnya menerimanya – pada cowok-cowok yang pernah Lara Jean suka. Termasuk pada Josh – kekasih kakaknya, Margot – juga pada Peter Kavinsky – kekasih Genevieve, cewek paling cantik dan populer di sekolahnya. Dan, ada tiga lagi surat lainnya. Untunglah, ada satu surat yang tidak terkirim. Setidaknya, dia selamat dari satu lubang.
“Kau harus santai, Lara Jean. Hidup tidak harus terlalu direncanakan. Jalani saja dan lihat apa yang terjadi.” – Peter Kavinsky – hlm. 131

Mengetahui Peter menerima suratnya saja membuat hidup Lara Jean mendung, apalagi saat Josh menerimanya. Ini tidak benar! Meskipun Josh dan Margot baru saja putus, Lara Jean yakin mereka akan kembali bersama dan surat itu tak seharusnya dibaca Josh. Dan satu lagi, sepertinya Lara Jean masih menyukainya.
Josh berusaha meminta penjelasan pada Lara Jean. Tapi, jelas saja Lara Jean mengatakan kalau surat itu sudah lama dia tulis dan dia sudah mempunyai seorang kekasih. Surat itu tak ada artinya lagi untuk Lara Jean.
Kekasih? Sejak kapan Lara Jean punya kekasih? Lara Jean berusaha berpikir cepat untuk menyebut sebuah nama agar kebohongannya mendekati sempurna. Peter Kavinsky yang kabarnya baru saja putus dari Genevieve – tiba-tiba muncul di depan Lara Jean dan Josh. Tanpa pikir panjang, Lara Jean langsung menghambur padanya, lalu menciumnya.
“…kurasa untuk masalah hati, kita tidak bisa memperkirakan bagaimana seseorang akan bersikap.” – Lara Jean – hlm. 18

Buat Peter, perbuatan Lara Jean benar-benar lucu. Namun, saat Lara Jean menceritakan penyebab dia bisa menjadi cewek gila seperti itu – Peter berpikir, sepertinya menjadi kekasih Lara Jean adalah ide bagus. Dia ingin membuat mantan kekasihnya cemburu.
Dan, begitulah perjanjian itu dimulai, perjanjian antara Lara Jean dan Peter Kavinsky untuk menjadi sepasang kekasih bohongan.
“Ini akan membantumu juga, kau tahu? Dengan cowok bernama Josh itu. Bukankah kau khawatir kehilangan harga dirimu di depannya? Cara ini bisa menyelamatkanmu dari rasa malu yang lebih jauh lagi. Kenapa kau ingin bersamanya jika kau bisa bersamaku? Yah, pura-pura bersamaku. Tapi jangan macam-macam. Aku tidak mau kalau sampai kau jatuh cinta padaku.” – Peter Kavinsky – hlm. 121

To All the Boy’s I’ve Loved Before, novel tentang gadis lugu yang lebih senang memendam perasaannya, dari pada berlari dan menyatakannya. Lara Jean, dia bukannya tidak ingin dicintai, dan merasakan cinta. Tapi, itulah Lara Jean, dia bukan cewek dari benua barat pada umumnya. Darah Asia yang mengalir di nadinya – mungkin – yang membuat dia berbeda. Atau, memang itulah Lara Jean, bukan tipe cewek yang terlalu terbuka untuk cintanya. Padahal, dalam benaknya, dia selalu memimpikan kisah cinta yang manis – persis seperti di dalam novel, atau film romantis.
Aku merasa, karakter Lara Jean ini mirip denganku. Aku juga lebih senang memendam cinta dari pada menyatakannya. Dan aku juga mengharapkan kisah romantis dalam kehidupan cintaku – efek kebanyakan baca novel romance.
Lara Jean lebih memilih kakak dan adiknya daripada cowok yang dia sukai. Karena baginya, tempatnya ada di sana. Bisa dibilang, dia tak pernah percaya diri jika berkaitan dengan cinta. Begitu juga denganku.
Lara Jean sangat suka menilai seseorang, dan aku juga begitu. Komentar Peter untuk Lara Jean sepertinya cocok juga ditunjukkan untukku.
“Menurutku, pada dasarnya kau memang terlalu mudah menilai seseorang. Itu kekurangan yang harus kau perbaiki. Menurutku kau juga harus belajar untuk bersikap sedikit santai dan bersenang-senang.” – Peter Kavinsky – hlm. 157

Lara Jean takut menyetir, sebenarnya bukan takut, tapi tidak percaya diri. Lara Jean bisa menyetir, tapi karena lebih sering gugup, itu membuat dia jadi takut. Sedangkan aku, aku bisa menyetir – bukan mobil, tapi motor. Tapi, aku sering gugup saat diminta membonceng. Aku juga merasa takut untuk menyetir dalam jarak yang jauh, seperti keluar kota. Jadi, acara nyetir menyetir akan aku hindari jika ada orang yang bisa memboncengku. Ada kemiripan, kan?
Lara Jean bisa memasak, meskipun masakannya tetap kalah dari Margot. Aku juga bisa memasak, bisa dimakan tentunya. Tapi, masakanku bukan sesuatu yang bisa membuat seseorang mengatakan “ENAKNYA!”
Tentang surat. Kalau Lara Jean menuliskan surat untuk cowok-cowok yang dia sukai saat dia memutuskan untuk melepaskannya. Aku lebih suka menulis di buku catatan tentang segala hal yang aku ketahui tentang cowok itu. Tapi, itu dulu, saat aku masih terlalu naïf. Sekarang? Rasanya hal itu tampak kekanak-kanakan, atau jaman sekarang akan disebut ‘alay’.
Oke, cukup membandingkan aku dengan Lara Jean. Yang jelas, membaca novel ini membuat aku mengingat diriku dulu, dan beberapa diriku sekarang. Dan, kenapa review ini malah mirip pengakuanku tentang siapa diriku yang sebenarnya?
Novel ini punya pembuka yang sedikit membuat aku berpikir, ‘aduh… seru nggak ya novel ini?’ Namun, itu hanya di beberapa bab awal. Selanjutnya, aku sangat…sangat… sangat menikmati kisah Lara Jean. Mungkin, di bab awal cara berceritanya terlalu telling. Makanya, sedikit membosankan.
Saat cerita sudah sampai di mana Lara Jean mulai berbuat konyol karena tak ingin Josh mengetahui perasaannya, novel ini mulai menampakakan keseruannya. Dan, saat Peter sudah menjadi kekasih Lara Jean, grafik keseruannya semakin naik.
Peter Kavinsky memang tipe cowok yang gampang membuat cewek terpesona. Kalau tidak, mana mungkin Genevieve mau bersama Peter dan menjadi kekasihnya dalam waktu cukup lama. Meskipun Peter terkenal bukan cowok baik, tapi Peter termasuk setia. Dia sangat mencintai Genevieve sampai-sampai dia mau menjadi kekasih Lara Jean untuk membuat Gen cemburu.
Peter termasuk cowok penyuka anak kecil, karena Peter berhasil membuat Kitty – adik Lara Jean begitu menyukainya. Sebelumnya, Josh-lah cowok idola Kitty. Tapi, kehadiran Peter berhasil sedikit menggeser tempat Josh di hati Kitty. Ini jelas membuat Josh yang tidak suka pada Peter jadi makin tidak suka.
Interaksi dalam keluarga Lara Jean membuat aku iri. Meskipun ibu mereka yang berdarah Korea sudah meninggal, tapi mereka tetap menjadi keluarga yang bahagia. Margot-lah yang berperan sangat besar dalam keluarga ini. Bisa dibilang, Kitty mendapatkan sosok pengganti ibunya dalam diri Margot.
Margot begitu dewasa, dia hebat dalam segala hal, dan dia bisa memecahkan segala masalah. Tapi, aku merasa Margot dewasa sebelum waktunya. Dia terasa kaku, dan sangat senang menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Bagiku, Margot itu kelabu hingga terlalu sulit untuk ditebak.
Interaksi antara Peter dan Lara Jean adalah bagian terpenting yang membuat novel ini seru. Mereka sering kali tampak saling menjatuhkan. Tapi, ada saatnya mereka tampak begitu sweet, seperti saat Peter mengirimkan pesan-pesan lewat kertas untuk Lara Jean. Lalu, saat Peter datang ke rumah Lara Jean dan membatu membuat Cupcake. Dan, masih banyak adegan-adegan yang bikin aku menghela napas saking irinya.
Cowok tipe Peter ini sepertinya jenis cowok yang asyik diajak berteman atau pacaran. Dia akan memberikan banyak sekali kejutan-kejutan dan hal-hal yang membuat hubungan tak membosankan. Meskipun, kita juga harus bersiap-siap saat dia berulah.
Novel ini menggunakan sudut pandang Lara Jean, sehingga pembaca bisa merasa dekat dengan tokoh utamanya, memahami perasaanya, dan bisa menilai seperti apa Lara Jean. Karakter Lara Jean adalah karakter cewek yang akan mudah membuat orang sayang padanya.
Cara berceritanya memang sedikit agak lambat, tapi aku memang suka novel ini dibuat dengan kecepatan seperti ini, karena aku tak ingin novel ini habis. Aku ingin terus menikmati chemistry Lara Jean dan Peter. Jadi, tak sabar bertemu sekuelnya – PS. I Still Love You.
Menurutku, pilihan Penerbit Spring untuk memakai desain cover sama seperti novel aslinya sangat…sangat…sangat tepat. Covernya benar-benar cantik, dan membuat orang pengin memasukkannya di dalam lemari buku untuk dikoleksi.
Ending-nya, meskipun novel ini masih ada lanjutannya, setidaknya aku masih bisa menarik kesimpulan di akhir cerita. Lega, sih, karena meskipun aku penasaran bagaimana kisah Peter dan Lara Jean. Setidaknya, aku tahu masih ada kelanjutan dari hubungan mereka. Mereka tidak benar-benar selesai. Tapi, aku belum tahu bagaimana Lara Jean akan menyelesikan konflik ini.
Rating 4,3 dari 5 bintang.
Info, nih. Buat yang pengin baca novel sekuel dari To All the Boy’s I’ve Loved Before, sebentar lagi Penerbit Spring akan menggelar Blog Tour untuk novel PS. I Still Love You. Tentu  saja ada Giveaway. Dan, aku terpilih menjadi salah satu HOST BLOG TOUR untuk novel ini.
Jadi, jangan sampai ketinggalan!

Monday, September 21, 2015

Resensi – THE DEAD RETURNS “Aku, ini Bukan Aku!”



Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerjemah : Andry Setiawan
Penerbit : Haru
Genre : Thriller, Horor
Kategori : Young Adult, Terjemahan, Novel Jepang
Terbit : Agustus 2015
Tebal : 252 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7742 – 57 – 4
Harga : Rp. 55.000

Koyama Nobuo, Siswa SMA yang dibunuh pada malam pembukaan semester baru. Dia didorong dari tepi tebing hingga tewas. Namun, ternyata hanya raganya yang meninggal. Jiwanya tetap hidup dan merasuk di dalam raga orang yang berniat menolongnya, Takahashi Shinji.
“Sebenarnya, aku adalah orang yang seharusnya tidak ada. Dan entah karena ulah siapa, sekarang aku hidup seperti ini. Tapi, hal ini tidak normal. Pasti semua orang lebih bahagia tanpa diriku, kan? Apakah arti hidup ini? Bahkan sampai membuat repot orang lain…” – Koyama Nobuo – hlm. 155

Takahashi mempunyai perawakan yang tampan, dan sangat berkebalikan dengan Nobuo. Ini membuat dia dikagumi oleh para cewek, dan lebih mudah bergaul dengan teman-temannya.
Nobuo yang berada di dalam tubuh Takahashi memutuskan untuk pindah ke sekolah lamanya. Dia ingin menemukan pembunuhnya. Nobuo mencurigai teman satu kelasnya. Dengan menggunakan wajah Takahashi, dia mulai menyelidiki kasus pembunuhan atas dirinya sendiri.
“Aku tidak ingin mereka merasakan adanya hubungan antara ‘aku yang dulu’ dengan ‘aku yang sekarang’, Takahasi Shinji. Karena… Aku dibunuh oleh salah satu murid kelas ini.” – Koyama Nobuo – hlm. 28

Bukan hal yang mudah ternyata menemukan pelakunya. Meskipun beberapa alibi teman-temannya mulai terungkap, Nobuo malah semakin bingung. Bahkan, orang yang mulanya tak ada dalam daftar tersangkapun ikut-ikutan terseret masuk sebagai orang yang mungkin membunuhnya.
 “Mulai hari ini, selama aku hidup pasti akan ada banyak hal yang menyusahkan. Pasti juga ada rintangan tinggi yang menghalangiku.” – Koyama Nobuo – hlm. 244

The Dead Returns, bisa dibilang aku sangat ingin membaca novel ini karena jatuh cinta pada karya Akiyoshi Rikako yang lebih dulu diterbitkan Penerbit Haru, Girl in the Dark. Di novel GiTD, menurutku cara bercerita Akiyoshi Rikako sangat unik. Aku berharap, di novel ini pun begitu.
Apakah TDR berhasil membuatku puas seperti GiTD?
Mau tidak mau, aku memang membandingkan dua buku ini. Dan, GiTH menurutku masih lebih unggul dari TDR.
Di Novel GiTH, hampir semua tokohnya mempunyai kesempatan untuk menceritakan langsung alibinya. Sedangkan di TDR, hanya Nobou yang bercerita. Dia sebagai tokoh yang mencari pembunuhnya, hanya bisa menyebutkan dugaan-dugaan sebagai clue. Membuat – kita pembaca – ikut mencurigai beberapa tokohnya. Namun, entah bagaimana aku merasa tidak yakin dengan pemikiran Nobuo. Aku yakin ada seseorang yang diluar daftar itu sebagai pelakunya.
Karena pemikiran Nobuo yang berputar-putar, novel ini terasa agak lambat. Kurang memberikan unsur tegang yang lebih, dan kurang membuat pembaca – aku – merasa dibuat amat penasaran.
Namun, novel ini punya nilai moral yang bagus. Pembaca diajak belajar tentang  pentingnya mempunyai rasa percaya diri dalam pergaulan.
“Namun, dalam artian tertentu, diabaikan secara tak sadar dan tanpa alasan rasanya lebih menyakitkan dari pada diabaikan karena di-bully.” – Koyama Nobuo – hlm. 98

Nobuo yang karakternya terlalu introvert tidak bisa menyatu dengan teman-teman sekelasnya. Dia tampak seperti orang yang diabaikan. Sebenarnya, dia diabaikan karena dirinya sendiri. Dia yang terlalu tertutup membuat siapapun jadi enggan untuk dekat dengannya. Coba kalau dia lebih terbuka, mungkin teman-temannya juga akan welcome padanya.
Nobou baru menyadari hal itu saat dia hadir kembali sebagai Takahashi. Dengan tubuh Takahashi, Nobuo mulai mengenal seperti apa teman-temannya yang sebenarnya. Ternyata, mereka tak seburuk yang dia kira.
“Rasanya aku juga harus minta maaf, termasuk pada Sasaki-kun dan Arai-kun, karena aku menghakimi sifat mereka hanya dari penampilannya, bahkan sebelum aku berbincang dan mengenal mereka dengan baik.” – Koyama Nobuo – hlm. 95

Dulu, Nobuo tak punya nyali untuk menyatu dengan mereka. Andai saja sejak dulu Nobuo lebih percaya diri, dia pasti tak semenderita dan tak merasa tidak dipedulikan seperti ini.
Awalnya, saat membaca dua paragraf terakhir, aku merasa tidak puas. Dalam otakku, aku merancang sebuah ending yang kuinginkan sendiri.
Aku berpikir, akan lebih bagus kalau Nobuo tetap menjadi Takahashi sampai akhir. Namun, karena penulis punya pendapat lain, tentu ending-nya suka-suka penulis.
Dan, di akhir cerita, ternyata aku cukup suka. Aku tak jadi kecewa. Ada poin yang bagus di ending-nya. Kayaknya, Akiyoshi Rikako termasuk ahli dalam membuat ending. Lain kali, aku tak akan meragukan ending yang dia buat.
Ratingnya 3,3 dari 5 bintang.
 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos