Friday, July 31, 2015

Resensi – GOOD FIGHT “Mari saling menutup lubang hati”



Penulis : Christian Simamora
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance
Kategori : Adult, Fashion, J-Boyfriend
Terbit : 2012
Tebal : x + 514 hlm
ISBN : 979 – 780 – 545 – 6
Harga : Rp. 57.000
“Lo suka bertanya-tanya nggak, kenapa cinta malah bikin lo berada di posisi nggak mengenakkan kayak gini?” – Jet – hlm. 101

Jethro Liem, fotografer di Majalah Fashion Manner dan Mascara. Dia hidup sebagai orang ketiga alias kekasih simpanan dari seorang wanita bersuami, Nadine Sasongko. Jet menerima saja takdir yang mampir dihidupnya karena wanita itu ada tepat disaat dia merasa sendiri di dunia ini.  
Lalu, ada satu lagi makhluk yang punya nasib sama dengan Jet. Wanita ini berada satu kantor dengannya. Dia berprofesi sebagai Senior Fashion Editor di Majalah Mascara. Teresia nama wanita yang bersedia saja menjadi kekasih gelap seorang pria yang sudah punya tunangan. Dia sangat mencintai sang kekasih sampai tak peduli dengan status yang dia sandang, selingkuhan.
“Tapi, bukannya itu memang justru resikonya? Saat memutuskan buat jatuh cinta, lo juga membuka kemungkinan cinta kelak akan berbalik nyakitin lo…” – Sesa – hlm. 373

Jet dan Tere bukan sahabat, meskipun mereka senasib. Jet selalu bisa membuat Tere naik darah karena keusilannya. Suatu hari, karena terjebak di dalam lift kantor mereka, Tere dan Jet mulai membuka rahasia masing-masing yang tak pernah diketahui sahabat mereka sekalipun. Mulai saat itu, rasa tertarik mulai tumbuh di hati mereka.
Namun, tidak mudah untuk lepas dari pasangan mereka terdahulu. Rasa takut dikhianati dan rasa tak percaya yang sering kali menguasai hati, membuat Tere dan Jet harus berjuang membuktikan bahwa cinta mereka tak seperti cinta di masa lalu.
“Dibanding situasi penuh drama begini, gue lebih milih cinta yang sederhana. Yang membosankan. I like boring.” – Tere – hlm. 102

Good Fight, novel paling tebal untuk bulan ini. Novel yang sejak awal udah bikin senyum. Bayangin aja gimana reaksi kita pas lihat seorang cewek mencoba bra langsung. Ups, jangan dibayangin dia naked ya. Maksudnya, dia nyobanya di atas pakaian yang dia kenakan di tempat terbuka. Trus muncul cowok usil yang menilai pantas apa tidak bra itu dipakai si cewek.
Duh, kalau aku jadi si cewek, udah lari karena malu, deh. Lah, ini mereka malah berantem. Dan, dengan usilnya, si cowok bilang kalau si cewek lebih pantas nggak pakai bra. Hiaah… itu namanya pelecehan seksual. Namun, ini yang bikin seru, berantemnya si Tere sama Jet.
Sebenarnya, Jet itu bukan benci Tere. Tapi, Jet itu merasa Tere lucu kalau diusilin. Salah sendiri jadi cewek gampang marah. Situasi itu malah dimanfaatkan Jet buat hiburan. Jet bukan cowok jahat, kok. Dia baik banget malah. Buktinya, saat ada seseorang yang – secara nggak normal – nembak dia, dia nggak langsung menghina. Dia menolak baik-baik. Trus Jet itu punya badan bagus, dan tato dia kayaknya makin bikin Jet seksi, deh.
Kalau Tere lebih diciptakan sebagai cewek perfeksionis, entah itu dikerjaan ataupun di fashion yang melekat di tubuhnya. Dia juga tipe cewek manja kalau sama pacarnya. Tere ini baik sama temannya, lho. Dia bukan tipe orang yang nge-judge teman ataupun orang lain yang memilih hidup berbeda.
Di novel ini juga diceritakan sekelumit kisah cinta antar sesama jenis. Hubungan cinta antar pelakunya juga lebih bebas. Free seks sebelum nikah tampak slow aja gitu di novel ini. Khas metropolitan saat ini, khas luar negeri sih kayaknya, ya. Yah, nggak papa lah, ya. Karena pada dasarnya, itulah mereka saat ini.  Memang nggak semua punya hidup sebebas itu, tapi pasti ada, kan.
Trus, bagian paling seru di novel ini adalah bagian awal sampai sebelum hubungan Tere dan Jet ketahuan Nadine. Setelah itu, alurnya agak muter-muter. Untung ada aja adegan gokil yang bikin mood kembali oke.
Endingnya, duh…jujur aja, ya… aku mengharapkan penyelesaian yang lebih dari pada itu. Kenapa harus bikin jet…. Tiiittttit…… *takut spoiler* untuk bikin Tere sadar perasaan dia. Maunya yang beda gitu. Tapi, ya sudahlah, ya. Aku cukup terhibur, kok. Apalagi sama kekonyolan si Sesa sama Rian. Ah, jadi ingat adegan Rian memergoki Jet dan Tere ciuman. Itu bikin *ngek*, dan geleng-geleng saat bayanginnya. Duh, susahnya punya hubungan sama teman kantor. Kayaknya perlu mikir kalau harus punya hubungan di tempat kerja. Enakan orang luar aja.
Untuk rating, 2,8 cukup kali, ya?
Oh iya, cover barunya lebih seksi, lho. Tapi, aku punyanya yang lama.

Thursday, July 23, 2015

Menengok Sempurnanya Alam Trenggalek - Jawa Timur



 
Liburan lebaran pada ngumpul, nih. Kayaknya rugi banget kalau nggak dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Jadi, kita memilih salah satu destinasi – dari beberapa destinasi yang sudah direncanakan sejak entah kapan itu.
Trenggalek, Jawa Timur, kita memilihnya untuk liburan kali ini. Trenggalek yang berbatasan dengan Tulungagung, Ponorogo dan Pacitan ini punya cukup banyak tempat wisata. Yang paling jadul sih Pantai Prigi. Tapi, yang lagi nge-hit itu Mangrove di Kecamatan Watulimo.
Karena motto kita adalah mengeksplor apa yang belum banyak dikenal orang, dan mampir kalau ada waktu di tempat yang udah terkenal tapi belum pernah ke sana – Jadi, kita memilih Pantai Pelang sebagai sasaran utama.
Pelang letaknya di perbatasan Pacitan-Trenggalek. Jadi, kalau dari Ngawi cukup jauh juga. Rencananya, mau lewat Pacitan aja. Ternyata driver-nya kali ini oke banget. GPS nya pakai ilmu kebatinan kali, ya? Bermodal Innova tahun 2010 (kayaknya), kita melalui jalan makadam, masuk ke desa-desa pinggiran antara Ponorogo-Trenggalek, melewati hutan pinus, dan sawah, trus tiba-tiba aja gitu udah masuk Trenggalek. Jangan tanya rute, aku nggak hafal. 
Dari Ponorogo – Trenggalek, kita cuma sesekali doang menikmati Jalan halus. Lainnya, berbatu, rusak menanjak, menikung, dan menurun. Kalau pakai hartop si aku slow aja. Ini mobil zemox yang dirancang untuk jalanan yang halus, mulus, atau paling nggak tak sek-esktim ini, lah.
Hampir memasuki Pelang, kita disambut jalan halus. Plang petunjuk Pantai Pelang juga sudah dibuat sangat jelas di pertigaan menuju ke wisata pantai.
Sampai di sana, nggak terlalu banyak juga pengunjungnya. Oh iya, tiket masuk ke sini Rp. 8.000 per orang. Di sini sudah ada warung makan, mushola dan kamar mandi umum. Jadi, aman.
Di Pelang, ada dua tempat wisata yang bisa kita nikmati. Ada air terjun yang perlu berjalan -/+ 300-an meter. Air terjunnya cukup bagus, airnya seger dan jernih, bebatuannya nggak licin tapi harus tetap hati-hati. Sayang, sampai di sana pengunjungnya cukup banyak. Beberapa malah asyik mandi dan main air. Jadi susah banget ngambil foto yang bagus. Duh, andaikan bisa datang lebih pagi mungkin masih bisa menikmatinya sendiri.
Puas di air terjunnya, kita ke Pantai. Di sini nggak terlalu banyak pengunjungnya. Dan, yang mantap banget adalah, spot incaran nggak ada orang. Nikmat benar, dah! Sayangnya, tulisan peringatan untuk tidak mandi di pantai ditulis besar-besar di atas batu yang akan lebih indah jika tulisan itu nggak ditorehkan di sana. Kenapa nggak pakai papan aja, sih? Merusak!
Pasirnya memang nggak putih ala Pantai Pacitan, tapi pantainya masih bersih banget. Cukup alami meski sudah mulai dikenal, tapi nggak terlalu terkenal.
Setelah selesai di Pelang, kita lanjutkan perjalanan. Eh, tapi ke mana Pak Sopir? Duh, di telepon nggak nyambung pula. IM3 di sini tak ada jaringan. Telkomsel oke, cuma nomor Pak Supir yang pakai AS tetap tak bisa dihubungin. Kenapa pakai petak umpet segala, coba!
Hampir setengah jam pencarian di mulai. Ternyata dia ada di daerah air terjun. Nyari batu akik kali ya. Soalnya di sana ada juga yang jualan batu akik.
Pantai yang kedua ini jalannya 3 kali lebih ekstrim dari pada jalan saat berangkat menuju Pantai Pelang dari Ponorogo – Trenggalek. Jalannya cuma cukup dilewati satu mobil. Nggak cuma rusak, menanjak, turun, dan menikung, juga agak berbatu. Beberapa kali terdengar suara bagian bawah mobil beradu dengan tanah. Rasanya, perutku mules mikirin jalan, kasian sama driver-nya dan kasihan juga sama mobilnya. Itu mobil pasti nangis meratung-raung dan memar-memar kalau dia itu diibartakan makhluk hidup.
Menuju ke sini nggak ada plang sama sekali. Kita juga harus turun melewati bawah sungai karena jembatannya rusak. Harus rajin tanya. Untung orang Trenggalek baik dan ramah semua. Karena bantuan mereka, Pantai Ngulungwetan ditemukan. Pantai ini kayak pantai pribadi. Sepi, nggak ada pengunjungnya. Cuma ada satu mobil yang ternyata dari Sumatra. Mereka ternyata penduduk sini yang lagi mudik.

Kaki udah nggak sabar buat ke Pantai. Dan, walah… ombak yang cukup tenang dengan udara panas yang nggak terasa karena sejuknya angin laut, membuat kita makin semangat menjelajahinya.
Di pantai ini, kalau kita jalan ke kanan, kita akan ketemu sungai yang menghubungkan dengan persawahan, dan sungai yang airnya cukup jernih. Ada beberapa orang yang mandi di sana, mereka orang-orang Sumatra yang mudik itu. Ada kebo juga, mereka juga asyik mandi.
Di pantai ini damai banget, dah! Bersih pula. Kalau ke sini sore-sore sambil bakar ikan enak kali, ya? Tapi, nggak ada ikan. Cuma kita dapat kelapa muda langsung dipetikin dari pohonnya. Ada bapak-bapak yang lagi gembala kebo. Mereka mau dibayar dua puluh ribu untuk delapan kelapa.
Duduk nyantai di samping mobil setelah eksplor sungai yang dekat di persawahan, sambil minum kelapa muda itu romantis, sayang cuma kurang satu… *mode nyengir*
Di tengah sungai tadi sebenarnya ada tanah agak bidang yang di atasnya dihiasi rumput hijau seger. Pengin ke sana, tapi perlu perjuangan, sih. Soalnya kalau lewat air, ya pasti basah. Trus mandi di mana? Di sini jauh dari pemukiman. Nggak ada toilet, apalagi listrik. Jadi, dari pada bingung mandi di mana, nggak usah basah-basahan aja dah!
Lanjut lagi ke destinasi berikutnya. Mangrove, nyari yang ijo-ijo. Tapi, aku nggak yakin waktu cukup. Apalagi mobil harus nge-ban. Untungnya pas di jalan yang datar dan nggak sempit.
Menuju mangrove, sepanjang perjalanan kita disuguhi laut, dan nampak beberapa pantai yang memanggil, tapi kita nggak mampir. Ngejar waktu. Lagi-lagi jalanan yang harus di lalui juga nggak mulus. Sama persis seperti gambaran di atas tadi. Bisa dibilang, 85% jalan yang aku lalui rusak berat dan nggak layak dilalui mobil.
Kayaknya, Pemerintah Trenggalek kurang peduli sama tempat wisatanya, apalagi jalannya. Please, perbaikin dong! Yang Pacitan aja meskipun jalan sempit, tapi cukup mulus. Padahal jalan-jalan di sana juga sebelas-dua belas medannya sama Trenggalek.
O’ho… tebakanku benar. Kita sampai di kota Trenggaleknya jam empat sore. Pas di perempatan pasar – aduh, nggak tahu itu pasar apa – yang jelas dari perempatan lampu merah kita belok kiri menuju Kecamatan Watulimo. Kalau mau ke Mangrove masih 35 km. Perlu waktu sekitar 1,5 jam dan paling-paling sampai sana cuma ketemu gelap doang. Jadi, kita memutuskan untuk balik arah, pulang aja! Jalan ke Mangrove cukup mulus. So, kapan-kapan sajalah ke sananya.
Kita memang cuma dua pantai yang berhasil dieksplor. Masalahnya, waktu habis diperjalanan karena medannya yang kelewat ganas. Kalau di gunung kidul, jalan yang dilalui nggak seganas ini. Bisa dibilang, ini yang paling ekstrim selama aku menjelajahi tempat-tempat wisata yang masih alami.
Tips menjelajahi Trenggalek di daerah seperti yang aku singgahi ini adalah jangan bawa Avanza, Terios, Rush, apalagi Jass atau Yaris atau sejenisnya.
Paling enak bawa Hartop, atau minimal bawa mobil yang bisa diajak off road kayak Fortuner, Pajero dan sejenisnya, tapi jangan Katana…hahaha…
Bawa motor Matic juga jangan. Mending bawa Motor trail atau minimal motor-motor Megapro, atau sejenisnya. Pilih driver yang sudah jago, ini wajib! Bawa minum yang banyak, karena jarang ada yang jualan. Bahan bakar harus full karena entah kapan kalian ketemu tukang jualan bensin. Paling enak memang bawa makanan sendiri.
Musim kemarau begini, kalau bawa motor, paling enak pakai masker, karena debunya ke mana-mana. Oh, paling aman juga ke sini pas musim kemarau. Beberapa jalan kalau musim hujan bakalan lebih susah dilalui.
Jangan takut bertanya, dari pada kamu nyasar. Karena pengalamanku kemarin, beberapa kali aku nyasar karena nggak ada petunjuk arah sama sekali. Bermodalah peta, dan browsing semaksimal mungkin sebelum berangkat. Hafalin daerah-daerah yang pengin dituju. Karena saat bertanya, beberapa orang nggak akan tahu nama pantai atau tempat wisata yang kamu tuju. Tapi, kalau ditanya daerahnya kadang mereka lebih tahu.
Oke, itulah kisahku dibalik eksplor Trenggalek. Aku masih penasaran juga sama beberapa pantainya sih. Apalagi Tulungaggung yang pantai barunya menjamur tapi medannya nggak kalah ekstim sama Trenggalek. Pejuangan menuju pantai-pantai Tulungagung juga kayak naik gunung, katanya mau ke Pantai Banyu Mulok dan Pantai Coro perlu tenaga besar dua kali lipat dari pada naik ke Gunung Kelud. Nah, lho, aku sih oke, tapi ada dua yang nggak sanggup.
Dan, ini foto-foto keseruan kita : 
1. Air Terjun Pelang



 2.  Pantai Pelang

 














 3. Pantai Ngulungwetan














Jadi, mau kemana kita selanjutnya? Tunggu saja nanti! Ups, yang eksplor Gunung Kelud juga belum sempat di posting. Masih ingat, sih. Mungkin lain kali bakal aku ceritakan buat kalian.

Monday, July 20, 2015

Resensi – EVERGREEN “Mencari arti menghargai”



Penulis : Prisca Primasari
Penerbit : Grasindo
Genre : Romance
Kategori : Adult, Memory, Kuliner, Jepang, Family Drama
Terbit : 2013
Tebal : 203 hlm
ISBN : 978 – 602 – 251 – 086 – 4
Harga : Rp. 43.000
“Pendapatku mengenai kenangan manis selalu berbeda dengan kalian. Kalian ingin selalu mengingat kenangan manis, sedangkan aku malah ingin melupakannya. Bahkan aku berharap kenangan itu tidak pernah ada. Dengan begitu, tidak ada yang perlu kutangisi.” – Kari – hlm. 41

Rachel Yumeko River “Rachel’ atau dalam ejakan Jepang, lebih sering dipanggil Rashieru. Dia adalah mantan editor di sebuah penerbit besar. Dia dipecat karena sebuah kesalahan yang menurut Rachel bukanlah masalah besar.
Berhari-hari dia sibuk mengeluh pada teman-temannya dan memecahkan gelas di apartemennya. Karena terlalu jenuh dengan keluahannya, teman-teman Rachel menjauh. Dia merasa dibuang, diabaikan, merasa tak lagi punya teman untuk bicara. Dan, saat itulah seorang kenalannya merekomendasikan sebuah tempat yang mungkin bisa sedikit meringankan beban hatinya, Kafe Evergreen.
“Persahabatan itu aneh. Sering kali kau tidak menyadari betapa kau sangat membutuhkan sahabatmu. Kau baru menyadarinya ketika mereka melupakanmu. Kau beruntung. Walaupun sahabat-sahabatmu kini menjauh, paling tidak mereka masih mengingatmu.” – Kari – hlm. 83

Evergreen mengingatkan Rachel pada rumah. Pemiliknya, Yuya, adalah orang yang memiliki pengalaman buruk tentang bunuh diri. Saat itu, dia melihat wajah Rachel yang tampak berantakan, persis orang putus asa dan ingin bunuh diri.
Untuk menyelamatkan Rachel dari niatnya bunuh diri, Yuya mengajaknya bergabung di Evergreen. Tentu saja Rachel menolaknya. Pekerjaan menjadi pelayan bukanlah tipikal Rachel. Namun, Yuya bukan orang yang mudah menyerah. Akhirnya, Rachel menyerah dan menurut. Padahal, Rachel sama sekali tak tahu apapun tentang dapur.
Di Evergreen Rachel belajar tentang keluarga, cinta, persahabatan, kehidupan, arti menghargai dan memaafkan. Dia bertemu dengan orang-orang yang selalu tersenyum dengan tulus padahal hidup mereka tak secerah senyuman mereka.
“Memaafkan. Sesuatu yang sulit diberikan. Padahal dengan melakukan itu, berarti kita menyelamatkan hati kita sendiri. Pernahkah kau mendengar, bahwa ketika kau memaafkan seseorang, kau membuka lagi pintu rumah yang sebelumnya kau tutup rapat-rapat, yang telah membuat dirimu terperangkap dan kehabisan napas. Ketika kau memaafkan, kau pun bisa bernapas lagi. Dan Hidup.” – Ibu Rachel – hlm. 118

Tak hanya Rachel yang punya masalah dengan hidupnya. Mereka, para anggota Evergreen juga punya masalah. Mungkin, lebih berat berpuluh-puluh kali dari Rachel. Tapi, mereka tetap tersenyum.
“Kau jangan terkejut ya Ojosan. Orang-orang di kedai ini memiliki keselitan yang mungkin tidak dialami orang lain. Tapi kami selalu berusaha untuk tersenyum. Demi semua yang kami cintai.” – Yuya – hlm. 132

Evergreen, novel kedua Prisca Primasari yang aku baca setelah Paris STPC. Novel ini seperti novel yang mengajarkan kita tentang arti kenangan, memaafkan, mengargai, persahabatan, kasih sayang, dan masih banyak lagi hal-hal positif yang penulis ingin sampaikan. Benar-benar novel yang penuh dengan ajaran moral.
Awal novel ini kurang bisa menarik nafsu membacaku. Apalagi dengan pilihan font dan ukurannya yang kurang sesuai. Pilihan font-nya membuat mata lelah. Ukurannya juga kurang besar.
Tapi, aku bertemu banyak sekali teka-teki di novel ini. Mulai dari apa masalah yang membuat Rachel dipecat? Lalu, siapa Toshi, dan kenapa dia tak lagi bekerja di Evergreen? Kenapa ayah Toshi dan Fumio pergi? Dan ada beberapa lagi yang akhirnya terpecahkan semua di akhir cerita.
“Pernahkah kau membayangkan hidup di dalam lukisan, Aniki? Menyendiri di sana? Hanya ada kau, landmark terkenal, dan bulir salju atau cerry blossoms?” – Toshi – hlm. 56

Di novel ini, aku merasa bukan Rachel saja yang menjadi tokoh utama. Ada Fumio yang juga punya bagian cukup banyak. Dia hadir dengan masalahnya yang lebih buruk dari Rachel, tentang ayahnya dan adiknya.
Karakter yang paling menarik menurutku karakter Yuya. Si cowok yang matanya selalu ber-eyeliner hitam ini punya kebiasaan membaca Ninja Hattori. Dia selalu apa adanya dan kadang bisa sangat lucu. Cara menyelesaikan masalah juga lebih santai.
Sedangkan Fumio, aku menangkap karakter kuat dan tabah meskipun pundaknya sudah sangat berat menanggung beban hidup. Dia selalu bisa tersenyum meskipun hatinya pedih setiap mengingat Toshi – adiknya – perlahan mulai melupakan kenangannya satu persatu.
“Kau tidak akan kehilangan orang yang kau sayangi kecuali kau melupakannya. Aku akan berusaha untuk tidak melupakan semua yang kucintai. Hati seseorang jauh lebih kuat dari otaknya. Penyakit ini hanya menyerang otakku, bukan hatiku…” – Toshi – hlm. 139

Alur novel ini terasa sedang-sedang saja. Pilihan diksi juga sudah oke. Tapi, untuk diksi di Bahasa Jepangnya, aku kurang paham. Ada dua sebuatan untuk ayah di novel ini. Kalau Rachel memanggil ayahnya dengan Otoosan, sedangkan Fumio dan Toshi memanggil ayahnya dengan sebutan Oyaji. Adakah perbedaan kasta di panggilan itu? Atau ini hanya sekedar panggilan, seperti di Indonesia ada yang memanggil bapak, ayah, atau papa? Begitukah?
Kebersamaan Evergreen sangat terasa setiap gathering yang selalu meminta anggotanya bergantian untuk bercerita tentang kenangan mereka. Dan, kenangan itulah yang kadang membuka hati pembaca untuk belajar tentang hidup.
Rating novel ini 2,6 dari 5 bintang.

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos