Penulis : Yosephine Monica
Penerbit : Haru
Genre : Romance
Kategori : Young Adult
Terbit : Juni 2014
Tebal : 330 hlm
ISBN : 978 – 602 – 7742 – 35 – 2
Harga : Rp. 54.000
“Dari 500 murid di high school ini – dan 267 siswa – kenapa harus dia yang dipilih Amelia Collins
sebagai orang yang disukai?” – hlm. 90
Benjamin Miller – Ben,
dia tahu selama ini ada seorang gadis bernama Amelia Collins – Amy, yang
diam-diam menyukainya. Bahkan, dia sudah seperti penguntit di hidup Ben. Dan,
Ben membenci kenyataan itu, termasuk membenci keberadaan Amy.
“Dia menyukaimu meskipun dia tidak
pernah bicara padamu. Kupikir cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta
yang paling sedih.” –
Margareth – hlm. 157
Amelia Collins, cewek
yang sebenarnya tidak suka disorot publik. Dia lebih nyaman menjadi sosok kasat
mata. Tapi, karena tulisannya, kisah-kisah yang dia tulis di blog dan tak
pernah punya ending – cukup disukai,
membuat Amy mulai dikenal di sekolahnya. Dan, inilah alasan pertama kenapa Ben
akhirnya dengan senang hati mau membagi waktunya untuk Amy. Karena Ben merasa
Amy bisa menjadi guru menulisnya.
“Inilah kenapa Amy tidak pernah suka
menjadi sorotan publik. Orang-orang hanya akan mengingat kesalahanmu dan menghitungnya
dengan jari, sementara kebaikan yang kau perbuat akan dilupakan karena tak
cukup banyak jari yang tersisa untuk menghitungnya.” – hlm. 231
Ben sejak dulu menyukai
menulis. Tapi, mimpinya terhenti dan berpindah ke sepak bola. Karena, orang-orang
selalu menertawainya jika mendengar Ben punya impian menjadi seorang penulis. Namun, Amy berbeda, dia tidak menertawai Ben,
saat Ben bilang ingin menjadi penulis.
Amy termasuk gadis yang
beruntung. Meskipun dia mengidap penyakit kanker, tapi dia punya keluarga dan
sahabat yang menyayanginya. Dia juga beruntung karena punya kesempatan untuk
dekat dengan orang yang sudah membuatnya jatuh cinta.
Meskipun, pada awalnya
Ben harus dipaksa Lana untuk sekedar menjenguk Amy. Sekarang, dia dengan senang
hati mengunjungi gadis itu. Meskipun, dia tetap merasa tidak nyaman berada di
dekatnya.
“…tidak semua orang memiliki
kesempatan untuk mengubah hidup orang lain menjadi sedikit lebih baik. Tapi,
sekarang, ini ada di tangan kita. Jadi, kenapa kita tidak mencobanya dulu?” – Lana – hlm. 41
Namun, karena Ben merasa
Amy bisa memahaminya, bahkan Ben bisa menceritakan apapun – yang tidak dia ceritakan
pada orang lain – kepada Amy, membuat Ben merasa begitu menikmati
pertemuan-pertemuan mereka.
“Mungkin, mungkin saja, Amelia adalah
versi lain dari diriku.” – Ben – hlm. 125
Ben punya
sebuah masalah. Tidak, Ben punya banyak masalah. Dia merasa tidak mempunyai
tempat di dalam keluarganya. Dia merasa tak ada yang bisa memahaminya. Dia juga
merasa tak bisa mempercayai siapapun.
“Kau pikir kau punya banyak masalah. Dan
aku yakin, 75%-nya hanya ada di kepalamu – sebenarnya masalah itu tak pernah
ada. Kadang, kaulah yang membuat hidupmu menderita, Bung” – Timothy – hlm. 168
Tanpa sadar, kehadiran
Amy merubah semuanya. Dan, perlahan posisi gadis yang dulu tak pernah
diharapkan keberadaannya oleh Ben itu, sekarang menjadi sangat penting. Tapi,
tidak semudah itu untuk membuat Ben jatuh cinta pada Amy dan merubah status
mereka.
Hubungan mereka bukan
hubungan romansa. Hubungan mereka adalah hubungan pertemanan.
Benarkah?
Mungkin waktu yang akan
membantu kita untuk menemukan jawabannya.
“Ketika kau mencintai seseorang dan
kau tahu dia akan pergi, kau pasti menghabiskan sisa waktu kalian bersama-sama.
Tapi, tetap saja, setelah dia pergi, kau pasti berpikir semuanya tak pernah
cukup, Lana.” – Ben –
hlm. 295
People Like Us, novel pemenang 100 Days of Romance yang diadakan oleh
Penerbit Haru.
Jujur, saat mengetahui
novel ini ada unsur pemerannya sakit parah dan punya kemungkinan 75% ending-nya ‘mati’, aku nggak terlalu
tertarik sama novel ini. Tapi, karena rating Goodread cukup bagus, aku mencoba
membacanya.
“…bahwa pada kenyataannya, hidup
itulah yang paling sulit, matilah yang gampang – segampang kita tidur.” – Margareth – hlm. 164
Saat bertemu prolog dan
bab pertamanya, aku cukup suka dan membuat aku semakin ingin menuju bab
selanjutnya. Lalu, membaca bagian awal di halaman pertama setiap bab baru, yang
seperti narasi seorang moderator – aku semakin suka dengan cara bercerita
penulisnya.
Tapi, aku mendapati satu
atau dua kalimat panjang yang terkadang membuat aku harus berhenti membaca,
lalu membacanya lagi sampai – em, mungkin – tiga kali. Dan berakhir dengan, aku
cukup bingung dengan maksud kalimat itu. Kemudian, aku memutuskan untuk membaca
terus tanpa peduli lagi dengan kalimat tersebut.
Yang tadi itu pendapat
aku waktu membacanya kurang lebih seperempat bagian cerita. Karena, setelah
itu, aku merasa sangat menikmat novel ini. Bahkan, aku dibuat jatuh cinta pada
kisah Ben dan Amy yang sebenarnya sangat biasa, tapi malah begitu bermakna.
“Hidup takkan sesulit itu jika kau
melakukannya dengan sepenuh hati. Dan mati itu tidak akan gampang jika kau tahu
kau punya sesuatu yang layak untuk dipertahankan dalam hidup.” – Ben – hlm. 164
Setelah seperempat bagian
itu, tak ada lagi kalimat yang bikin bingung, bagaimana cara penulis
mendekatkan Amy dan Ben terasa sangat normal, alasan kenapa Ben akhirnya mau
berinteraksi lebih intens juga tampak bisa diterima secara logika. Lalu, aku
juga suka dengan pilihan diksi yang digunakan penulis, dan adegan-adegan yang
terjadi antara Ben dan Amy.
Aku suka karakter Ben.
Meskipun bukan karakter cowok yang baik dan menyenangkan, tapi Ben bisa tampil
cukup menarik perhatian – perhatianku maksudnya. Dia yang menyebalkan, yang
tampak lebih seperti cowok egois dan mau menang sendiri, juga bermulut pedas –
malah membuat novel ini punya irama yang nggak monoton. Dia bagian lain yang
mengimbangi karakter Amy yang lebih terkesan datar dan tenang.
“Jika kamu bisa berhenti membenci
seseorang, kau juga bisa berhenti menyukai seseorang.” – Ben – hlm. 220
Di novel ini, Amy
dikisahkan suka menguntit Ben. Tapi, adegan seperti penguntit hampir tak banyak
dieksplor. Aku hanya merasa Amy tampak berlebihan memperhatikan Ben, dan
menurutku yang dilakukan Amy sangat wajar untuk porsi orang yang sedang jatuh
cinta, apalagi pada sikon cinta diam-diam.
Amy juga tidak punya
obsesi yang menggila. Dia sadar, Ben akan selalu jauh dari jangkauannya. Dan,
Amy selalu bisa menerima itu. So, aku
berpendapat, Amy tak pantas dijuluki penguntit. Dia tak semenakutkan itu.
“Mungkin kau takkan pernah jadi yang
terbaik. Tapi setidaknya kau mau berusaha untuk menjadi lebih baik. “ – Amy – hlm. 221
Novel ini mengangkat
tentang seseorang yang mengidap kanker. Bagusnya, penulis tidak menjadikan
kanker sebagai sebuah masalah besar yang mendominasi konflik ceritanya. Konflik
tetap lebih fokus pada cinta diam-diam Amy pada Ben. Kemudian, proses bagaimana
akhirnya mereka bisa semakin dekat.
Yah, meskipun kanker yang
diidap Amy cukup punya peran juga dalam mengajarkan pembaca tentang bagaimana
kita harus menghadapi sebuah kematian yang sudah di depan mata. Juga, bagaimana
kita menyikapi rasa kehilangan.
“Begitulah manusia. Mereka punya
terlalu banyak hal yang ingin dikatakan pada seseorang yang telah melangkah
pergi.” – hlm. 300
Bagusnya lagi, meskipun
Amy tahu umurnya tak akan panjang, penulis tidak membentuk Amy menjadi cewek
yang putus asa, lalu tampak terpuruk pada keadaannya. Dia tetap menjadi Amy
seperti dulu. Walaupun, tetap ada yang berubah pada dirinya.
Intinya, aku sudah
berburuk sangka pada novel ini. Beberapa analisaku di awal membaca novel People
Like Us tampak salah. Aku pikir, Ben akan pura-pura cinta pada Amy karena Amy
sakit. Atau, dia akhirnya jatuh cinta pada Amy, lalu mereka menghabiskan
waktu-waktu terakhir Amy dengan segala hal yang romantis, dan hal-hal klise
lain.
Untungnya, semua itu
salah. Aku sangat mensyukuri penulis punya cara tersendiri untuk membuat kisah
Ben dan Amy tampak sangat berbeda. Minimnya hal-hal romantis di novel ini dan
tak adanya kisah berurai air mata yang berlebihan seperti pada novel yang
mengangkat kisah tokoh yang sakit parah pada umumnya – lagi-lagi sangat aku
syukuri. Ehm, tapi…bagian akhirnya cukup menguras emosi, sih.
Ending-nya, aku nggak bisa berkomentar banyak. Dari 1 – 10, aku menilai
ending-nya dengan nilai 9,5. Keren! Yap, erg…nggak menyangka banget yang
bercerita adalah dia.
Kesimpulannya, aku
menyukai…sangat menyukai novel ini. Dan aku rasa, juri-juri dalam lomba 100
Days of Romance tak salah menobatkannya sebagai pemenang. Ah, satu lagi. Novel
ini juga memberiku banyak ilmu menulis novel.
Ben adalah murid Amy di
bidang menulis – bisa dikatakan begitu. Dan, saat Amy mengomentari tulisan Ben,
saat itu aku ikut belajar bersama mereka. Bonus yang mengasyikan.
Rating novel ini 4,5 dari
5 bintang.
No comments:
Post a Comment