Saturday, January 4, 2014

Resensi - PENJAJA CERITA CINTA “Tengoklah Hidupmu Seperti Apa!”


Penulis : @edi_akhiles
Penerbi : Divapress
Tahun Terbit : Desember 2013
Tebal Buku : 192 hlm
ISBN : 978-602-255-397-7
Harga : Rp. 35.000

Pemahaman hidup, arti sebuah cinta, makna kasih sayang ibu, kenangan dan pengorbanan, semua dikemas dalam satu toples bening bermerk Penjaja Cerita Cinta yang berisi lima belas cerita pendek dan satu tips menulis.
Penjaja Cerita Cinta menghadirkan kisah yang berbeda, dengan cerpen pembuka berjudul Penjaja Cerita Cinta, judul yang sama dengan judul buku.
Cerpen ini terasa diistimewakan dari pada cerpen lainnya, karena selain jumlah halaman yang lebih banyak, cerpen ini seperti menggabungkan beberapa kisah dan beberapa konflik dalam satu cerita, namun tema besar yang diangkat sama, yaitu tentang menunggu dan kesetiaan.
Bercerita tentang seorang penjaja cerita cinta, sebuah pekerjaan yang tak biasa, harus mendatangi sebuah rumah yang kesan pertama seperti rumah dalam setting horror. Kemudian muncul Nyonya Sri yang punya aura ningrat, setelah itu mengalirlah kisah Senja yang setia pada senja untuk seseorang yang bermata senja.
 
“Jika hati telah menyatu dengan dirinya sendiri, tiadalah arti selainnya termasuk dirinya sendiri…” – Penjaja Cerita Cinta – Hlm. 25

Terlihat sekali penulis memang sangat kaya diksi, pandai mempermainkan kata, juga sangat lihai membuat pembaca penasaran dari semua loncatan-loncatan yang dibuatnya.
Sayangnya, alur yang terasa lamban membuat sedikit bosan, dengan beberapa diksi yang terkadang malah terasa tak pas untuk jenis dialognya membuat sedikit mengganggu konsentrasi, adanya adegan xxx yang tiba-tiba merusak feel cerita, juga tak ada tanda batas yang mencirikan perpindahan antara cerita dengan tokoh Senja dan cerita dengan tokoh Nyonya Sri dan Penjaja Cerita Cinta membuat saya tak siap menghadapi perubahan cerita. Akan lebih baik jika diberi tanda atau sedikit narasi sebelum perubahan.
Untungnya, ending dibuat dengan rasa yang tak mudah dilupakan. Simpel namun mengena.
Cerita berlanjut dengan cerpen berjudul Love is Ketek dan Cinta yang Tak Berkata-kata. Keduanya bercerita tentang sepasang kekasih. Bedanya, Love is Ketek diceritakan dengan gaya ABG yang ringan dan kocak, sedangkan Cinta yang Tak Berkata-kata lebih terkesan serius.
Love is Ketek adalah cerpen jawara dalam buku ini. Karena dia muncul sebagai penetralisir galau karena syahdunya cerita Penjaja Cerita Cinta. Gaya bahasanya yang simpel dengan umpatan “Oke, fine!”dan “Lo gue end!”-nya dengan nama tokoh deso-nya sangat menghibur, dan konfliknya tentang bulu ketek benar-benar non-mainstream.
“..Juara banget jorokin cowok ke sudut-sudut terjal “rasa bersalah”, untuk kemudian merasa senang bahagia, lalu punya senjata untuk di kemudian hari kembali mengangkat masalah lama, yang intinya adalah untuk “kemenangan dia”. Kayak main bola aja sih cinta di tangan cewek begituan…” – Love Is Ketek – hlm. 51

Dijual Murah Surga Seisinya, Cinta Cantik, dan Tamparan Tuhan. Adegan pembuka dalam ketiga cerpen ini membuat saya tak mendapatkan gambaran awal, mau di bawa kemana cerita ini? Namun, selangkah demi selangkah, dengan cara bercerita yang luwes saya menemukan titik temu apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis lewat cerpennya. Dan, yah…pesannya sangat tersampaikan, sampai-sampai saya harus berhenti sebentar untuk kontropeksi diri.
Dijual Murah Surga Seiisinya adalah favorit saya nomor dua.
Tak Tunggu Balimu, Cerita Sebuah Kemaluan, dan Cerpen Penutup Si X, Si X and God. Cerpen yang mengulas tentang pandangan hidup, cara berfikir, dan logika. Ketiganya diceritakan dengan penuturan yang asik. Meski di cerpen Cerita Sebuah Kemaluan penulis bercerita dengan sangat berani, namun masuk akal.
Si X, Si X and God diceritakan dengan teknik bercerita hanya berupa percakapan antara dua tokohnya. Ini terasa seperti obrolan seru dua orang di warung kopi namun maknanya benar-benar dalam. Sedangkan Tak Tunggu Balimu diceritakan dengan sudut pandang orang pertama yang mengusung aura menggebu-gebu, namun perlahan luruh pada kenyataan yang mulai dia temukan.
Saya suka ketiganya karena ada kesan nyeleneh yang asik namun tetap berbobot.
Secangkir Kopi untuk Tuhan dan Abah, I love You. Menurut saya ini dua cerita tentang perjalanan hidup penulis. Dan, saya menaruh perhatian lebih pada Secangkir Kopi untuk Tuhan, karena apa yang penulis rasakan kurang lebih saya juga merasakannya, karena saya juga melihat apa yang diceritakan penulis. Bedanya, saya tidak melihat langsung, saya hanya melihatnya di layar kaca televisi saja.
Ini tentang kematian seseorang karena apa yang dicintainya. Kematian mendadak dan membuat hampir semua orang yang mengenalnya terkejut sekaligus sangat berduka, termasuk saya.
Dari dua kisah ini saya mengangguk, mengatakan iya, benar sekali. Dari kisah Secangkir Kopi untuk Tuhan saya menangkap pesan, apa yang dikehendaki Tuhan adalah apa yang akan terjadi, kita hanya harus ikhlas menjalankannya. Sedangkan dari Abah, I love You, saya diberi petuah, tak ada orang tua yang berniat buruk pada anaknya. Mereka hanya ingin kita berhasil. Semua yang mereka lakukan adalah apa yang mereka pikir baik untuk hidup kita.

Munyuk! dan Lengkingan Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya. Keduanya tentang cinta dan ketulusan. Bedanya, Munyuk! Adalah ketulusan mencintai dari seorang istri yang sekalipun dikatai ‘Munyuk!’ tetap mendoakan suamiya. Sedangkan, Lengkingan Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya adalah cinta seorang ibu yang tak lekang oleh waktu. Keduanya benar-benar menyayat hati.
Menggambar Tubuh Mama dan Aku Bukan Batu!! Lagi-lagi cerpen dengan adegan awal yang tak bisa memberiku gambaran tentang apa yang ingin disampaikan. Untuk cerpen Menggambar Tubuh Mama yang kisahnya cukup ekstrim ini mulai bisa saya tangkap maknanya di pertengahan cerita. Namun, cerpen Aku Bukan Batu!! Baru bisa saya ambil maknanya di akhir cerita. Dua cerita ini seperti teka-teki, dan jawabannya benar-benar sulit ditemukan dengan sekali baca.
Kelemahan dari buku ini adalah dalam penggunaan diksi yang sebagian terasa tak cocok jika dipadu dalam kalimat tersebut. Seperti : “…Tanpa sempat memekik, kepala mama dalam hitungan milidetik bak laju M-1 VR46 bergelinding jatuh, pas berhenti di sela sepasang kaki kecil itu.” – Menggambar Tubuh Mama – Hlm. 73. 
Setting suasana mencekam yang dihadirkan tiba-tiba lenyap karena M-1 VR46 muncul tiba-tiba.
Kadang, diksi yang dipilih membuat cerita terasa tak lazim dan membuat saya kesulitan untuk memahami maknanya. Adanya beberapa kalimat tidak baku juga sering muncul dalam narasi. Seperti nyonthong di halaman 109, macem-macem hal. 109, haru-membiru halaman 110.
Ada beberapa penggunaan tanda baca yang kurang pas. Seperti dalam kalimat : Kayak main bola aja sih cinta di tangan cewek begituan…” – Love Is Ketek – hlm. 51
Di akhir kalimat menggunakan tiga titik. Saya rasa lebih tepat menggunakan tanda seru atau satu titik saja.
Juga ada beberapa kalimat yang boros kata. Menggunakan kata ‘ya’ terlalu sering juga terasa kurang enak dibaca.
Dalam Cerpen Menggambar Tubuh Mama saya kebingungan menerjemahkan setting tempatnya. Awalnya Penulis menuturkan si anak mencoret-coret triplek di kamar mamanya. Namun, di akhir cerita penulis menyebutkan suasana setting tempatnya “Desau angin melengking berderik-derik penuh luka dan tangis di seantero penjuru gurun pasir itu.” Hlm. 80
Jadi, dimana sebenarnya setting tempatnya? Di kamar mama di tengah gurun pasir, itu gambaranku. Mestinya penulis lebih memperjelas setting tempat kejadiannya, apakah ini di Indonesia atau di luar negeri.
Meski ada kelemahan, buku ini punya banyak sekali kelebihan, diantaranya kejutan-kejutan yang dihadirkan setiap cerita, teknik dan gaya menulis yang bervariasi. Meski tadi saya mengkritik penggunaan diksinya, namun saya harus aku saya mendapatkan banyak diksi baru untuk menambah pembendaharaan diksi saya yang masih itu-itu saja.
Buku ini juga tidak hanya bercerita, dia mampu meninggalkan bekas di akhirnya. Bagi saya, buku ini seperti berdakwa, dan memberi kita nasihat. Dan itulah kelebihan terbesarnya. Karena di masa sekarang ini, dimana banyak sekali hadir buku-buku baru dengan berbagai genre, tak banyak yang bisa menuntun pembacanya untuk menemukan nilai kehidupan.
Untuk nilainya, saya memberikan 3,3 dari 5 bintang.
Dan terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih pada Pak Edi atas buku Penjaja Cerita Cinta gratis dan bertanda tangan dari beliau. Di tunggu karya selanjutnya. Sukses, Pak! []


Tulisan ini diikutkan Indonesian Romance Reading Challenge 2014

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos