Penulis : Morra Quatro
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2013
Halaman : vi + 294 hlm
Harga : Rp. 43.000
ISBN : 979-780-635-9
Kenangan adalah kenangan.
Dia pergi, entah kembali, entah tidak, tetap saja menempati tempat tersendiri.
Sekalipun kau berusaha mengusirnya jauh, dia tak akan benar-benar pergi. Dan
kenangan kadang kala akan membuat hidupmu bergejolak suatu saat, di waktu yang
tak akan kau kira.
Sama seperti kenangan
yang menghantui Nalia. Kenangan tentang cintanya pada seorang pria Fakultas
Teknik UGM, pria berkaca mata jangkung dengan rambut kriting yang terlihat
sangat tenang, Nino.
“…. Bahwa saat-saat istimewa dalam
hidup kita selalu datang tanpa peringatan. Seringnya kita tidak sadar ada
saat-saat dalam hidup yang kemudian akan menjadi momen yang spesial, meskipun
itu sedang berlangsung. Seringnya kita justru menyadarinya setelah semua
berlalu.” – Nalia – Hal. 52
Pria itulah yang menarik
perhatian Nalia lewat tawanya, pria itu juga yang menemaninya dalam remang
malam kampus UGM, dia juga yang meminjamkan punggungnya untuk Nalia bersembunyi
saat dia ketakutan pada bayangan kuda yang dikiranya hantu, dan pria itulah
yang membuatnya tak bisa melepaskan kenangan sekalipun sudah bertahun-tahun
lalu, sekalipun hatinya sudah tertambat pada seorang pria yang akan menikahinya
dalam hitungan minggu, Faris.
Notasi adalah novel yang
tidak biasa. Dia tidak hanya bercerita tentan cinta, namun Notasi bercerita
tentang sejarah dan kenangan pahit bangsa ini dan juga kenangan untuk Nalia
sendiri.
“Kami mahasiswa Indonesia, bersumpah,
bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa Indonesia, bersumpah,
berbangsa satu, bangsa yang penuh keadilan. Kami mahasiswa Indonesia,
bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.” Hal. 194
Novel ini menggunakan sudut
pandang orang pertama, yaitu Nalia. Dia memulai kisahnya dengan menarasikan
perjalanannya menapaki UGM kembali bersama Faris, melewati kampusnya dan kampus
Teknik dimana dia biasa melihat bayangan sosok Nino yang sangat dirindukannya.
Perlahan, dia memulai
cerita tentang masa lalunya, mulai dari pertama kali bertemu Nino, perjuangan
para anak-anak Teknik untuk mempertahankan Radio Jawara yang susah payah mereka
dirikan, obrolan yang tak ingin diakhiri di warung Tiada Tara, penyerangan di event
yang diselenggarakan anak-anak Fakultas Kedokteran Gigi, demonstrasi
besar-besaran di era orde baru yang menuntut Soeharto turun, hilangnya Nino, dan
surat-surat Nino untuk Nalia yang tak terbalas.
Sempuna, tanpa cela, tak
membosankan dan sangat menyentuh. Sekalipun, aku masih menemukan beberapa typo
yang tak aku hiraukan karena sempurnanya cerita ini.
Karakter Nino yang
misterius membuat pembaca tak ingin melepaskan kisah ini begitu saja. Dia dan Nalia mampu menyajikan sebuah ikatan yang tak berlebihan dengan cinta-cinta
seperti biasa.
“Nino itu padi yang sedang tumbuh.
Dan padi yang sedang tumbuh tidak berisik. Seperti itulah dia.” –Nalia – Hal. 100
“Karena ia laki-laki yang baik. Yang
pintar, yang menjaga kebenaran janji dan kata-katanya. Aku tahu aku bisa
percaya padanya.” – Nalia – Hal. 121
Nalia sendiri mencirikan
seorang wanita yang gigih, tangguh dan pintar. Dia juga setia kawan dan punya
cara mencintai yang tak diumbar-umbar namun terasa begitu dalam.
Karakter Ve, wanita yang
juga mencintai Nino tak kalah memikat. Dia menghadirkan sosok wanita yang tak
kenal takut, setia kawan, dan aku juga salut dengan caranya mencintai Nino.
Novel ini mempunyai
banyak sekali tokoh. Tapi, aku tidak dibuat bingung. Mereka seperti memang
harus ada dan menjalankan fungsinya masing-masing. Bahkan, karakter mereka
tetap konsisten sampai akhir cerita.
Tema yang diangkatnya pun
termasuk berani. Politik, menguak beberapa kebobrokan Indonesia di bidang sumber
daya alam. Menceritakan kisah pilu penghancuran orde baru yang membuat
Indonesia porak poranda. Semuanya, aku benar-benar salut pada penulis satu ini.
Notasi, sangat tidak
mengecewakan. Penuh teladan, membuat kita ingat kalau kita harus punya rasa
nasionalisme untuk mempertahankan Indonesia yang sudah susah payah di bangun
dan diperjuangkan dengan titik darah penghabisan, tidak hanya oleh para
pahlawan sebelum kemerdekaan, namun juga pahlawan orde baru yang tak kenal
takut.
Endingnya membuat aku
yang sudah sesak merasakan fakta-fakta yang bergulir, semakin sesak dengan
kenyataan yang harus di terima di epilog. Tidak apa-apa, inilah hidup, kita
harus belajar menerima apapun yang sudah ditakdirkan.
Dan covernya sangat
elegan, membuat kita tahu kalau novel ini akan mengajak kita kembali ke masa
lalu.
Settingnya, Jogjakarta.
Lekat, legit dan memikat. Detail dan sangat rinci. Namun, kadang aku malah
sedikit kesulitan untuk membayangkannya. Dan, jika pembaca adalah alumni atau
masih mahasiswa di kampus UGM, pasti ada nilai plus plus tersendiri saat
membacanya. Jadi ingin menunjukkan pada kakak sepupuku yang alumni kampus ini.
Bicara tentang rating,
aku tak segan untuk menyematkan nilai sempurna pada novel ini, 5 dari 5
bintang.
No comments:
Post a Comment