Tulisan ini diikutsertakan
dalam Giveaway @benzbara_
Sepenggal kisah tentang
cinta yang kualami di awal musim hujan tujuh tahun yang lalu─kembali kuingat. Tentang dia yang
senyumnya kubalas dengan wajah bingung dan otak yang berputar mengingat, siapa dia? Apa aku pernah mengenalnya?
Nihil! Bayangan dia sebelum tersenyum itu tak pernah terlintas di otakku. Tapi, bukannya kami satu sekolah? Kenapa aku
tak merasa pernah bertemu dia? Aneh!
Kupikir dia tak akan
tersenyum lagi padaku setelah kubalas senyumnya dengan cara yang tidak
semestinya. Nyatanya, dia kembali tersenyum, menyapaku dan kami bicara untuk
pertama kali.
“Guru matematika kamu Bu
Sulis ‘kan?”
Lucu, kalimat pertamanya
yang tak penting itu tetap mengisi memoriku. Lucunya lagi, rasa jantungku yang
berdegub terulang kembali saat aku menuliskannya.
Hanya anggukan dan
tatapanku yang entah ke mana arahnya─mewakili mulutku untuk bicara.
“Jadi ulangan nggak?” Dan
senyum itu kembali terbayang dalam imajiku.
“Nggak.” Mungkin caraku
yang tak mau menatap matanya membuat dia tak nyaman, atau mungkin sedikit
tersinggung, karena setelah itu dia berkata, “Oke, makasih ya!” lalu pergi.
Waktu berjalan sesuai
kehendak Yang Kuasa. Dan aku percaya, kehendak-Nya juga akhirnya aku bisa
membalas cintanya, dan tersenyum seperti seharusnya.
Sayang, saat kakiku sudah
melangkah begitu dekat dengannya, kenyataan menarikku mundur, menjauhkan dia
dariku, memojokkanku dan menghancurkan seketika tanpa ampun. Semua serangan
terjadi dalam satu waktu. Dan, aku sulit menerima semua ini.
Dia harus pergi dengan
terpaksa, dan aku harus rela melepasnya.
Dia tak akan sama seperti
dulu, dia hak orang lain yang dulu pernah dicintainya.
Wanita itu hamil, kata orang-orang.
Anak dalam kandungan wanita itu benih darinya, ucap beberapa orang.
Dia menjawab, tanpa perlu
aku bertanya. “Aku salah, maaf! Dia memang anakku.”
Aku mengangguk sambil
bergumam, “He’em.” Hanya begitu.
Tak perlu banyak kata,
aku pergi meninggalkan dia lebih dulu untuk menyembunyikan kehancuranku.
Apakah aku masih harus
berdiri di sampingnya? Apakah aku masih patut tetap mempertahankannya meski
mataku tahu kenyataannya, meski aku masih sangat terlalu cinta padanya?
Tidak!
Bayi itu perlu ayahnya,
wanita itu butuh pegangan tangannya. Aku memang masih butuh cintanya, namun aku
mundur.
Sakit? Jelas!
Seperti dilempat ke atas,
sedikit meningitip surga, membuat hidupku melayang dan berbunga-bunga. Lalu aku
dihempaskan ke bawah, sedikit menyentuh neraka, ditampar berulang kali dan
hancur berkeping-keping.
Dia sempat menemuiku
sehari sebelum ijab qabul. Mengatakan maaf sekali lagi. Setelah menatapku dan
menyentuh pundakku yang lunglai, dia benar-benar pergi dari hidupku, selamanya.
Sebenarnya, aku juga
ingin minta maaf. Maaf, aku tak bisa tersenyum padanya, menguatkan dia yang
mungkin sama hancurnya denganku. Maaf sudah menambah bebannya. Dan sekalipun
aku tahu semua salahnya, tapi aku tak menyalahkannya. Aku tahu dia pria baik,
karena dengan tegas dia jujur padaku dan dia mau bertanggung jawab. Aku bangga
padanya, tapi aku belum bisa berhenti menangisinya.
Seperti itulah hidup,
saat manisnya datang, dia akan melenakan kita. Memberi rasa manis semanis cake
vanila. Namun, hidup bisa berubah kapan saja. Manis itu hilang seketika berubah
rasa seperti pahitnya obat namun sama sekali tidak menyembuhkan. []
No comments:
Post a Comment