Friday, December 13, 2013

Resensi – YAMANIWA “Harga sebuah kesetiaan”





Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : November 2013
Tebal : 224 halaman
ISBN : 978-602-03-0017-7
Harga : Rp. 45.000
Niwa, perempuan pemilik “Niwatasari Modistre” harus mengalami karma akibat kesalahannya sepuluh tahun yang lalu. Bermula dari perkenalannya dengan seorang siswa SMK bernama Yamadipati,  mereka merajut cinta yang makin lama terasa sempurna. Sayangnya, saat Niwa ditinggal Yama ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan, Niwa tak mampu menjaga hatinya. Seorang mahasiswa PPL di sekolahnya yang bernama Arvin membuat Niwa membutakan hati nuraninya dan memilih mendua dari Yama.
Hasilnya, selama sepuluh tahun Niwa dihantui bayangan tatapan terluka Yama saat memergokinya selingkuh darinya, membuat dia menanggung rasa bersalah yang tak kunjung hilang. Sebagai pelampiasan, Niwa sering kali bergonta ganti pacar untuk menghilangkan perasaannya pada Yama. Ya, Niwa sadar, dia masih sangat mencintai pria itu sampai sekarang.
Dan suatu hari, pria itu muncul di depan matanya, menyerahi tugas membuatkan kebaya pengantin untuk calon istrinya. Kebimbangan muncul di hati Niwa. Sempat dia ragu untuk menyetujui permintaan itu karena dia belum bisa terima akhirnya Yama menikah dengan wanita lain. Niwa mengalami siksaan batin tak terkira. Namun, Niwa menerima tugas itu, dia menganggap apa yang terjadi padanya saat ini sebagai hukuman dari masa lalunya.
“Mengapa setiap mendengar suara lembut calon istri Yama hatiku terasa sakit? Padahal kelihatannya dia perempuan yang baik. Dia tidak memarahi atau memaki-maki. Tapi mengapa efeknya jadi menyedihkan seperti ini?” – Niwa – Hlm. 180


Yamaniwa adalah salah satu finalis lomba novel Amore terbitan Gramedia. Bersampul orange bergambar seorang penjahit wanita yang menyulam gambar hati, tampak manis dan langsung menyiratkan salah satu keunikannya, latar belakang pekerjaan salah satu tokohnya.
Dengan prolog yang membuat penasaran, penulis berhasil menarik minat pembaca untuk membuka bab berikutnya yang ternyata tak kalah punya daya tarik karena gaya bahasa dan cara bernarasi penulisnya yang khas sekali cara bertutur masyarakat Semarang, latar tempat dalam novel ini. Inilah yang membuat novel Yamaniwa terasa segar dan berbeda.
Belakangan ini, banyak bermunculan novel dengan rasa metropolis yang kental. Bahasa yang digunakan adalah bahasa gaul seperti gue elo atau kamu aku yang yang diucapkan dengan nada bicara masyarakat kota besar seperti Jakarta. Namun, Yamaniwa punya gaya bahasa yang berbeda. Gaya bahasa inilah yang kadang membuat saya tertawa, karena saya orang jawa yang sering bertemu istilah-istilah seperti ‘ngekek dalam bahasa Indonesianya tertawa terbahak’, ‘pasrah bongkokan atau bahasa Indonesianya terima jadi’, ‘Jos gandos atau bagus sekali’, ‘sak karepmu atau terserah kamu saja’, dan masih banyak lagi istilah-istilah seperti itu. Sayangnya, istilah-istilah di atas tidak dilengkapi footnote. Padahal, tidak semua pembaca tahu arti istilah-istilah tersebut.
Yamaniwa mempunyai alur cerita cepat yang dimulai dengan prolog pertemuan kembali Niwa dengan Yama. Bab berikutnya bercerita dengan setting waktu mundur saat Yama dan Niwa masih SMK, lalu dilanjut dengan setting maju sampai dengan ending.
Ada tiga hal yang membuat saya menghitung waktu. Pertama, masalah pemakaian ponsel saat Niwa SMK. Yang menjadi pertanyaan, jika sekarang tahun 2013, sesuai tahun terbit novel ini, dan dikatakan kejadian perselingkuhan terjadi sepuluh tahun lalu, maka perselingkuhan itu terjadi tahun 2003. Maka, satu tahun yang lalu saat Niwa bertemu dengan Yama pertama kali adalah tahun 2002, dan saat itulah ada adegan Niwa menelfon Era dengan ponselnya di halaman 11.
Mengingat masa itu, bukannya ponsel belum seumum sekarang? Rasanya agak aneh siswa SMK dari keluarga biasa-biasa saja seperti Niwa dan Era sudah pegang ponsel sendiri. Sepengetahuan saya, untuk daerah Madiun, Ngawi, Magetan yang standar kotanya hampir sama dengan Semarang, ponsel di jaman tersebut masih terasa sangat mewah, hanya orang-orang tertentu yang memilikinya
Yang kedua, masalah Citraland. Saya meragukan tahun 2002 tempat pembelanjaan ini sudah berdiri. Dan saat saya cek di google, ternyata Citraland sudah berdiri sejak tahun 1993.
Satu lagi, penggunaan kata ‘Lebay’ yang saya temukan di halaman 12. Setelah menanyakan pada beberapa orang, kata ini juga masih asing di tahun 2002.
Tema yang dipilih, tentang perselingkuhan memang tak lagi baru. Namun, cara pengemasan cerita tetap terasa segar karena konfliknya berhasil dibangun sangat hidup dengan cara penyelesaian yang menarik. Disinilah bagian yang menunjukkan mutu penulis, dan saya tak segan-segan memberikan jempol dua untuknya.
Karakter-karakter tokohnyapun berhasil menempati fungsinya masing-masing. Tampak hidup dan membawa cirinya sendiri-sendiri. Mereka terasa konsisten sampai akhir. Dan aku sangat suka dengan karakter Yama yang terlihat tenang, sabar juga punya pembawaan mengayomi terhadap wanita.
Untuk karakter Niwa dapat dilihat dari cara dia menghadapi masalahnya. Buat saya, Niwa wanita yang kuat. Saya juga tidak menganggap Niwa wanita tidak setia. Jika Niwa memang wanita yang gampangan, dia dengan mudah melupakan cintanya untuk Yama dan tak lagi ambil pusing dengan kesalahan di masa lalunya.
Untuk saya pribadi, novel Yamaniwa mengajarkan banyak hal, tidak hanya tentang pentingnya saling setia, tapi juga bagaimana cara menghadapi sebuah rasa bersalah yang menggelayuti hati. Yamaniwa juga memberitahu saya, sebuah kesalahan sebesar apapun tetap harus mendapat kesempatan kedua, karena dia yang bersalah mungkin saja benar-benar menyesalinya. Mungkin saja kesalahan itu membuat dia berubah lebih baik. Seperti Agas yang menghianati Era. Setelah melakukan kesalahan itu, Agas berubah menjadi pria yang menyadari kesalahannya dan dia berubah menjadi pria yang lebih baik untuk istri dan anak-anaknya.
Juga pada Niwa, setelah menghianati Yama, akhirnya dia sadar, cintanya hanya untuk Yama. Dan Niwa menjadi wanita yang selamanya yakin, Yama adalah satu-satunya penghuni hatinya.
“...hukuman terberat dari orang yang menyakiti perasaan orang lain, apalagi menyakiti orang yang sangat dicintai, justru datang dari diri sendiri.” – Niwa – Hlm. 187

Ending dari novel ini membuat saya gemes. Rasanya ingin sekali tahu setelah Yama berkata, “Niwa…” apa yang selanjutnya terjadi? Tapi, tenang saja. Novel ini diakhiri tanpa rasa menggantung sedikitpun. Semua tuntas diceritakan tanpa ada lagi yang disembunyikan.
Kado Manis dari sang Penulis, spesial bercap jempol dan cap tiga jari
 Akhirnya, saya mempersembahkan 3,7 dari 5 bintang untuk Yamaniwa, novel dengan ciri khas yang mungkin tak bisa anda temukan di novel lainnya. Novel ini saya rekomendasikan bukan hanya untuk pembaca dewasa, namun juga para remaja agar bisa belajar banyak dari kisah Yama dan Niwa, belajar untuk menjadi pasangan yang setia.

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos