Tulisan ini diikutkan dalam
Giveaway #TentangHujan
Cokelat panasku sudah tak lagi beruap.
Dan aku mulai bosan menunggu hujan berhenti untuk mengijinkan aku keluar dari café
ini untuk pulang. Cukup kemarin saja aku melawannya dan berakhir masuk angin.
“Lho, kamu belum pulang?”
Kang Yanto pemilik café ini cukup mengenalku karena setelah kuliah aku selalu
mampir ke tempatnya.
“Belum, kang. Hujan gini,
aku nggak bawa payung lagi!” gerutuku sambil meraih gelas cokelatku yang ternyata benar-benar sudah
dingin. “Beberapa hari ini aku kesel sama hujan, Kang! Kalau nggak bikin aku
masuk angin, dia bikin aku telat pulang.”
Kang Yanto duduk di
depanku. “Al, hujan itu barokah, rezeki, nikmat dari Tuhan. La kok kamu benci. Piye, to!” senyumnya menyembul tulus
untukku.
“Bukan benci, Kang. Cuma
sebel!”
“Yo, sama aja, to!” dia
tertawa. “Al, jangan benci sama hujan. Nanti kamu bisa jatuh cinta gara-gara dia.”
“Idih, Kang Yanto ini sok
melankolis.” Aku malah menertawainya.
“Ya, lihaten sendiri aja kalo gitu!” Dia beranjak dari duduknya. “Itu di
pojokan ada payung, bawa saja. Tapi, besok dibalikin, soalnya itu payung dari
cewek cinta pertama akang!”
“Oke!” Aku segera
beringsung sambil memberesi barang-barangku di atas meja.
Saat aku melangkah keluar
café, dan berusaha membuka payung, Kang Yanto berseru. “Al!” kuputar tubuhku
menatap dirinya. “Akang ketemu cinta akang gara-gara hujan dan saksinya payung itu!” teriaknya. “Semoga
payung itu jadi saksi saat kamu ketemu sama cinta kamu juga!”
Kali ini tubuhku bergetar
karena tawaku yang berderai. Ada-ada saja Kang Yanto ini, masak gara-gara hujan saja aku ketemu cinta aku, sih?!
Tiba-tiba tawaku berhenti. Cinta. Sejak kapan
aku melupakannya? Sejak kapan aku tak lagi peduli pada bayangannya? Apakah
waktu benar-benar menghapusnya dari benakku? Atau dia
memberiku jeda sejenak dan kembali menghantuiku lagi saat aku mengingatnya?
Tanpa aku sadari, aku
sudah berada di halte seberang jalan. Aduh, ceroboh sekali aku menyebrang dengan
konsentrasi lari kesana kemari. Untung aku nggak ketabrak truk.
Aku duduk bersama beberapa orang yang menunggu bus
untuk mengantar kami ke tempat paling nyaman di dunia, rumah. Belum sempat bus
datang, perhatian orang-orang teralihkan pada sebuah mobil yang berhenti di
dekat halte.
“Kenapa itu mobilnya?”
tanya seorang ibu berseragam guru di samping ku. “Apa macet, ya?” dia masih
meneruskan tanyanya yang entah ditujukan kepada siapa.
“Oh, ban depan mobilnya
bocor kayaknya.” Sahut pria berjas yang berdiri di sisi tiang penyangga halte.
“Waduh, kasihan benar!” Seorang bapak tampak tak tega saat
melihat pria pemilik mobil itu hujan-hujanan untuk mengganti ban mobilnya.
Aku dan beberapa orang di sana masih memperhatikan dia yang berjuang sendiri
memperbaiki ban mobilnya. Dia tampak basah kuyup dan kesulitan melepas mur yang
ada di velg nya.
“Dirga bukan, ya?” kataku lirih. “Kok kayak dia,
ya?”
Ah, bukan! Ini pasti
gara-gara Kang Yanto yang ngingetin aku sama cinta. Sekarang, aku jadi
terbayang-bayang Dirga cinta pertamaku yang nggak pernah bisa benar-benar aku
hapus dari ingatan dan hatiku.
Aku sudah tertunduk dan sibuk
dengan fikiranku saat pria itu berdiri di antara kami, para penunggu bus.
“Maaf, ada yang tahu
tukang ban terdekat di mana, ya?” tanyanya. “Ban mobil saya bocor, dan
ternyata serepnya juga kempes.”
“Oh, ada mas! Mas jalan saja dua ratus meter, nanti
ada tukang ban di ujung pertigaan itu.” Seorang siswa SMA mencoba membantunya. Dan aku sibuk
memastikan kalau dia benar-benar Dirga.
“Kamu Dirga, ya?” tanyaku
lirih. Tapi, aku sudah mulai yakin.
Dia berpaling padaku. “Iya.” Dia tampak terkejut. “Kamu?” dia tampak berusaha mengingat-ingat.
Aku tersenyum. Ternyata
selama ini dia tak tahu aku. Ya jelas, aku tak pernah berani muncul di
depannya. Aku hanya sibuk menatapnya dari jauh dan tak berani terang-terangan
bilang suka sama dia.
“Aku…” tiba-tiba saja
jantungku berdetak dengan kencang. “Aku Alisa, dulu anak SMA Bima kelas tiga
IPA dua.”
“Oh,” dia tersenyum. “Berarti
kelas kita bersebelahan, ya?” Auranya masih sama seperti dulu, memabukkan.
Aku mengangguk. “Mau aku
antar ke tukang ban pakai payungku?”
“Nggak usah, deh! Aku
sudah terlanjur basah kuyup juga.”
“Tapi, kalau kamu
kehujanan lagi, bisa sakit lho!”
“Apa nggak ngerepotin?”
Aku menggeleng. “Nggak papa!”
Setelah dia mengiyakan aku beranjak dan kami berjalan berdua dengan payung
Kang Yanto. Untung payung itu cukup lebar untuk kami berdua. Walaupun aku masih
agak kehujanan karena aku tak berani terlalu dekat dengannya. Aku takut dia
mendengar detak jantungku yang bertalu.
Kami berjalan dalam diam. Namun sebuah sentuhan membuatku terkejut.
Ternyata tangannya yang menarikku mendekat ke arahnya.
“Kaget, ya?” tanyanya hanya kujawab dengan senyum. “Kalau kamu menjauh
begitu, kamu yang akan basah.” Senyumnya, Tuhan! Aku meleleh dibuatnya.
Aku masih menatap wajah itu saat dia berseru, “Itu dia tukang bannya!”
Entah reflek atau apa, dia mencengkram tangan kananku dengan tangan kirinya
yang tadi memegang payung. Dan entah sejak kapan pegangan payung itu berpindah
ke tangan kanannya.
Sekarang aku duduk di kursi penumpang mobilnya. Setelah ban mobilnya beres,
dia mengantarkanku pulang. Saat di perjalanan kami mengobrol. Aku tanya dia
dimana sekarang, padahal aku tahu dia kuliah di Jakarta ambil jurusan
kedokteran di UI. Otakku ini tiba-tiba lebih bodoh dari biasanya. Yang keluar
dari mulutku rasanya kok terdengar kalau aku senang sekali bertemu sama dia, dan
kalau aku masih suka sama dia. Aku benar-benar takut dia tahu selama ini aku
memendam cinta untuknya.
Dia menurunkanku dengan selamat di depan rumah. Karena saat itu hujan sudah
reda, aku melupakan payung yang kuletakkan di dekat kakiku karena basah. Dan
aku merasa bersalah sama Kang Yanto yang terlihat terkejut karena aku
menghilangkan payungnya. Aku minta maaf berkali-kali sekalipun dia bilang nggak
papa. Aku tetap merasa nggak enak. Aku akan berusaha mencari payung itu.
Tiga hari berlalu setelah kejadian itu, dan sekarang hujan kembali jatuh
dengan derasnya. Lagi-lagi aku ceroboh tidak membawa payung di tasku. Aduh,
tandanya aku harus rela jenuh duduk di cafe Kang Yanto sampai hujan agak reda.
“Kang!” panggilanku membuatnya menghentikan langkah.
“Apa, Al?” jawabnya terlihat khawatir. “Kalau mau pinjam payung, aku sudah
nggak punya payung. Payung yang kamu pinjam itu ya payungku satu-satunya.”
“Maaf, ya Kang!”
Dia duduk di depanku. “Sudahlah, nggak apa-apa!” dia tersenyum.
“Kang,” kutatap dia. “Doa akang kemarin terkabul.”
“Doa yang mana?”
“Doa biar aku ketemu cinta aku.”
“Karena hujan?” senyumnya makin lebar. Aku menggangguk. “Karena
hujan kamu ketemu cinta kamu?”
“Mungkin! Yang jelas, hujan itu mempertemukanku pada cinta pertamaku.” Aku
menunduk.
“Masak, to?”
Aku menggangguk.
“Kamu masih cinta sama dia?”
Aku menggangguk lagi. “Saat satu payung dengannya, aku hampir pingsan
karena tak kuat menahan debaran jantungku, kang.”
“Kalau kamu ketemu dia lagi, apa kamu akan mengatakan kalau kamu cinta sama
dia?”
Aku diam.
“Al, cuma beberapa orang di dunia ini yang bisa membaca fikiran manusia,
salah satunya Deddy Corbuzier. Dan aku rasa cinta pertama kamu itu nggak punya
kemampuan seperti itu. Kalau kamu diam saja, mana dia tahu perasaan kamu! Ya, to?”
“Aku nggak berani, Kang! Takut ditolak!”
“Ditolak itu masalah belakangan. Kamu mau terus mengharapkan dia selama
hidupmu karena mencintainya diam-diam?” Aku menggeleng. “Nah, kalau kamu
ngomong sama dia, setidaknya kamu tahu dia juga suka atau tidak sama kamu.
Kalau jawabannya memang nggak, berarti kamu memang nggak berjodoh sama dia, dan
kamu nggak akan mengharap cinta dia lagi.”
Kang Yanto benar.
“Jadi?” dia menatapku.
“Jadi, aku akan bilang sama dia, kang!”
Kang Yanto tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, yang itu bukan cinta
pertamamu?” Kalimat Kang Yanto membuat aku mengikuti tatapannya.
Aku melihat Dirga berjalan dari mobilnya ke arah halte di seberang jalan
menggunakan payung Kang Yanto.
“Iya, kang. Iya itu dia!” aku langsung berdiri dari dudukku dan bergerak
cepat keluar cafe. Rasanya aku lupa kalau saat itu hujan.
“Al!” panggilan Kang Yanto menghentikanku yang hampir bergerak menyebrangi
jalan. Kulihat wajah ramah itu. “Jangan lupa bilang perasaanmu padanya!”
teriaknya.
Aku menggangguk dan menyebrangi jalan saat mulai aman.
“Dirga!” dia terkejut melihat aku yang basah kuyup.
“Hai! Kok hujan-hujanan?”
“Kalau nggak hujan-hujanan kamu bakalan pergi sebelum aku sempat ngomong
sama kamu.” Jawabku dengan nafas ngos-ngosan.
“Ya?” dia tampak bingung.
Aku merasakan tak ada butiran air hujan menyerangku lagi. Ternyata Dirga
memayungiku, kami berada dalam satu payung lagi seperti tiga hari yang lalu.
“Tentang hatiku sejak empat tahun yang lalu.” Dia menatapku penasaran, tapi
dia memilih mendengarkan. Kutelan ludahku untuk mengobati kegugupanku. “Aku...”
Kupejamkan mataku tak berani melihat reaksinya. “Aku suka sama kamu!” kuucapkan
kalimat itu lantang dan cepat. Tak terdengar jawaban apapun. Terpaksa kubuka
mataku, dan pasrah dengan apa yang akan aku lihat.
Senyuman, yang aku lihat senyuman bukan wajah kaget dan takut.
“Aku tahu!” dia mengeluarkan buku harian warna merah dari dalam saku
jaketnya. “Kamu nggak cuma ninggalin payung. Tapi, kamu juga menjatuhkan buku
ini di mobilku.”
Aku meringis. Pantas dia jawab ‘aku tahu’. Aduh, cerobohku benar-benar
sudah parah. “Dan...” dia kembali tersenyum. “Karena hujan kemarin, karena
bertemu denganmu lagi, karena tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat
menyentuh tanganmu, karena kamu membuat dadaku hangat saat menatapmu, akhirnya
hatiku jatuh di sini!” dia menunjuk dadaku. “Aku jatuh cinta sama kamu!”
Kututup mulutku dengan kedua telapak tanganku, dan mataku tak henti
menatapnya.
Suara tepuk tangan di belakangnya menyadarkanku dan dia bahwa halte sore
itu ternyata masih ramai seperti biasanya. Kami menatap wajah-wajah ikut bahagia
di depan kami sambil mengucapkan terima kasih karena menerima doa dan selamat
bertubi-tubi.
“Daaarrrrr” suara petir yang tiba-tiba, membuatku terkejut dan tanpa sadar
memeluk pinggangnya.
“Kamu nggak papa?” bisiknya sambil mengusap lenganku. Kulepas pelukanku,
dan beringsut agak menjauh darinya. Dia tersenyum. “Kuantar kamu pulang.” Dia menarikku
mendekat padanya dan kami berjalan menuju mobilnya masih dinaungi payung yang
dipegangnya.
“Antar aku ke cafe di depan itu, ya? Barangku masih tertinggal di sana.” Kutunjuk
cafe Kang Yanto.
Dia menggangguk sambil memutar stir.
Ku kembalikan payung cinta milik Kang Yanto sambil berbisik, “Payungnya
dahsyat, Kang!” Dia tertawa.
“Selamat, yo Al!” dia balas
berbisik sebelum aku pergi bersama cintaku.
Hujan, terima kasih! Walaupun kamu membuatku telat pulang, ternyata kamulah
yang mempertemukan hati yang telat bertemu.
***
No comments:
Post a Comment