Pengarang : Robin Wijaya
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2013
Tebal : viii + 400 hlm
ISBN : 979-780-670-7
Harga : Rp. 55.000
Tiga sahabat dari latar
belakang hidup yang berbeda, dipertemukan oleh takdir yang sama, sama-sama
harus menjadi pejuang untuk kampungnya, Kampung Bayah.
Permusuhan yang mendarah
daging, akhirnya dianggap sebagai tradisi yang turun temurun, membuat Amri, Chandra
dan Bima sering kali harus berurusan dengan anak-anak Kampung Anyar. Kampung
yang menjadi musuh bebuyutan Kampung Bayah sejak bertahun-tahun lamanya.
Sebenarnya, tak ada yang
tahu apa yang membuat mereka bertarung. Hanya sebuah titel ‘harga diri’ yang membuat
mereka tak peduli pada apapun, termasuk nyawa yang hanya tunggal dianugrahkan
Tuhan untuk umatNya.
“Kalau waktu tak pernah berhenti, maka cara kita untuk
bertahan adalah dengan terus bergerak.” – Kalimat Bima dikutip oleh Chandra –
Hlm. 23
“Kalau tak pernah ada solusi, maka cara kita bertahan dari
masalah adalah dengan mencoba mengurangi.” – Amri – Hlm. 23
Amri adalah anak seorang
polisi. Dia dididik dengan keras. Namun, Amri malah terbentuk sebagai seorang
pemberontak. Membuat dia harus rela tersisih dari hati ayahnya, dan selalu
diperlakukan tidak adil.
Chandra, si sipit
keturunan Tionghoa yang selalu mendapatkan bullying
dari teman-teman sekolahnya, bahkan hampir setiap hari dia menjadi korban palak
para preman. Kejadian-kejadian tak menyenangkan itulah yang membuatnya menyesal
dilahirkan sebagai orang keturunan.
Dan Bima, si pengambil
keutusan di antara mereka. Si pemberani yang tidak kenal takut. Dia hanya
tinggal dengan kakaknya yang transgender, Arya, karena meski orang tuanya masih
lengkap, namun mereka seperti tak pernah dianggap ada.
VERSUS, seperti kebanyakan pendapat pembaca, novel ini punya nafas berbeda jika
di banding karya Robin Wijaya yang lain. Dalam Roma, aku menemukan banyak
kalimat romantis. Namun, dalam Versus gaya bahasanya benar-benar khas lelaki.
Keras, penuh semangat namun kadang melankolis.
Yang menjadi poin paling
menarik adalah temanya, perbedaan dan fenomena paradoks yang terus berakar
dalam lingkungan masyarakat.
“Paradoks, kita berkutat
dalam lingkaan yang nggak punya ujung.” – Chandra – hlm. 21
“…Sepanjang peraturan
berubah, sepanjang itu pula bentuk pelanggaran juga berubah. Polanya masih sama
cuma caranya aja yang berbeda.” – Chandra – hlm. 20
Dengan sudut padang yang
dibagi dalam tiga fragmen, Amri, Chandra dan Bima mempunya bagian masing-masing
untuk langsung bercerita. Membuat pembaca bisa menyelami perbedaan karakter,
dan lebih dalam mengetahui perasaan di antara mereka.
Sayangnya, kadang penulis
terlalu fokus pada jalan pikiran dan penggambaran hidup tokohnya. Inilah yang
membuat alur terasa datar dan membuat aku khawatir semua pertanyaan dalam
benakku tidak terjawab.
Setting novel ini dibagi menjadi 2 bagian, saat sekarang dan flashback ke belakang di tahun 97-an.
Bagian Amri dan Chandra menurutku lebih fokus pada setting tahun 97-an. Dan, Bima lebih punya setting yang berimbang, dengan alur maju mundur yang saling
terkait.
Konflik dalam novel
inipun tak selamanya sama dalam setiap fragmen, namun penyelesaian masalah
antar fragmen lebih sering dituntaskan di fragmen berikutnya. Setiap fragmen
tidak hanya fokus pada tokohnya saja, karakter dan konflik tokoh lainnya ikut
dipaparkan meski tidak gamblang. Bagian inilah yang membuat pembaca penasaran
dengan fragmen lain yang menunggu di belakang.
Untuk konflik dan
karakter dari ketiga tokohnya, aku paling suka tokoh Bima. Dan yang paling
datar menurutku berada di fragmen Chandra. Penggambaran emosi yang sangat
terasa terdapat pada tokoh Amri.
Saat penulis bercerita di
era saat ini, dia begitu cerdik memasukkan fenomena yang sedang terjadi
sekarang, mulai dari acara yang menjual hinaan, banjir, sampai pada kisah
kontrofersi seorang pengacara. Ini juga jadi poin menarik untukku.
Sedikit yang membuat
kecewa, kisah romannya sangat sedikit, bisa dibilang nggak ada. Padahal, aku
ini penggila cerita romance. Tapi, saat aku menemukan banyak sekali nasihat
hidup, aku anggap semua terbayar.
Untuk covernya memang
kurang menggambarkan isinya, namun aku menangkap aura masa lalu yang penuh
kenangan di dalam visualnya. Jadi, bukan masalah besar juga. Dan sejujurnya,
karena covernya aku tertarik dengan novel ini.
Menurutku, novel ini
paling pas direkomendasikan kepada para cowok semua usia yang tak menyukai
kisah cinta sebagai bagian utama novel, atau cowok-cowok yang menggemari
kisah-kisah maskulin. Tapi, bisa juga untuk para cewek yang lebih suka cerita
penuh inspirasi atau kalian yang mencari bacaan berbeda. Yap, novel ini membawa
kisah yang jarang dijadikan fokus utama.
Karena itu aku memberikan
bintang 3,3 dari 5 bintang untuk Versus.
Bermodal 5 ribu perak, jadilah ini dan aku ikutkan kuis |
Tapi, beruntungnya aku di
sms sama Bang Robin Wijaya dan ditawari novel terbarunya. Kenapa tidak? Tak
bakal ditolak!
Dari sini, aku tahu, Bang
Robin tipe orang bertanggung jawab. Padahal, jelas bukan beliau ini yang
harusnya bertanggungjawab, tapi pihak pengiriman barangnya.
Jadi, spesial big thanks buat Bang Robin Wijaya. Ditunggu
karya berikutnya, berharap ada kejutan lain untuk yang akan datang.
Ah, terakhir, ada satu
saran untuk Bang Robin, bikin novel maskulin seperti ini lagi, tapi lekat
dengan aroma cinta dan dunia pria. Sepertinya bakal menarik, deh! []
Kayanya seru, deh. Aku pengen baca :3
ReplyDeleteOh, ini yang hadiah kuis yang harusnya dapet Tokyo itu ya, Kak? Novel satunya lagi apa, Kak? Temenku yang menang kuis itu juga dapet Versus, sama Kata Hati juga :D
Hai Lajeng. Iya...hadiah kuis yang itu hehehehe... Yang satunya novel Harlequin karya Diana Palmer. Bagus juga ini, tapi belum sempat baca. :D
ReplyDeleteMakasih udah berkunjung :)
Harlequin itu novel apa, Kak?
ReplyDeleteHarlequin itu genre, semacam metropop, teenlit tapi dia novel terjemahan yang kisahnya sering kali masuk novel dewasa. Novelnya itu romance banget pokoknya. Salah satu contohnya, karya2 Diana Palmer.
ReplyDelete