"Selalu ada impian yang lebih
besar dari impian lain, kan? Bagimu, impian itu adalah menjadi pembuat film
dokumenter... Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu, jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita
inginkan." – Haru Enomoto – hlm. 250
Rayyi, mahasiswa di
Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Dia terlalu kecewa saat
film dokumentasinya dikalahkan si liliput, mahasiswa dari Jepang, Haru Enomoto
dalam festival film dokumenter berskala nasional yang diadakan Greenpeace.
Saat melihat film buatan
Haru, Rayyi terlalu enggan mengakui bahwa film sakura itu menyentuhnya. Baginya,
filmnya lebih bermutu. Karena kekalahannya itu juga dia selalu memandang Haru
dengan sebal. Tapi, ternyata kehadiran Haru Enomoto merubah hidupnya.
“Hai, Haru.”
“Hem?”
“Apa arti sakura dalam filmmu?”
“Suteki
da ne? Kono raifu.” – Rayyi dan Haru –
hlm. 251
Dari film dokumenter
dengan tokoh Haru yang dia serahkan untuk tugas mata kuliah Samuel Hardi, si sutradara
film dokumenter terbaik Asia, Rayyi mendapatkan tawaran untuk bekerja di rumah
produksi Samuel Hardi.
Sayang, Rayyi tak bisa
meski dia sangat ingin. Dia tahu diri siapa dia, dan harus jadi apa dia nanti.
Karena dia adalah anak Irianto Karnaya, seorang sineas terkenal Indonesia yang
telah memproduksi banyak film dan sinetron. Ya, Rayyi tidak akan menjadi
pembuat film dokumenter, tapi dia harus membuat film box office dan meneruskan Rumah Produksi Karya Karnaya.
“…, tapi kita tidak bisa menikmati
hidup kalau tidak mengambil resiko, kan?” – Samuel Hardi – hlm. 150
Namun, Haru Enomoto
membuat Rayyi goyah. Haru mendorong Rayyi untuk jujur pada dirinya sendiri dan
memperjuangkan mimpinya. Dibantu oleh Samuel Hardi, Rayyi mengambil sebuah
keputusan terbesar dalam hidupnya.
Windry Ramadhina, penulis
lama yang baru saja aku kenal. Dan ternyata, dia juga seorang editor
novel-novel keren. Pertama membaca tulisannya bukan dari karyanya, tapi dari
tanya jawab di blog Mbak Yuska.
Lalu, dari tanya jawab
itu, aku terpesona dengan cara dia menjawab. Simpel tapi meninggalkan kesan.
Intuisiku mengatakan, aku pasti menyukai gaya menulisnya. Dan saat itulah aku
tertarik pada novel terbarunya, London. Sayang, waktu itu aku tak memenangkan
kuis dari posting tanya jawab itu. Tenang, beberapa bulan kemudian aku membeli
London.
Tapi, bukan London yang
kubaca lebih dulu. Beberapa bulan setelah London terbeli, aku menemukan novel
Montase karya dia juga di forum jual beli novel second secara online.
Bersama beberapa novel lain, novel Montase menjadi penghuni di rak bukuku. Dia
harus bersabar menunggu giliran di baca. Namun, karena sebuah posting review,
entah dulu itu blog siapa, aku memutuskan mengambil Montase dan melupakan novel
yang sebenarnya ingin aku baca.
Hasilnya, sangat tidak
mengecewakan. Windry Ramadhina menciptakan sebuah kehidupan seorang Rayyi dengan
sederhana, mengalir namun menyentuh.
Penulis satu ini sangat
detail menempatkan staretegi konfliknya. Membuat cerita tak terasa datar. Hidup
Rayyipun tampak sangat normal dan tak berlebihan untuk seorang anak dari ayah
yang sangat ambisius. Kesannya, hidup Rayyi benar-benar ada dan tidak cuma
fiksi belaka.
Detail setting yang diambil Windry sangat
detail. Aku suka café di Batavia, aku suka detail studio Samuel Hardi. Aku juga
suka cara dia menyisipkan surat-surat Haru. Ah, aku suka cara Rayyi mencintai
gadis berkepala anginnya. Tunggu, aku juga suka cara dia menilai dan
menggambarkan sosok Haru Enomoto. Aduh, ternyata banyak yang aku suka dari
novel ini, termasuk cara dia menggambarkan film yang mereka buat. Juga
bagaimana penggambaran detail dunia perfilman dokumenter. Semuanya membuatku
jatuh cinta karena memberiku ilmu baru.
Jika bicara tentang
karakter dalam novel ini, bukan Haru atau Rayyi yang punya karakter kuat.
Bagiku, Samuel Hardi ‘lah tokoh menarik di novel ini. Dia hadir menjadi tokoh badboy, angkuh dan menyebalkan. Tapi, entah kenapa dia malah sangat menarik.
Mungkin karena sisi kepeduliannya yang tersembunyi itulah yang membuat dia
lebih bikin penasaran. Pantas si Bev tergila-gila padanya. Mungkin kalau dia di
dunia nyata, aku akan menjadi salah satu penggemarnya juga.
Sedangkan, Rayyi dan Haru
punya peringkat yang sama. Dua-duanya memiliki karakter yang berkebalikan.
Rayyi lebih terkesan pendiam, tampak tenang, dan lebih banyak menyembunyikan
perasaannya. Berbeda dengan Haru, gadis ini begitu ceria, heboh dan sangat
ekspresif.
Menurutku, novel ini
tidak menjadikan cinta sebagai fokus utama. Dia lebih banyak bercerita tentang
mimpi Rayyi, dan mimpi Haru. Namun, kesan cinta mereka tetap melekat dengan
alami. Langkah-langkah menuju pengakuan cinta merekapun tak hingar bingar, tapi
sempurna tersampaikan di hati pembaca. Serius, ini sangat mengharukan!
Covernya. Sepertinya,
cover Montase tidak digambar dengan aplikasi komputer. Tapi, keseluruhan cover
digambar dengan tangan. Termasuk logo Gagasmedia dan tulisannya. Benar nggak,
sih? Bagian ini aku cuma menebak saja! Hehehehe─ Tapi, Ini manis sekali, lho! Serius!
Sekarang sampai juga di
bagian akhir. Untuk ratingnya aku beri 4,3 bintang dari 5 bintang.
I Love you mbak Windry
Ramadhina! Aku benar-benar jatuh cinta dengan gaya menulismu!
jadi pensaran sama bukunya :D
ReplyDeletePengin baca :)
ReplyDeleteHalo Ina dan Deta, iya novel ini memang rekom banget buat semua penyuka novel
ReplyDelete