Juara 1 Lomba Review
Novel For Better
or Worse #ReviewFBoW yang diadakan
Christina Juzwar
dan Bentang Pustaka
Penulis : Christina Juzwar
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : viii + 352 hlm
Terbit : Agustus 2013
ISBN : 978 – 602 -7888 – 56 – 2
Harga : Rp. 59.000
Sebuah pernikahan adalah
awal dari hidup baru, katanya. Memang, sih ada benarnya juga. Setelah
pernikahan banyak hal yang akan terasa baru, baik tanggungjawabnya, maupun
masalah-masalah yang muncul di dalamnya. Apalagi, jika sudah hadir buah hati
yang mulai tumbuh dari bayi dan semakin dewasa. Permasalahan dari dua orang
saja, akan bisa berlipat ganda.
Dan, dalam sebuah
pernikahan, semakin hari permasalahan semakin beragam. Inilah yang membuat
sebuah biduk rumah tangga seperti kapal yang tertiup angin di tengah laut.
Seberapa kuat kapal dan seberapa hebat nahkoda dan para awaknya mempertahankan
kapalnya untuk tetap tegak berdiri mengarungi lautan, menjadi satu-satunya cara
untuk menjawab akhir dari kisah mereka.
“Babe, kita, kan nggak pernah tahu
apa yang ada di depan kita. Semuanya masih misteri. Kalau kita mau tahu, kita
harus melewatinya dulu. Kamu tahu, kan maksudku?” – Martin – hlm. 340
“Trust me, Babe. Awan hitam nggak selalu diam di tempat.
Semua akan segera berlalu.” – Martin – hlm. 340
Sama seperti hubungan
July dan Martin. Bermula dari Martin yang terkena PHK, kemudian Martin yang tak
kunjung mendapat pekerjaan, dan kepanikan July tentang bagaimana masa depan
keluarganya, membuat sebuah perubahan besar untuk keluarga mereka.
Perlahan, Martin berubah,
dia bukan lagi Martin yang dulu, bukan lagi suami yang manis ataupun ayah yang
begitu perhatian dengan kedua buah hati mereka. Martin lebih terkesan nggak mau
tahu tentang anak-anaknya, tak lagi lembut, kadang bahkan terasa sangat kasar,
dan tak lagi jadi suami yang manis untuk July.
July merasa, dia tak lagi
bisa mengandalkan suaminya. Dia harus kembali bekerja dan membantu Martin untuk
mempertahankan ekonomi keluarganya.
Setelah mengajukan CV ke beberapa
perusahaan, July mendapatkan pekerjaan. Dan pekerjaan itu─sepertinya─dia dapatkan karena dia mengenal bosnya tersebut. Vincent,
itu nama bosnya, sekaligus mantan kekasihnya.
Dari awal, Martin sudah
melarang July untuk bekerja. Bahkan, Martin marah besar saat tahu istrinya
mendapatkan panggilan wawancara. Dan saat tahu siapa bos July, Martin makin
marah. Dia minta July resign.
July mulai bimbang. Satu
sisi dia sangat membutuhkan pekerjaan itu, satu sisi dia juga nggak mau terus
berada di dekat Vincent karena Martin nggak menyukai itu dan diam-diam July menyadari,
Vincent mulai mendekatinya lagi, bahkan dia terus terang masih menyayangi July.
“Hati itu nggak pernah salah. Mungkin awalnya
akan terlihat salah. You will feel bad about it. Tapi, semakin kamu menjalaninya, trust me, that’s the best decision
you’ve ever made.” – Paula – hlm. 269
Karena nasehat Paula,
July akhirnya resign. Namun, sebuah
kenyataannya membuat dia tertohok dan memutuskan keluar dari rumah bersama
anak-anaknya dan meninggalkan Martin. Yep, Martin selingkuh. July melihatnya
sendiri suaminya sedang bersama seorang wanita dan mereka terlihat begitu
mesra.
Berhari-hari July
terpuruk. Sampai-sampai kakaknya lah yang mengurus Ernest dan Emilia. Dia juga
enggan bertemu Martin, dan malah memakinya tak karuan dan mengusirnya dari
rumah kakaknya saat Martin mencoba menemuinya. Namun, kata-kata Ernest membuat
July berfikir, apakah dia harus terus seperti itu? Tapi, July tak bisa membuang
bayangan Martin dengan perempuan itu. Hatinya teramat sakit, sampai-sampai
untuk memaafkannya saja dia tak mampu.
“Karena, July Bernandeth.. mau nggak mau kamu
harus belajar dari anak berusia 8 tahun. Percaya atau nggak, itu adalah suara
Tuhan yang berbicara melalui anak kamu, lho…” – Jeni – hlm. 251
Lalu, bagaimana rumah
tangga mereka? Apakah July akan jadi wanita egois dan berpisah dengan Martin?
Mungkinkah Vincent benar-benar kembali dihidup July karena dia teramat
mencintai wanita ini dan bersedia menjadi tempat curhat July saat July
terpuruk?
“….Sayang itu nggak pernah bisa
hilang meskipun kita udah berusaha untuk menghapusnya. Tapi, Mami dan Papi
sedang ada masalah yang harus diberesin. Untuk sementara lebih baik berpisah
dulu…” – July – hlm.
242
The Better or Worse, jenis genre baru yang aku baca, momlit. Genre yang lebih menekankan tentang keluarga, dengan
konflik-konflik keluarga dan mengajarkan tentang cara memecahkan masalah dengan
menekankan demi kebaikan keluarga.
Rasanya, membaca novel
ini aku seperti belajar sebelum
benar-benar masuk dalam kehidupan rumah tangga. Memberiku gambaran betapa indahnya
berkeluarga, punya suami yang mencintai kita dan anak-anak yang menyempurnakan
hidup kita.
Namun, hidup itu seperti
mata uang, ada dua sisi yang berlawanan. Dan mata uang itu tak pernah diam
dalam genggaman. Dia selalu dilempar ke atas seperti sebuah permainan
keberuntungan. Dan hasilnya, tak pernah sama.
Seperti kehidupan July
yang digambarkan begitu sempurna di awal cerita, lalu saat hidupnya jatuh di
bagian tak beruntung, dia dihadapkan dengan berbagai cobaan dan dilema yang
membuatnya harus kuat.
Setelah cobaan mulai
berlalu, kehidupannya dilempar lagi, nyatanya, kekecewaan lagi yang harus dia
hadapi. Tapi, seperti kataku tadi, saat mata uang dilempar, belum tentu dia akan
jatuh di bagian yang sama. July mulai bisa merasakan hidupnya yang penuh keberuntungan.
“Setiap orang patut untuk bahagia, Darl. Tapi, caranya, kan, berbeda-beda. Terkadang kita harus melewati suatu
masa atau peristiwa, either good or bad.
Kita, kan, nggak bahagia terus-menerus.” – Paula – hlm. 82
Dari itu semua aku bisa
mengambil banyak ilmu. Sesulit-sulitnya hidup, selalu ada jalan untuk lepas
dari kesulitan itu. Bukan hanya rasa sabar saja yang harus kita tanamkan, namun
juga kerja keras dan rasa pantang menyerah meski harus terjatuh berkali-kali.
Dan semarah-marahnya hati, ada bagian dimana kita harus kembali tenang dan
memikirkan apa yang menjadi tujuan awal pernikahan, hidup bersama, bahagia
bersama, dan selalu bersama-sama.
Buat aku, July itu hebat,
dia contoh ibu yang baik, dan istri yang baik pula. Caranya bersikap dengan
anak-anak tak pernah berubah meski dia sedang menghadapi masalah besar. Dia benar-benar
mencirikan karakternya yang sebenarnya, yaitu lembut dan sabar. Meski di bagian
klimaksnya, July sedikit jadi emosional, dan kasar. Itu wajar saja. Siapa yang
bisa tetap teguh dan lembut jika hati dipenuhi kemarahan yang tak tersampaikan?
Martin sebenarnya tak
kalah hebat. Dia ayah yang baik, dan aku suka cara interaksinya dengan kedua
buah hatinya, juga dengan July. Perubahan sikapnya bisa dimaklumi. Pria mana
yang nggak putus asa menghadapi dirinya yang dulu bisa menjadi tulang punggung
keluarga yang kokoh, harus hancur begitu saja karena PHK dan kegalauan tak juga
mendapat pekerjaan?
Hanya satu kesalahannya,
selingkuh dan tak bisa menjaga dirinya untuk tetap stabil. Membuatnya tampak
tak peduli pada keluarganya. Namun, karena Martin hebat, dia berani meminta
maaf dan mengakui kesalahannya. Dia mulai bisa bangkit dan kuat lagi. Menerima
takdirnya tanpa mau putus asa untuk mencari pekerjaan. Bahkan, dia bisa berubah
lebih baik daripada saat sebelum dia hancur.
“Kalau saja aku tahu kepercayaan itu harganya sangat mahal
dan, kalau saja, aku menyadari dari awal untuk memperbaiki sikapku sebelum
keluarga kita bebar-benar pecah, semua ini pasti tak akan terjadi. Tapi, aku juga
nggak bisa memutar waktu. Aku nggak sempurna, Jul. sekali lagi maafkan aku, ya.
Aku berharap kamu mau maafkan aku.” – Martin – hlm. 282
Dari tiga teman July,
tokoh Paula ‘lah yang punya sumbangsih besar untuk hidup July. Meski dua
lainnya juga jadi penyokong semangatnya. Mungkin, karena Paula lebih banyak
berinteraksi dengan July meski July tak lagi masuk dalam anggota arisannya, dan
Paula pula yang membukakan pintu rezeky July dengan mengajarinya Yoga, dan
mengenalkannya dengan beberapa orang yang akhirnya menjadi murid privat July.
Selain itu, aku juga suka karakter Kakak July,
Jeni. Dia nggak emosional menghadapi Martin, meski dia tetap marah dengan adik
iparnya itu. Dia juga nggak terbawa kemarahannya dan memberikan July saran yang
pantas untuk dilakukan seseorang yang sudah menikah dan punya anak dua. She is good sister.
Sosok Ernest, anak
pertama July dan Martin. Meski usianya belum ada sepuluh tahun, namun beberapa
kata-kata Ernest berhasil membuat aku trenyuh. Apalagi saat Ernest menyampaikan
permintaan hadiah ulang tahunnya, juga kalimat Ernest yang menyadarkan July
bahwa manusia itu nggak ada yang nggak pernah salah. July sering bilang, Ernest
anak yang pintar, dan dari semua itu, aku tahu July benar.
“…Habisnya, masak kita marah
lama-lama sama orang yang kita sayangi. Kayak aku, nggak bisa marah lama-lama
sama Emili walaupun dia nakal atau ke Mami juga. Orang, kan, nggak ada yang
sempurna. Ya, kan, Mami?” – Ernest – hlm. 243
Sedangkan Emilia, angle mungilnya Martin dan July, dia
bikin cerita tampak lucu dan menggemaskan meski di suasana yang sesuram apapun.
Namun, kadang juga bikin ngelus dada saat melihat tingkahnya yang seperti monyet
kecil yang lompat-lompat di dahan pohon, nggak bisa diem.
Satu lagi tokoh yang
bikin, ehm…terpesona. Vincent, meski tokoh ini adalah tokoh yang bisa jadi
tokoh penguji kesetiaan July, tapi cara dan kesetiaan Vincent pada July membuat
cewek manapun iri sama July.
Selama ini, meski hampir
sepuluh tahun tak bersama July, nyatanya cinta Vincent tetap setia untuk mantan
kekasihnya ini. Aku juga suka cara Vincent mengatasi hatinya. Dia tak terbawa
egonya untuk memaksa July untuk kembali padanya padahal dia tahu seperti apa
keadaan July.
Novel ini memang sangat
mengispirasiku. Gaya bercerita dan plotnya begitu mudah masuk dan mengalir
lancar, bahkan setelah klimaks, aku merasakan dorongan makin kuat untuk segera
menyelesaikan novel ini. Aku benar-benar penasaran bagaimana Martin dan July
akhirnya bisa bersama dan memulai hidup barunya lagi.
Sudut pandang novel ini
adalah sudut pandang dari July. Sehingga, aku mampu menangkap rasa yang
tersirat dalam benaknya, benak seorang ibu yang miris melihat perubahan
suaminya, nelangsa melihat anak-anaknya yang mulai terluka dengan keadaan hidup
mereka, dan begitu kuatnya July sebagai seorang ibu dan istri untuk berjuang
bangkit lagi dan memaafkan suaminya yang selingkuh. Sekali lagi aku mau bilang,
July adalah sosok perempuan hebat.
Satu yang masih menjadi
kelemahannya. Ada beberapa paragraf saling tindih. Dimana dialog tokoh berbeda dijadikan
satu paragraf
Example :
“Rakus,” bisik Martin di telingaku. Aku melotot di tengah
kegelapan, mencari matanya dan berbalik berbisik, “Kamu yang rakus! Tangan
kamu, kan, besar. Aku jadi kalah sama kamu.” Hlm. 299
Menurut aku, satu
paragraf di atas harusnya menjadi dua,
seperti ini.
“Rakus,” bisik Martin di telingaku.
Aku melotot di tengah kegelapan, mencari matanya dan berbalik
berbisik, “Kamu yang rakus! Tangan kamu, kan, besar. Aku jadi kalah sama kamu.”
Dengan paragraf yang
berbeda, pembaca akan lebih mudah menangkap mana yang diucapkan Martin dan mana
yang diucapkan July, meskipun disitu sudah jelas mana yang Martin dan mana yang
July.
Selain paragraf di atas,
ada lagi beberapa paragraf dengan keadaan yang sama. Tapi, itu bukan masalah
besar. Meski aku sedikit terganggu karena harus membaca ulang paragraf tersebut
karena mengira kalimat yang diucapkan masih menjadi satu bagian dari dialog
satu tokoh saja.
Desain cover-nya sangat pas dengan cerita,
menggambarkan kehidupan setelah pernikahan. Warnanyapun aku suka, dan makin
suka dengan corak garis cokelat muda dan cokelat tua yang elegan.
Untuk endingnya, ini jenis ending penyelesaian matematika. Setelah
masalah dijabarkan, diurai satu persatu, membuat jawaban langsung bisa terbaca
jelas. Aku yang beberapa hari ini menghadapi ending menggantung, sedikit terhibur dengan ending seperti ini. Dan setahu aku, jenis ending seperti ini memang
lebih terasa aman karena beberapa pembaca lebih menyukai jenis ending seperti ini.
Dan untuk nilainya, aku
berikan 3,8 dari 5 bintang.
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Review Novel For Better or Worse #ReviewFBoW yang diadakan Christina Juzwar dan Bentang Pustaka dan diikutkan Indonesian Romance Reading Challenge
No comments:
Post a Comment