Fanfiction ini diikutsertakan
dalam
#KuisFangirl yang
diadakan
oleh @NovelAddict_
bersama
Penerbit Spring dan Haru
“Reagan.” Cath memicingkan matanya, menembus kegelapan kamar untuk memperjelas
penglihatannya, mencari tahu siapa yang masuk kamarnya selarut ini.
“Shhhuuttt!!!”
Sebuah suara
mengisyaratkannya untuk tidak berisik.
“Ini aku.” Ternyata Wren,
saudara kembarnya.
Cath menarik tubuh, dan
bersandar pada sandaran tempat tidurnya. “Kenapa kau ke sini?” Diam-diam Cath
melirik tempat tidur di sampingnya. Ternyata, Reagen, teman sekamarnya sudah
terlelap. Jam berapa dia pulang?
Batin Cath.
“Dengarkan aku.” Wren
melirik sekilas Reagen yang menggeliat berpindah posisi tidur. “Biarkan aku
tidur di sini semalam saja. Please!”
Wren menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Cath menghela napas.
“Memang, ada apa dengan kamarmu?”
“Kau hanya perlu
menjawab, iya atau tidak, Cath!” Meskipun suara Wren pelan, tetap saja Cath
menangkap nada sinis Wren.
Cath hanya mengangguk,
lalu menggeser tubuhnya lebih ke pinggir, memberikan tempat untuk Wren.
Cath tidur menyamping.
Namun, setelah tadi terbangun gara-gara Wren, sekarang dia tak bisa memejamkan
matanya. Apalagi bau alkohol dari tubuh Wren benar-benar mengganggunya.
Sekali lagi Cath menghela
napas. Karena terlalu putus asa, Cath beranjak dari ranjangnya. Dia mengambil
jaket, lalu berjalan keluar kamar. Dia perlu udara segar. Mungkin, setelah
berjalan-jalan sebentar, dia bisa mengantuk lagi.
Cath berjalan menelusuri
koridor asramanya sambil menggumamkan percakapan dalam fanfiction Simon Snow yang akan dia tulis setelah kembali ke
kamarnya. Semoga dia bisa mengingatnya karena dia lupa tidak membawa buku
catatan untuk menulis ide yang terlintas tiba-tiba.
Langkah Cath terhenti di
ujung lorong. Seorang cowok bernama Levi–yang beberapa minggui ini seperti
mengikutinya–tampak asyik menekuri laptop.
Sedang apa dia malam-malam begini? Cath hanya mengintip dari balik
dinding di dekat tangga.
Cowok itu tak tampak
mengentik apapun. Dia seperti sedang membaca. Sesekali bibirnya tertarik ke
ujung, memperlihatkan senyuman lebar, atau kadang malah seperti
terpingkal-pingkal.
Cath semakin penasaran
saja. Tapi, dia tidak akan mendekatinya. Tidak
akan! Cath takut, kalau dia
mendekat, Levi akan merasa Cath mengijinkannya masuk ke dalam hidupnya.
“Tilililit…tilililit…”
Cath hampir terjungkal karena terkejut. Bunyi
ponsel siapa itu? Sesaat kemudian, dia baru menyadari bunyi ponsel itu dari
saku jaketnya. Ya ampun, ternyata dia lupa mengeluarkan ponselnya dari dalam
saku jaket sejak dari kampus tadi.
Cath, melihat nama
ayahnya di layar ponsel.
“Ya, Yah?” Cath berusaha
menjawab dengan nada sepelan mungkin, berharap suaranya tak di dengar Levi. Ah,
cowok itu. Seketika dada Cath berdebar.
“Seseorang menelepon Ayah. Mereka mencari Wren. Apa dia bersamamu?”
“Iya, dia tidur di
kamarku. Memang ada apa, Yah?”
“Mereka bilang, Wren baru saja membuat seorang cewek masuk ke rumah
sakit.” Cath dengan jelas mendengar suara ayahnya yang resah. “Ponselnya terjatuh, jadi mereka menghubungi
Ayah.”
“Ah, begitu.”
“Bilang padanya, hari minggu dia harus pulang. Ayah akan bicara padanya.”
“Iya.”
Setelah telepon ditutup,
Cath reflek memutar tubuhnya. Dia ingin mengintip cowok itu lagi, berharap Levi
masih di sana dan tidak mencurigai apapun.
Sayang, saat tubuhnya
berputar, mata Cath langsung bertemu dada bidang berkaos biru laut bertulis
Melbourne. Perlahan, Cath mengangkat wajahnya, dan dia langsung bertemu dengan
mata Levi.
“Sedang apa kau di sini,
Cath?” tanyanya dengan senyum mengembang, seperti biasanya.
“Menerima telepon.” Cath
menunjukkan ponselnya.
“Oh,” Bibir Levi
membulat. “Aku sedang membaca fanfiction-mu.
Menarik juga!” Senyumnya muncul kembali, membuat Cath salah tingkah.
Sebenarnya, Cath menyukai
pujian Levi. Tapi, dia tak ingin cowok itu tahu. “Benarkah? Terima kasih!”
ucapnya dingin.
“You welcome!”
Mereka sama-sama diam.
“Aku akan kembali ke
kamar.” Cath memutar tubuhnya dan mulai melangkah.
“Cath.”
Panggilan Levi membuat
Cath menghela napas dan memutar tubuhnya.
Levi tersenyum saat Cath
sudah menghadap padanya lagi, “Aku tahu pizza terenak di daerah sini. Mau
mencobanya denganku?”
“Tidak!” lagi-lagi Cath
menjawabnya dengan dingin.
Tanpa menunggu kata-kata
Levi, Cath langsung melesat menuju kamarnya.
Levi masih mematung,
melihat Cath yang menjauh. Dia hanya bisa menghela napas. Bahunya turun, tanpa
putus asa.
Bagi Levi, Cath sangat
misterius. Banyak hal seperti teka-teki yang membuat Levi ingin menemukan
jawabannya satu persatu. Tapi, Cath begitu sulit di dekati. Kenapa? Kenapa Cath seperti itu? Apa
karena dia tak menyukai Levi? Atau, dia merasa terganggu karena dia terus
mengikutinya?
***
“Cath!” Teriakan itu
sangat dikenalnya. “Pagi!” sapa Levi setelah berhasil menyamakan langkahnya
dengan Cath.
Cath tidak menghiraukan
Levi sama sekali. Tatapannya terus ke depan tak minat sedikitpun untuk melirik
cowok di sampingnya, yang sesekali sibuk membalas sapaan teman-temannya.
“Bagaimana tidurmu? Nyenyak?”
Sebuah pertanyaan yang tak tergantikan setiap pagi.
Dan, sama seperti
biasanya, Cath hanya menjawab dengan bahunya yang sedikit naik ke atas.
“Baguslah!” Levi
mengartikannya sebagai ‘ya’. Padahal, Cath sama sekali tak bisa tidur meskipun
dia sudah pindah ke sofa. Cath tak tahan dengan bau alkohol di tubuh Wren yang
menyerangnya semalaman.
“Kau masih ingat tadi
malam aku menawarimu pizza, kan?” Levi menunggu jawaban Cath, tapi percuma.
Jadi, dia langsung meneruskan. “Kalau kau tak ingin pergi, aku akan
membawakannya untukmu.”
Cath menghentikan kakinya
tiba-tiba, membuat Levi terkejut dan ikut-ikutan berhenti.
“Levi, aku sudah bilang,
aku nggak mau!” Jawaban Cath terkesan terlalu ketus.
“Iya, aku tahu. Makanya–”
“Jangan ganggu aku!” Cath
memotong kalimat Levi dengan intonasi agak tinggi.
Cath semakin kesal saat
menyadari tatapan orang-orang terarah pada mereka. Dia sangat tidak nyaman
menjadi pusat perhatian seperti itu. Dan, Cath langsung bergerak cepat untuk
melarikan diri. Meninggalkan Levi yang masih mematung cukup lama sekedar untuk
melihat Cath yang sudah menjauh pergi.
***
“Sampai kapan kau
menghindarinya?”
Suara Wren membuat Cath
mengalihkan perhatian dari layar laptopnya. Dia melihat sebentar ke arah Wren
yang sibuk dengan kuku-kukunya yang merah menyala.
“Siapa?” tanya Cath. Dia
sudah kembali sibuk dengan fanfiction-nya.
“Levi.”
Cath mendengus.
“Sepertinya, dia
menyukaimu.” Tiba-tiba saja Cath merasakan hembusan lembut napas Wren di dekat
telinganya saat cewek itu berbisik.
Cath melihat ke arah
Wren. Dia bertemu senyum penuh arti dari saudara kembarnya.
“Berhentilah jadi manusia
yang seperti bisa hidup sendiri, Cath. Tak ada salahnya, kan, mencoba menjalin
sebuah hubungan.”
Cath terus saja mengetik,
meskipun isi fanfiction-nya sekarang
berantakan. Dia hilang fokus.
“Levi sepertinya cowok
yang baik. Dan juga– “ Wren memberi jeda agak lama. “ –lumayan tampan.”
Cath mendengar Wren
tertawa pelan. Tapi, dia tak berminat untuk ikut tertawa. Tak ada yang lucu.
Dan, ini bukan lelucon.
“Ayah memintamu pulang
minggu depan.” Cath mengalihkan pembicaraan.
Wren menghela napas. “Aku
tak akan pulang. Paling-paling Ayah hanya akan memarahiku. Aku bosan
mendengarnya mengomel.”
“Bagaimana dengan ponselmu?”
Cath sudah tak lagi menatap laptop. Menurutnya, meneruskan menulis hanya akan
berakhir sia-sia karena dia sama sekali kehilangan minat untuk menulis. “Apakah
orang itu mengembalikannya?”
“Orang itu?”
“Orang yang menemukan
ponselmu, dan menelepon Ayah.”
Wren mengangkat bahu, lalu
menggeleng. “Aku tahu siapa yang sudah melaporkan aku pada Ayah. Aku akan buat
perhitungan dengannya. Lihat saja nanti!” Dia tampak kesal. Tangannya terkepal
di atas pangkuannya.
“Wren, berhentilah
seperti ini.”
Wren malah tertawa
mendengar nasihat saudaranya. “Aku seharusnya mengatakan hal yang sama padamu,
Cath!” Wren membalas tatapan Cath. “Aku akan berubah jika kau juga berubah. Aku
akan berhenti berulah saat kau berhenti jadi manusia introvert!” Wren beranjak dari duduknya. Sesaat dia memperhatikan
roknya. “Cath, apa aku cantik hari ini?”
Cath melirik sesaat pada
Wren yang tersenyum cerah. Dia sekedar mengangguk untuk memuaskan Wren.
Senyum Wren semakin
melebar. “Aku akan berkencan malam ini. Berkencan itu sangat mengasyikkan. Kau
harus menyobanya Cath!” Lalu, Wren berjalan siap keluar dari kamar Cath.
***
Cath hampir masuk ke
halaman asramanya. Tapi, langkahnya terhenti–saat tanpa sengaja dia melihat
sesosok tubuh yang cukup familiar untuknya–duduk di bangku sambil membungkuk,
seperti menahan sakit di perutnya.
“Levi?” tanyanya pada
diri sendiri.
Cath berusaha mendekat,
sekedar memastikan penglihatannya.
“Aarrggg…” Agak
samar-samar, Cath menangkap nada kesakitan Levi. Membuat Cath jadi ragu untuk
meninggalkannya.
Dengan tidak yakin, Cath
mendekati cowok itu. “Le-vi?” panggilnya lirih. “Kau – Em… kau, baik-baik saja?”
“Tidak… aku sedang tidak
baik-baik saja.” Levi mengangkat wajahnya meskipun tubuhnya tetap membungkuk. “Kau
punya obat mag?”
Cath menggeleng. “Aku
akan membelikannya.” Dia langsung memutar tubuh dan berlari.
Tak sampai lima belas
menit, Cath sudah di depan Levi kembali. “Minum ini.”
Levi menerima obat yang
disodorkan Cath.
Cath duduk di samping
Levi. Dia masih tampak menghawatirkannya.
Levi tersenyum, sebuah
senyum yang tak bisa dilihat Cath karena posisi Levi yang masih menunduk. “Aku
akan baik-baik saja, Cath. Jangan khawatir.”
Apakah dia mulai menganggapku teman? Batin Levi.
Sepuluh menit kemudian,
keadaan Levi mulai membaik. Perutnya tak sesakit tadi. Dan dia sudah bisa duduk
tegak meskipun tangannya masih memegang perut.
Levi menghela napas. “Terima
kasih, Cath. Kau teman yang baik.” Sebuah senyuman mengiringi kalimat Levi. “Maaf,
selama ini aku membuatmu terganggu.” Levi melirik cewek di sampingnya. “Aku
sama sekali tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin berteman denganmu.” Levi
tersenyum lebar. Perlahan sakit di perutnya mulai menghilang.
“Baiklah, sepertinya kau
sudah membaik. Jadi, aku pergi.”
Levi menangkap tangan
Cath saat cewek itu hampir melangkah. “Please,
jangan pergi.”
Tatapan mata Levi membuta
Cath tersentuh. Dengan berat hati, dia kembali duduk.
Suasana sedikit tidak
mengenakkan di antara mereka. Dan Levi merasa dia harus merubahnya. “Maukah kau
menjadi temanku, Cath? Aku janji, aku tidak akan menyusahkanmu. Please!”
Cath menatapnya dengan
tatapan yang Levi tak tahu artinya. Yang jelas, mata itu mampu membuat
jantungnya berdetak sangat kencang.
“Hanya teman, Cath. Aku
tak akan minta lebih.”
“Kenapa kau ingin menjadi
temanku?”
Levi tersenyum, “Karena–”
Levi tampak berfikir. “Entahlah!” Cengirannya membuat Cath kesal. “Aku memang
tak punya alasan, Cath. Aku hanya ingin jadi temanmu, hanya itu alasannya.”
“Puitis!” jawab Cath
sinis.
“Baiklah, anggap saja aku
fan beratmu. Jadi, aku ingin berteman denganmu karena aku terlalu mengagumimu.
Bagaimana?”
Cath menyipitkan matanya.
“Terserah kau saja!”
Lagi, Levi tersenyum. “Oke,
kalau begitu kau mau, kan aku traktir pizza?” Levi sudah ikut berdiri, siap
mengikuti langkah Cath.
“Terserah kau saja!”
jawabnya sinis dan sangat lirih.
“Oke, nanti jam tujuh aku
jemput.”
“Terserah kau saja!”
“Kau suka pizza dengan
bawang bombay yang banyak atau sedikit?”
“Terserah kau saja!”
Levi terus membrondong
Cath dengan berbagai macam pertanyaan. Tapi, Cath hanya menjawab dengan
singkat, “Terserah kau saja.”
Namun, tak ada yang tahu
rahasia arti kalimat ‘terserah kau saja’ yang terus diucapkan Cath pada Levi. Ya,
bagi Cath, ‘terserah kau saja’ menyiratkan banyak arti.
Perlahan, mungkin setelah
berjalannya waktu ‘terserah kau saja’ akan berganti menjadi kalimat panjang
lebar tentang apapun yang ingin mereka bicarakan.
Terserah kau saja.
Ya, biarkan saja semua
berjalan apa adanya, Cath. Kau akan menemukan banyak titik menyenangkan bersama
Levi. Ya, terserah kau saja sampai kapan menganggapnya sekedar teman. Itu
hakmu! []
*Nama tokoh diambil dari
Novel Fangirl terbitan Penerbit Spring
No comments:
Post a Comment