Sunday, February 1, 2015

Resensi – GERBANG TRINIL "Mereka Belum Benar-benar Pergi"





Penulis : Riawani Elyta & Syila Fatar
Penerbit : Moka Media
Genre : a Science Fiction Novel
Kategori : Young Adult, Alien, Sejarah
Terbit : 2014
Tebal vi + 296 hlm
ISBN : 979 – 795 – 874 – 4
Harga : Rp. 69.000
Areta Prameswari, siswa SMU yang sangat tertarik pada bidang sejarah, terutama pada manusia purba Pithecanthropus erectus. Hobinya ini membuat Areta tampak berbeda dari remaja seusianya yang lebih suka membicarakan tentang hal-hal yang sedang booming saat ini. Dia lebih suka membaca buku-buku yang membahasa tentang apa saja yang berhubungan dengan fosil dan peninggalan purba kala.
Areta mempunyai seorang teman dunia maya bernama Harry Dubois. Dia adalah cicit dari Eugene Dubois, si  penemu fosil terbanyak di tanah Jawa. Pemuda ini mempunyai minat yang sama dengan Areta.
Saat chatting dengan Harry, Areta diberitahu bahwa Ayah Harry mendapat sebuah penemuan baru tentang fosil Pithecanthropus yang baru saja ditelitinya di Trinil, Ngawi. Mereka alien. Benarkah? Areta belum bisa percaya sepenuhnya.
Terlepas soal rasa penasarannya tentang alien, seperti yang dikatakan Harry, jauh dilubuk hati, Areta ingin sekali membuktikan pada teman-temannya, bahwa tulang belulang manusia purba itu bukan benda kuno yang tidak berharga.” – hlm. 38

Saat liburan, Areta meminta ijin untuk ke rumah Neneknya yang berada di Ngawi. Dia ke sana ingin mengunjungi sebuah Museum yang menyimpan banyak sekali fosil dari manusia purba. Dan kebetulan, di Museum Trinil baru saja ditemukan satu tengkorak yang diperkirakan tengkorak bayi Pithecanthropus erectus.
Anehnya, tengkorak tersebut sama persis dengan tengkorak yang Areta temukan di kamar misterius neneknya. Dan, kata sang nenek, itu tengkorak bibi Tyar, kakak Ayah Areta.
Nggak mungkin tengkorak homo sapiens atau manusia modern berbentuk mirip Pithecanthropus erectus. Apa mungkin nenek benar-benar mempunyai kelainan jiwa seperti yang dikatakan ayah dan ibu Areta? Atau tengkorak itu sebenarnya tengkorak Pithecanthropus yang nenek temukan sendiri dan menganggap itu adalah tengkorak anaknya yang sudah mati?
“Beyond the world, beyond the civilization, when no one has gone before. Hm, apa itu teori yang bisa dikembangkan? Sekelompok manusia yang hilang karena telah pergi ke semesta yang lain?” – hlm. 58

Rasa penasaran yang begitu besar di benak Areta, membuat gadis ini memutuskan kabur dari rumah dan kembali ke Ngawi, ke rumah sang Nenek. Saat itulah cerita tentang Raja Cahaya bergulir mulus dari bibir tuanya. Dan kejadian yang tak pernah bisa diterima akal sehat, membawa Areta ke dunia yang lain, dunia alien, dunia dimana Pithecanthropus benar-benar ada dan mengancam kelangsungan hidup manusia di bumi.
“Bumi ini milik kami, bangsa pertama yang mendiami bumi. Manusia hanya bisa merusaknya.” – Blark – hlm 131

Areta bertekat, dia harus menyelamatkan para perempuan yang ditawan bangsa Pithe. Para perempuan-perempuan kubah hutan yang dijadikan inang untuk memperbanyak bangsa mereka. Dan dia harus bisa melakukannya, karena dia sendiri tidak ingin menjadi Ratu bangsa Pithecanthropus.
“Dan mereka harus pulang, karena rumah mereka adalah di bumi. Mana mungkin mereka merelakan dirinya diculik, meninggalkan semua kehidupan normal mereka di bumi demi melahirkan bayi Pithe?” – hlm. 157

Gerbang Trinil, sebuah novel science fiction yang ber-setting di kota kelahiranku, Ngawi. Dan, novel genre sci-fi pertama yang aku resensi.
Novel ini mengangkat tentang manusia purba yang ternyata belum punah. Mereka masih ada dan hidup sebagai alien yang mencoba berbuat jahat pada bangsa manusia.
Mereka menculik para wanita untuk dijadikan inang dari anak-anak mereka. Para Pithe berusaha memusnahkan populasi manusia dengan teknologinya. Dan mereka menghisap nera atau sumsum tulang belakang manusia agar bisa bertahan hidup.
“Kita masih satu genus, seharusnya kita tidak menjadi predator satu sama lain. Kehidupan yang telah kami lampaui membuat kami seharusnya banyak belajar. Bahwa bumi, bukan untuk kami lagi.” – Mlaar – hlm. 263

Penulis tidak menjadikan novel ini terlalu sekedar fokus pada alien dan fosil. Ada unsur romance yang sangat soft, juga permasalahan seputar keluarga dan remaja pada umumnya.
Karakter Areta yang diciptakan berotak encer dengan tekat yang kuat untuk sebuah keinginan, membuat aura Areta menguar hebat. Dia bukan tipe cewek penakut. Rasa ingin tahunya membimbing Areta menemukan apapun yang diinginkannya. Sedikit intrik romance Areta dan Andri menjadikan novel ini ada rasa manisnya.
Sedangkan Nenek Prameswari, dia benar-benar kelihatan misterius. Sayangnya, untuk tokoh yang lain kurang terasa kuat. Juga, masih ada satu atau dua typo.
Tapi nggak masalah-lah, karena aku sangat menikmati novel ini, sampai-sampai hanya setengah hari saja aku selesai membacanya. Alurnya mengalir ringan dengan gaya bercerita yang tidak membuat pusing meskipun ini novel sci-fi.
Yang menjadikan novel ini begitu menarik buat aku adalah setting-nya, Ngawi. Aku mengenal Ngawi sejak aku lahir. Dan, saat di angkat ke sebuah cerita, apalagi cerita sci-fi begini terasa amazing banget.
Dan, Museum Trinil. Aku cukup mengenal tempat ini karena beberapa kali ke sana. Meskipun tidak detail sekali, tapi setting-nya sudah cukup mewakili. Gerbang pintu masuknya, dua gading tiruan di pintu masuk museum, dan patung gajah purba, mereka memang ciri khas Museum ini.
Namun, ada lho sesuatu yang baru aku tahu.  Di Museum Trinil memang ada monumen kecil. Aku sempat membaca kodenya dan berfoto di sana. Di buku ini, Reza yang menjadi Kepala Museum Trinil mengatakan bahwa, "Pada jarak 175 meter dari sini, jika berjalan mengikuti arah anak panah, kita akan sampai di tempat Eugene Dubois melakukan penggalihanpada tahun 1891 sampai dengan 1895 saat ia menemukan fosil Pithecanthropus erectus."
Ini foto lawas yang aku ambil di monumen Museum Trinil
 Saat membaca halaman 112 tentang Hotel Sukowati yang dikatakan hotel dengan tarif termahal di kota Ngawi, aku sedikit menarik ujung bibirku. Benarkah? Aku baru tahu tarif Hotel Sukowati itu paling mahal. Yah, jelas aku nggak tahu, karena aku kan orang Ngawi, masak mau nginep di hotel yang dekat dengan rumahku? Kurang kerjaan banget. Eh, tapi penasaran juga, sih. Berapa ya, kira-kira?
Setting dunia Pithecanthropus, yang terdapat di sebuah pesawat luar angkasa, dengan segala kecanggihannya dicoba dijelaskan sedetail mungkin. Perpindahan Areta dari bumi, ke dunia yang lainpun tampak bisa digambarkan dengan cukup sempurna.
Endingnya, punya sesuatu yang lain. Sesuatu yang nggak tertebak malahan. Kehadiran Mala dan Mlaar juga menambah twist tersendiri dalam cerita.
Rating novel ini 3,5 dari 5 bintang.

4 comments:

  1. terima kasih ya dian untuk resensinya, saya jadi pingin ke museum trinil :D

    ReplyDelete
  2. Di Ngawi banyak tempat bagus mbak. Main2lah ke sini :D

    ReplyDelete
  3. Kalau ke Ngawi wajib nginep di Hotel Sukowati yaa, hehe.
    Mantabs resensinya, Dian.

    ReplyDelete