Tulisan ini dikutsertakan
Dalam Tantangan menulis
Untuk Alumni Kampus Fiksi
Bertema ‘IBU’
“Jangan hanya ngomong,
Waw! Kamu nggak tahu apa yang aku rasakan! Kamu nggak tahu, bagaimana sakitnya
hatiku saat Ibu pergi, Waw! Kamu cuma pintar ngomong!” Nisa tertunduk, menahan
air mata yang hampir terjatuh. Dia berusaha mengatur nafasnya setelah separuh
tenaga dia keluarkan untuk berteriak marah pada kekasihnya.
Nisa menatap Wawan lekat,
“Aku capek, setiap hari kamu hanya menceramahi aku ‘jangan jadi anak durhaka’.”
Suaranya tak sekencang tadi. “Bukan aku yang durhaka, Waw. Tapi, Ibu!” Memang
hanya lirih, tapi kata ibu tampak diucapkan begitu tegas, penuh amarah, dan
rasa sakit.
“Ibu pergi meninggalkan
aku dan Ayah. Meninggalkan Fakhri yang masih teramat butuh kasih sayang. Ibu nggak
peduli itu! Hanya beralasan cinta, Ibu pergi untuk laki-laki lain.” Akhirnya,
air mata itu jatuh.
Nisa menarik tasnya dari
atas meja, bersiap meninggalkan Wawan yang masih terlalu kaget akan kemarahan
kekasihnya.
“Aku pergi dulu, Waw.”
Nisa hampir melangkah
saat tangan Wawan meraih tangannya. “Aku minta maaf, Nis. Bukan maksud aku
menyebut kamu durhaka. Ini karena – “
“ – karena kamu sayang
aku, kan?” potong Nisa. Dia mengangguk, “Tapi, aku capek kamu selalu membujuk aku
untuk bertemu Ibu. Aku nggak mau jadi anak yang lebih durhaka lagi, Waw. Aku
takut, aku akan meledak kayak boom atom kalau sekarang aku ketemu Ibu. Untuk
saat ini, aku belum bisa.”
“Sampai kapan?”
“Sampai amarahku dan rasa
sakit hatiku berkurang.” Nisa menghela napas. “Aku masih berusaha untuk
meredakan itu semua, Waw.”
Wawan mengangguk, “Oke,
aku akan bilang itu ke Tante Deasy.” Wawan menatap Nisa penuh rasa bersalah.
“Kamu jangan marah sama aku, ya, Nis? Aku nggak mau semua ini jadi perusak
hubungan kita.”
Nisa tak menjawab, tapi dia
masih membiarkan tangannya digenggam Wawan. Dan, meskipun rasa kesalnya masih
tersisa, Nisa tak menolak saat Wawan mengajaknya pulang bersama.
Mereka melangkah tanpa
menghiraukan tatapan orang-orang di kantin kampus – yang tampak sangat tertarik
dengan konflik mereka.
Apakah hal semacam itu
selalu menarik untuk dinikmati? Padahal, ini bukan drama, maupun sinetron yang
penuh intrik. Ini tentang hidup Nisa, bukan skenario hidup yang dibuat-buat.
----D----
Jika ada pertanya, ‘siapa
orang yang paling dibenci Nisa?’. Maka, kalau dia boleh jujur, dia akan
menjawab, Nisa membenci Ibunya. Meskipun dia sangat tahu, Ibu adalah orang yang
melahirkannya. Haram hukumnya membenci ibu, seperti apapun dia memperlakukan
kita.
Tapi, siapa yang tak
benci ditinggalkan begitu saja. Siapa yang tak jadi marah saat melihat Ayahnya
yang begitu baik, yang tak pernah mengeluh meskipun jiwa dan raganya sangat
lelah menanggung beban hidup – dihianati habis-habisan, diberikan tanggungan
hidup dua anak yang perlu diurus, dan mengalami patah hati tak terkira? Siapa? Orang yang mau melihat itu, pasti
tak akan menyalahkan Nisa.
Ya Tuhan, kenapa keluarga
kecil yang dulu tampak baik-baik saja, akhirnya hancur? Kenapa Ibu yang Nisa
tahu wanita baik-baik, bisa berubah setega itu meninggalkannya?
Cinta. Alasan apa itu? Meskipun Ibu tak bersama laki-laki yang dicintainya, Ibu
masih punya Nisa, punya Fakhri, dan juga Ayah yang akan memberinya cinta yang
tak akan habis. Tapi, kenapa Ibu hanya peduli pada cintanya pada laki-laki itu?
Nisa menghela napas. Dia
terpejam setelah sadar sudah terlalu dalam membiarkan lamunan merasuki dirinya.
“Astagfirullah…” Nisa sadar, tak
seharusnya pikiran itu melintas lagi di benaknya. Kalau dia terus-terusan
membiarkan ingatan itu merajainya, dia tak akan pernah bisa menghapus rasa
bencinya pada Ibu. Lalu, kapan dia bisa siap bertemu Ibu?
“Jangan ngelamun mulu!”
Nisa mengangkat wajahnya,
melihat Reni yang sudah duduk di kursi persis di sampingnya.
“Bentar lagi kuliah
mulai. Kalau kamu kayak begitu, yang ada semua materi mental!” lanjutnya.
Nisa tersenyum, “Lagi
butek banget otakku.”
“Karena berantem sama
Wawan?” Senyum jahil tersungging di bibir Reni. Dia tahu kabar pertengkaran
hebat Wawan dan Nisa di kantin kampus tadi pagi. Lagian salah mereka sendiri,
bertengkar nggak pilih-pilih tempat. Sekarang, jadi bahan gosip, deh.
“Banyak yang tahu, ya?”
Nisa meringis ngeri. Melihat Reni mengangguk, kepala Nisa jadi pening. “Duh,
gara-gara ke bawa emosi. Salah Waw, sih, ngomongin bahan sesensitif itu di
tempat umum.”
“Emang bahas apa?” Reni
mencondongkan tubuhnya, mendekat ke arah Nisa ala biang gosip.
“Rahasia!”
“Yee… kamu pikir aku
nggak tahu? Ibu kamu, kan?”
Kepala Nisa langsung
memutar ke arah Reni. “Mereka juga tahu?” tanyanya agak histeris.
Lagi-lagi Reni
mengangguk.
“Oh, Tuhan!” Separuh
nyawa Nisa seperti melayang pergi.
“Slow, Nis. Mungkin, itu tanda kamu harus belajar lebih sabar. Atau,
tanda kamu harus mau bertemu Ibumu.” Reni berusaha mengatur kalimat yang keluar
dari bibirnya. Dia tak ingin menyakiti Nisa. Tapi, dia tak bisa membiarkan
sahabatnya terus-terusan membenci ibunya.
“Begitu?”
Reni mengangguk, meskipun
Nisa tak memperhatikannya.
---D---
Ini sudah terlalu malam,
tapi Ayah Nisa belum juga pulang. Ke mana? Semoga beliau baik-baik saja.
Nisa yang duduk di
beranda, menengok ke dalam rumah untuk melihat letak jarum jam. Jam 22.45
menit. Nisa menghela napas. Pandangannya terus tertuju ke ujung gang, berdoa Ayahnya
segera pulang.
Akhirnya, deru motor
terdengar juga. Nisa bangun dari duduknya, dan mendekat ke ujung teras. Ya, itu
memang Ayahnya. Tapi tunggu, ada satu lagi motor yang ikut masuk ke pekarangan
rumah Nisa. Siapa, mereka? Nisa
mencoba memperhatikan dua orang yang sibuk melepas helmnya.
Ibu! Teriak Nisa dalam hati. Wajahnya yang terkejut, berangsur-angsur berubah
jadi marah. Mau apa ibu kemari? Dengan
laki-laki itu pula?
“Nis,” Ayah Nisa mencoba
menenangkan putrinya. Beliau tahu gejolak apa yang begemuruh di dada Nisa. “Dengarkan
Ayah, ya?”
Nisa masih menatap dua
orang yang sekarang mematung di halaman rumahnya. Mereka tampak ragu untuk
melangkah mendekati Nisa.
“Tadi, Ibu sama Om Ersa
menemui Ayah. Mereka ingin bertemu kamu untuk menjelaskan masalahnya.”
“Nggak, Yah!” kata Nisa
ketus. “Aku nggak mau bicara apapun sama mereka!” mata Nisa belum beralih.
Begitu tajamnya tatapan itu, membuat Ibu menunduk dan menangis dalam diam.
Nisa nggak peduli, mau Ibu
menangis atau meraung-raung sekalipun, Nisa tetap nggak mau bicara apapun pada
Ibunya.
“Jangan begitu, Nis. Kamu
belum tahu apapun. Kalau kalian sudah bicara, Ayah yakin, kamu akan mengerti.”
“Penghianat tetap saja
penghianat! Mau seperti apapun, Ibu tetap saja penghianat!” Suara Nisa sampai
di telingan Ibu, membuat wanita umur 35 tahun itu semakin deras mengucurkan air
mata.
Om Erza mendekat, “Nis,
ini salah Om, bukan salah ibu kamu.”
“Kalian berdua sama-sama
salah. Buat apa belain orang yang sama-sama salah?!” Suara Nisa meninggi.
“Nis, jangan pakai emosi.
Tenang, ya?” Ayah mengusap kedua lengan Nisa.
Perlahan, Ibu ikut
mendekat, meski hanya dua langkah.
Jari-jemari Nisa terkepal
erat. Dia berusaha menahan amarahnya yang semakin memuncak.
“Nisa, Ibu sayang Nisa
dan Fahkri. Ibu tahu, Ibu egois. Tapi, Ibu sayang kalian. Ibu pergi karena Ibu
nggak ingin terus menyakiti Ayah kamu.”
Nisa terdiam, dia tak
berminat untuk menyela segala alibi yang dituturkan Ibunya.
“Ibu menikah dengan
Ayahmu karena Ibu tak bisa menolak permintaan Nenek kamu. Sejak dulu, sejak Ibu
masih sekolah, Nenek sudah menjodohkan Ibu dengan Ayahmu. Ibu berusaha untuk
menolak. Tapi, Nenek yang sifatnya tak bisa dibantah tetap memaksa Ibu untuk
menikah dengan Ayahmu.
Ibu menghela napas, lalu
melanjutkannya. “Dua puluh tahun Ibu berusaha untuk tetap bersama Ayahmu. Ayahmu
sejak awal tahu Ibu mencintai Om Erza. Saat Ibu bicara pada Ayahmu, kalau Ibu
bertemu lagi dengan Om Erza yang ternyata masih mencintai Ibu, sampai-sampai Om
Erza tak pernah menikah – Ayah mengizinkan Ibu untuk pergi. Dengan syarat,
kalian tetap bersamanya.”
“Dan, Ibu pergi!”
Satu kalimat Nisa
langsung membungkam Ibu.
“Nis, kalau kamu sudah
dewasa, kamu akan paham situasi ini. Apa Nisa tega melihat Ayah tetap bersama
wanita yang tak mencintai Ayah?” Ayah Nisa tersenyum. Dia memang sudah ikhlas
akan kepergian istrinya untuk laki-laki lain.
“Tapi, Ayah mencintai
Ibu, kan?” Mata Nisa berubah sendu saat menatap Ayahnya.
Ayah mengangguk, “Tapi,
Ayah memilih tidak bersama Ibu yang tidak bisa memberi Ayah cinta, Nis. Ayah
punya kamu dan Fakhri yang jelas-jelas cinta sama Ayah. Itu cukup, Nis. Sudah
sangat cukup.”
Nisa tak ingin menangis.
Tapi, kata-kata Ayahnya terlalu mencengkram hatinya.
“Ikhlasin Ibu untuk Om
Erza, Nis. Walaupun Ibu sudah tak bersama Ayah, Ibu tetap akan ada buat kamu
dan Fakhri. Ibu tetap akan sayang sama kamu dan Fakhri, sampai kapanpun, Nis.”
Ayah memeluk putri tersayangnya.
Tangis Nisa pecah. Dia
sadar, dia memang harus memaafkan Ibunya. Dia harus belajar ikhlas seperti Ayahnya.
“Maafkan Ibu, Nis. Ibu
janji, Ibu akan berusaha jadi Ibu yang baik buat kamu dan Fakhri.” Ibu Nisa
menyentuh lengan Nisa. Tapi, Nisa memilih tetap berada di pelukan ayahnya.
“Nis, maafkan Ibu, Nis!”
Ibu terduduk di bawah kaki Nisa. “Ibu tahu, Ibu jahat! Tapi, Maafkan Ibu, Nis!”
Tangis Nisa makin
kencang.
“Maafkan Ibumu, Nis!”
Ayah berbisik pelan. “Buat apa membenci? Membenci tak akan bisa memperbaiki
keadaan. Yang ada, masalah tak akan pernah selesai.”
Nisa mengangguk dalam
pelukan Ayahnya. Ayah tersenyum, “Katakan pada Ibumu, kalau kamu sudah
memaafkannya, Nis.”
Perlahan, Nisa melepas
pelukan Ayahnya. Dia menatap Ibunya yang masih terduduk di bawah. Wajahnya tertunduk,
sedu-sedannya terdengar begitu menyayat hati.
Nisa ikut duduk di depan
Ibunya. “Aku maafin, Ibu.”
Ibu Nisa mengangkat
wajahnya, menatap putrinya yang selama hampir setengah tahun tak ingin
menemuinya. Tangan Ibu terbuka, mengharap pelukan Nisa.
Dengan ragu Nisa
mendekat, dan masuk dalam pelukan Ibunya.
“Terima kasih, Nisa.
Terima kasih.” Ibu Nisa mencium kepala Nisa. Senyum tersungging di bibir wanita
itu. Dadanya terasa mengembang karena bebannya perlahan terangkat.
Mata Ibu terarah ke
mantan suaminya, “Terima kasih Mas Reza. Aku tahu, kamu adalah laki-laki yang
baik. Sudah sekian dalam aku menyakitimu, tapi kamu masih mau menolongku untuk
meminta maaf pada Nisa.”
Ayah Nisa tersenyum, dia
mengangguk.
Om Erza mendekat. Dia
mengelus pelan bahu istrinya. Hatinya ikut lega, rasa bersalahnya sedikit berkurang meskipun tak hilang,
mungkin malah tak akan pernah hilang.
Dalam pelukan Ibunya,
Nisa mulai mengingat masa-masa kecilnya. Pelukan itu masih sama hangatnya,
belaian tangan Ibu masih sangat membuainya. Beliau masih Ibunya yang dulu, meski
tak sepenuhnya sama seperti waktu itu.
Kenapa waktu selalu
merubah segala hal? Untungnya, waktu tidak membawa kasih sayang Ibu untuk
anaknya pergi, bagaimana pun kondisinya.
---D---
NB : Cerpen ini terinspirasi dari sekelumit kisah hidup seorang artis dan kedua anaknya. Yang suka lihat gosip pasti tahu siapa yang aku maksud. Dan, nama tokoh-tokohnya diambil dari nama anak-anak Alumni Kampus Fiksi. Maaf, menggunakan nama kalian, sekedar untuk memacu semangat menulis.
kesan pas baca: mbak Di, gimana caranya bisa menghayati ceritamu kalau aku kedistrak sama nama tokohnya? :(
ReplyDeleteAhahahha... anggap aja mereka orang lain mbak
ReplyDeleteAku ngga pernah liat gosip yang bagian artis ini ka haha
ReplyDelete