Penulis : Morra Quatro
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Adult, Family Drama,
Perbedaan Agama
Terbit : 2015
Tebal : viii + 280 halaman
ISBN : 979 – 780 – 833 – 5
Harga : Rp. 56.000
Andaikan bisa menentukan,
manusia pasti akan menentukan apapun yang terbaik untuknya, apapun yang tidak
akan mempersulit hidupnya, sebuah pilihan yang tampak menyenangkan dan hadir
begitu pas untuk dirinya.
Sayang sekali, manusia
tidak berhak menentukan jalan hidupnya, tapi manusia bisa memilih, menggeser
sedikit takdir meskipun takdir itupun sebenarnya sudah ditentukan sejak sebelum
dia ada.
Kamila, dia tidak memilih
menjadi seorang dengan sebutan Anal, dia tidak memilih menjadi seseorang yang
harus berjuang sendiri tanpa ibunya yang sudah meninggal, tanpa ayahnya yang
entah ke mana. Dan, Kamila juga tidak memilih untuk bertemu Jupiter, kemudian
jatuh cinta pada seorang laki-laki yang berbeda agama dengannya.
“Anal itu istilah psikoanalisis Freud, artinya orang yang sangat detail. Ingat
segala hal, menganalisis segala hal. Orang umumnya nggak suka sama orang dengan
kebiasaan ini. Annoying. Aku selalu
dijuluki begitu sejak ospek gara-gara selalu tunjuk tangan tiap ada
pertanyaan.” – Kamila – hlm. 27
Jupiter – Piter, tidak menganggap perbedaan
mereka sebagai halangan. Piter mencintai Kamila, sangat mencintainya, hingga
perbedaan itu menjadi begitu indah di matanya. Dia akan berusaha menyeberangi
perbedaan itu sampai ujung.
“Berdoalah dulu kepada Tuhan-mu. Aku akan
menunggu di sini. Aku tak tahu, apa aku diizinkan masuk. Jadi aku akan
menunggu. Di sini.” –
Jupiter – hlm. 86
Kamila berhasil merubah
Jupiter dari Jupiter yang lebih sering membolos di jam kuliah, lebih senang
berpenampilan serampangan, tak benar-benar memikirkan nilainya. Menjadi Jupiter
yang sibuk membaca berbagai buku, bahkan bertekat mendapat nilai yang baik.
Semua demi Kamila, si asisten dosen di kelas ilmu sosialnya.
“Keluar jalur, dan berbalik arah sekalipun, mungkin
sebenarnya tak apa-apa. Bukankah lebih baik menyesal karena melakukan sesuatu
dari pada menyesal karena tidak melakukannya? Setidaknya, kelak ia tak perlu
bertanya-tanya, andai saja ia berani menghubungi. Setidaknya, pada kemudian
hari , tak akan ada keinginan yang penuh sesal untuk memutar balik waktu dan
kembali ke malam ini.” – hlm. 73
Jupiter mencintai Kamila,
sangat mencintainya. Tapi, perbedaan agama selalu menjadi bagian yang terlalu
sulit untuk ditemukan solusi terbaiknya, sejak dulu, sejak masalah ini ada. Lalu,
bagaimana cara mereka menyelesaikannya? Finn dan Anjani – sepasang kekasih
berbeda agama – banyak sekali memberi mereka pandangan. Dan, mereka ternyata
punya ujung yang tak bisa diharapkan.
Bagaimana dengan Kamila
dan Jupiter? Akankah ujung kisah mereka berbeda dari Finn dan Anjani? Mereka
selalu berharap begitu.
“Apa yang berbeda itu memang tidak
pantas bersama? Kalau begitu, mengapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda?
Padahal, sesungguhnya – sesungguhnya, bila Aku kehendaki, maka Aku jadikan kalian satu kaum.” –hlm. 167
What If, satu lagi karya Morra Quatro yang tidak sekedar bertutur tentang cinta.
Dia selalu menuliskan kisah yang agak berbeda dari novel roman pada umumnya.
Kali ini, Morra Quatro mencampurkan unsur agama dan sosial politik yang sangat
kental dalam ceritanya.
Kamila, cewek bertubuh
mungil, yang punya otak encer, kritis, dan sangat detail. Dia tak banyak punya
teman karena kebiasaannya yang disebut ‘anal’. Bukan anal dalam dunia seks, ini
istilah lain dari psikoanalisis Freud,
artinya orang yang sangat detail.
Sedangkan Jupiter, dia
hadir sebagai cowok penuh pesona namun tak pernah serius dengan hidupnya. Bisa
dibilang, Jupiter ini bad boy.
“Mengenal orang itu seperti mengupas
bawang. Selapis demi selapis, dan kadang-kadang membuat kita menangis. Saat itu
mungkin akan tiba, bagi Piter tak mengapa.” – hlm. 101
Bagian yang paling aku
suka adalah saat pertemuan pertama kali Jupiter dan Kamila di lapangan basket
siang itu. Kamila berseru, “Oh, God.”
Kemudian Jupiter menimpali dengan cueknya, “Father,
Son, and the Holy Ghost.” Jupiter menyambung kata-kata Kamila menjadi
sebuah lirik lagu berjudul American Pie
yang dinyanyikan Don McLean. Percakapan ringan mereka mengalir begitu saja. Sampai
pada akhirnya, Jupiter memancing Kamila dengan meminta nomor teleponnya.
Satu lagi bagian yang aku
suka, saat Jupiter mengantar Kamila ke rumahnya. Kamila memilih menggeser kursi
ke samping, hanya karena dia tak ingin bertatapan langsung dengan Jupiter.
“Nggak mau duduk di situ.” – Kamila
“Kenapa? Ada pakunya?” – Jupiter
“Nggak.”
“Kamila. Kenapa, sih?”
“Kalau duduk di situ, aku mesti– ”
“Mesti apa?”
“Aku mesti berhadapan langsung sama kamu, oke? Aku nggak
mau.”
“Duduk di situ. Kalau harus lihat-lihatan sama aku, memangnya
kenapa?” – hlm. 93
Meskipun Jupiter itu
kristiani, dia tahu sebuah kisah tentang Mikail yang mengekang laju matahari
agar Ali bin Abi Thalib bisa ikut sholat berjemaah. Ali bin Abi Thalib telat
menuju ke Masjid karena tidak berani menyalip orang tua yang berjalan di
depannya. Dan tahukah kamu, orang tua itu beragama Nasrani. Meski begitu, Ali
bin Abi Thalib tetap menghormatinya tanpa mau tahu siapa orang tersebut.
Cerita dari Jupiter
kepada Kamila ini, seperti mengajari kita untuk selalu menghormati dan
menghargai semua orang, entah itu yang berbeda agama dengan kita, atau yang
lebih lebih kurang mampu dari kita. Sekarang ini, rasa saling menghormati dan
menghargai sudah mulai menipis. Hendaknya, dari kisah ini penulis mengharapkan
kita untuk mau kembali memupuk rasa persaudaraan antar sesama manusia, tanpa melihat
siapa mereka.
Jangan melihat sebuah
kisah cinta berbeda agama hanya dari sisi negatif saja. Kisah ini memang tampak
sia-sia. Tapi, menurutku tidak. Karena Jupiter yang jatuh cinta pada Kamila,
dia jadi banyak berubah. Jupiter jadi rajin kuliah, bahkan ada peningkatan
dalam nilai dan jumlah kehadiran di kelas. Bukankah ini terbukti, selalu ada
maksud Tuhan dalam setiap kehendak-Nya?
“Mengapa Tuhan bahkan memiringkan
matahari, menegakkan langit, menurunkan hujan? Mengapa Tuhan membuat daun
jatuh? Mengapa Tuhan membuat hati jatuh? Tuhan pasti sengaja. Memangnya Tuhan
pernah tidak sengaja? Menurut Piter, semua ini tak mungkin kebetulan, dengan
maksud apa pun itu.”
– hlm. 99
Lalu tentang Pemilwa, dan
esai Jupiter yang dulu direbut Ali Akbar karena esai itu datang terlambat.
Ternyata, isi esai Jupiter bukan esai ecek-ecek. Kamila menyadari itu saat-saat
Pemilwa berlangsung. Ada sesuatu yang membuat Kamila harus berjuang untuk membuktikan
kalau esai itu menarik, dan Kamila ingin Ibu Miranda – Dosen Sospol Jupiter –
membacanya.
Perjuangan Kamila dan
Finn untuk membuktikan esai Jupiter menarik, benar-benar menegangkan. Termasuk,
suasana Pemilwa itu juga sangat terasa menegangkan, meskipun Kamila dan Jupiter
tidak terlibat langsung di dalamnya.
Kalau mau menelisih makna
dari konflik ini, kita bisa belajar bahwa, jangan menyepelekan apapun dari
seseorang yang tampak tidak kompeten. Mungkin, orang tersebut mempunyai kejutan
manis untuk kita.
“Manusia tak terbuat dari
angka-angka, tetapi kebanyakan mereka lupa. Itu sebabnya hidup kita melelahkan
dan kita begitu mudah merasa miskin.” – Finn – hlm. 247
Banyak hal menarik di
novel ini, termasuk bagaimana penulis memulai kisahnya. Bukan dari perkenalan
tokoh-tokohnya, tapi dari klimaks konfliknya. Setelah itu, baru masuk ke
perkenalan.
Memang novel ini
menggunakan POV 3, namun penulis mengenalkan Kamila dengan cara yang lain, dari
sudut pandang Finn dan Steven, dua sahabat baik Jupiter.
Alur ceritanya juga cukup
cepat, jadi nggak membosankan. Ada saja konflik yang diutarakan, nggak melulu
membahas kisah cinta Jupiter dan Kamila yang beda agama, ada konflik lain
tentang dunia perkuliahan, tentang Pemilwa, juga tentang kisah cinta beda agama
yang dilakoni orang lain.
Pilihan diksinya menarik,
berasa yang menulis mahasiswa jurusan Sospol. Infomasi tentang sospol, BEM, dan
lainnya tak sekedar ada, tapi menambah pengetahuan pembaca juga.
Tulisan Morra Quatro
memang selalu menarik, padat, dan nggak membosankan. Meskipun, jenis ending
yang dipilihnya, bukan jenis yang aku suka. Namun, entah kenapa aku selalu bisa
memberi pengecualian pada ending yang dia buat. Menurutku, kisah-kisah dalam
novel Morra Quatro itu seperti kopi, aku sudah tahu akan bertemu kisah yang
pahit, pilu, untung selalu ada manisnya walaupun sedikit. Namun, aku tetap saja
membukanya, dan sangat menikmatinya. Seperti, pahit yang adiktif.
Nama-nama yang dipilihnya
juga sangat indah. Rasanya, sesekali bisa memilih satu nama yang dibuat Morra
Quatro untuk dijadikan nama keponakan, atau anakku kelak.
Sayangnya, konflik
keluarga Kamila dan Jupiter tidak dibahas secara rinci. Padahal, memunculkan
sebuah konflik, berarti berkewajiban untuk menjelaskan dan kalau bisa
menyelesaikan di akhir cerita.
Rating untuk novel ini
3,8 dari 5 bintang.
Oh iya, desain covernya cantik.
No comments:
Post a Comment