Saturday, November 28, 2015

Resensi – WHAT IF “Dimana ujung perbedaan itu?”

Tulisan ini diikutkan dalam

Penulis : Morra Quatro
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Adult, Family Drama, Perbedaan Agama
Terbit : 2015
Tebal : viii + 280 halaman
ISBN : 979 – 780 – 833 – 5
Harga : Rp. 56.000

Andaikan bisa menentukan, manusia pasti akan menentukan apapun yang terbaik untuknya, apapun yang tidak akan mempersulit hidupnya, sebuah pilihan yang tampak menyenangkan dan hadir begitu pas untuk dirinya.
Sayang sekali, manusia tidak berhak menentukan jalan hidupnya, tapi manusia bisa memilih, menggeser sedikit takdir meskipun takdir itupun sebenarnya sudah ditentukan sejak sebelum dia ada.
Kamila, dia tidak memilih menjadi seorang dengan sebutan Anal, dia tidak memilih menjadi seseorang yang harus berjuang sendiri tanpa ibunya yang sudah meninggal, tanpa ayahnya yang entah ke mana. Dan, Kamila juga tidak memilih untuk bertemu Jupiter, kemudian jatuh cinta pada seorang laki-laki yang berbeda agama dengannya.
“Anal itu istilah psikoanalisis Freud, artinya orang yang sangat detail. Ingat segala hal, menganalisis segala hal. Orang umumnya nggak suka sama orang dengan kebiasaan ini. Annoying. Aku selalu dijuluki begitu sejak ospek gara-gara selalu tunjuk tangan tiap ada pertanyaan.” – Kamila – hlm. 27

 Jupiter – Piter, tidak menganggap perbedaan mereka sebagai halangan. Piter mencintai Kamila, sangat mencintainya, hingga perbedaan itu menjadi begitu indah di matanya. Dia akan berusaha menyeberangi perbedaan itu sampai ujung.
“Berdoalah dulu kepada Tuhan-mu. Aku akan menunggu di sini. Aku tak tahu, apa aku diizinkan masuk. Jadi aku akan menunggu. Di sini.” – Jupiter – hlm. 86
  
Kamila berhasil merubah Jupiter dari Jupiter yang lebih sering membolos di jam kuliah, lebih senang berpenampilan serampangan, tak benar-benar memikirkan nilainya. Menjadi Jupiter yang sibuk membaca berbagai buku, bahkan bertekat mendapat nilai yang baik. Semua demi Kamila, si asisten dosen di kelas ilmu sosialnya.
“Keluar jalur, dan berbalik arah sekalipun, mungkin sebenarnya tak apa-apa. Bukankah lebih baik menyesal karena melakukan sesuatu dari pada menyesal karena tidak melakukannya? Setidaknya, kelak ia tak perlu bertanya-tanya, andai saja ia berani menghubungi. Setidaknya, pada kemudian hari , tak akan ada keinginan yang penuh sesal untuk memutar balik waktu dan kembali ke malam ini.” – hlm. 73

Jupiter mencintai Kamila, sangat mencintainya. Tapi, perbedaan agama selalu menjadi bagian yang terlalu sulit untuk ditemukan solusi terbaiknya, sejak dulu, sejak masalah ini ada. Lalu, bagaimana cara mereka menyelesaikannya? Finn dan Anjani – sepasang kekasih berbeda agama – banyak sekali memberi mereka pandangan. Dan, mereka ternyata punya ujung yang tak bisa diharapkan.
Bagaimana dengan Kamila dan Jupiter? Akankah ujung kisah mereka berbeda dari Finn dan Anjani? Mereka selalu berharap begitu.
“Apa yang berbeda itu memang tidak pantas bersama? Kalau begitu, mengapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda? Padahal, sesungguhnya – sesungguhnya, bila Aku kehendaki, maka Aku jadikan kalian satu kaum. –hlm. 167

What If, satu lagi karya Morra Quatro yang tidak sekedar bertutur tentang cinta. Dia selalu menuliskan kisah yang agak berbeda dari novel roman pada umumnya. Kali ini, Morra Quatro mencampurkan unsur agama dan sosial politik yang sangat kental dalam ceritanya.
Kamila, cewek bertubuh mungil, yang punya otak encer, kritis, dan sangat detail. Dia tak banyak punya teman karena kebiasaannya yang disebut ‘anal’. Bukan anal dalam dunia seks, ini istilah lain dari psikoanalisis Freud, artinya orang yang sangat detail.
Sedangkan Jupiter, dia hadir sebagai cowok penuh pesona namun tak pernah serius dengan hidupnya. Bisa dibilang, Jupiter ini bad boy.
“Mengenal orang itu seperti mengupas bawang. Selapis demi selapis, dan kadang-kadang membuat kita menangis. Saat itu mungkin akan tiba, bagi Piter tak mengapa.” – hlm. 101

Bagian yang paling aku suka adalah saat pertemuan pertama kali Jupiter dan Kamila di lapangan basket siang itu. Kamila berseru, “Oh, God.” Kemudian Jupiter menimpali dengan cueknya, “Father, Son, and the Holy Ghost.” Jupiter menyambung kata-kata Kamila menjadi sebuah lirik lagu berjudul American Pie yang dinyanyikan Don McLean. Percakapan ringan mereka mengalir begitu saja. Sampai pada akhirnya, Jupiter memancing Kamila dengan meminta nomor teleponnya.
Satu lagi bagian yang aku suka, saat Jupiter mengantar Kamila ke rumahnya. Kamila memilih menggeser kursi ke samping, hanya karena dia tak ingin bertatapan langsung dengan Jupiter.
“Nggak mau duduk di situ.” – Kamila
“Kenapa? Ada pakunya?” – Jupiter
“Nggak.”
“Kamila. Kenapa, sih?”
“Kalau duduk di situ, aku mesti– ”
“Mesti apa?”
“Aku mesti berhadapan langsung sama kamu, oke? Aku nggak mau.”
“Duduk di situ. Kalau harus lihat-lihatan sama aku, memangnya kenapa?” – hlm. 93

Meskipun Jupiter itu kristiani, dia tahu sebuah kisah tentang Mikail yang mengekang laju matahari agar Ali bin Abi Thalib bisa ikut sholat berjemaah. Ali bin Abi Thalib telat menuju ke Masjid karena tidak berani menyalip orang tua yang berjalan di depannya. Dan tahukah kamu, orang tua itu beragama Nasrani. Meski begitu, Ali bin Abi Thalib tetap menghormatinya tanpa mau tahu siapa orang tersebut.
Cerita dari Jupiter kepada Kamila ini, seperti mengajari kita untuk selalu menghormati dan menghargai semua orang, entah itu yang berbeda agama dengan kita, atau yang lebih lebih kurang mampu dari kita. Sekarang ini, rasa saling menghormati dan menghargai sudah mulai menipis. Hendaknya, dari kisah ini penulis mengharapkan kita untuk mau kembali memupuk rasa persaudaraan antar sesama manusia, tanpa melihat siapa mereka.
Jangan melihat sebuah kisah cinta berbeda agama hanya dari sisi negatif saja. Kisah ini memang tampak sia-sia. Tapi, menurutku tidak. Karena Jupiter yang jatuh cinta pada Kamila, dia jadi banyak berubah. Jupiter jadi rajin kuliah, bahkan ada peningkatan dalam nilai dan jumlah kehadiran di kelas. Bukankah ini terbukti, selalu ada maksud Tuhan dalam setiap kehendak-Nya?
“Mengapa Tuhan bahkan memiringkan matahari, menegakkan langit, menurunkan hujan? Mengapa Tuhan membuat daun jatuh? Mengapa Tuhan membuat hati jatuh? Tuhan pasti sengaja. Memangnya Tuhan pernah tidak sengaja? Menurut Piter, semua ini tak mungkin kebetulan, dengan maksud apa pun itu.” – hlm. 99

Lalu tentang Pemilwa, dan esai Jupiter yang dulu direbut Ali Akbar karena esai itu datang terlambat. Ternyata, isi esai Jupiter bukan esai ecek-ecek. Kamila menyadari itu saat-saat Pemilwa berlangsung. Ada sesuatu yang membuat Kamila harus berjuang untuk membuktikan kalau esai itu menarik, dan Kamila ingin Ibu Miranda – Dosen Sospol Jupiter – membacanya.
Perjuangan Kamila dan Finn untuk membuktikan esai Jupiter menarik, benar-benar menegangkan. Termasuk, suasana Pemilwa itu juga sangat terasa menegangkan, meskipun Kamila dan Jupiter tidak terlibat langsung di dalamnya.
Kalau mau menelisih makna dari konflik ini, kita bisa belajar bahwa, jangan menyepelekan apapun dari seseorang yang tampak tidak kompeten. Mungkin, orang tersebut mempunyai kejutan manis untuk kita.
“Manusia tak terbuat dari angka-angka, tetapi kebanyakan mereka lupa. Itu sebabnya hidup kita melelahkan dan kita begitu mudah merasa miskin.” – Finn – hlm. 247

Banyak hal menarik di novel ini, termasuk bagaimana penulis memulai kisahnya. Bukan dari perkenalan tokoh-tokohnya, tapi dari klimaks konfliknya. Setelah itu, baru masuk ke perkenalan.
Memang novel ini menggunakan POV 3, namun penulis mengenalkan Kamila dengan cara yang lain, dari sudut pandang Finn dan Steven, dua sahabat baik Jupiter.
Alur ceritanya juga cukup cepat, jadi nggak membosankan. Ada saja konflik yang diutarakan, nggak melulu membahas kisah cinta Jupiter dan Kamila yang beda agama, ada konflik lain tentang dunia perkuliahan, tentang Pemilwa, juga tentang kisah cinta beda agama yang dilakoni orang lain.
Pilihan diksinya menarik, berasa yang menulis mahasiswa jurusan Sospol. Infomasi tentang sospol, BEM, dan lainnya tak sekedar ada, tapi menambah pengetahuan pembaca juga.
Tulisan Morra Quatro memang selalu menarik, padat, dan nggak membosankan. Meskipun, jenis ending yang dipilihnya, bukan jenis yang aku suka. Namun, entah kenapa aku selalu bisa memberi pengecualian pada ending yang dia buat. Menurutku, kisah-kisah dalam novel Morra Quatro itu seperti kopi, aku sudah tahu akan bertemu kisah yang pahit, pilu, untung selalu ada manisnya walaupun sedikit. Namun, aku tetap saja membukanya, dan sangat menikmatinya. Seperti, pahit yang adiktif.
Nama-nama yang dipilihnya juga sangat indah. Rasanya, sesekali bisa memilih satu nama yang dibuat Morra Quatro untuk dijadikan nama keponakan, atau anakku kelak.
Sayangnya, konflik keluarga Kamila dan Jupiter tidak dibahas secara rinci. Padahal, memunculkan sebuah konflik, berarti berkewajiban untuk menjelaskan dan kalau bisa menyelesaikan di akhir cerita.
Rating untuk novel ini 3,8 dari 5 bintang.
Oh iya, desain covernya cantik.

No comments:

Post a Comment