Penulis : Robin Wijaya
Penerbit : Gagasmedia
Tahun Terbit : 2013
Halaman : x + 374 hlm
ISBN 979 – 780 – 614 – 9
Harga : Rp. 53.000
Leonardo Halim pria asal Indonesia yang mulai melebaran
sayapnya ke kancah Internasional. Dia baru saja mengikuti pameran di Roma. Dan,
sebuah karyanya yang berjudul Tedak Siten mempertemukannya dengan Felice, gadis
asal Indonesa yang bekerja di KBRI.
Namun, pertemuan mereka meninggalkan kesan yang tidak
menyenangkan. Anehnya, sesuatu yang tidak menyenangkan itu mengambil tempat
dalam memorinya.
"Bayangan dan tingkah polah perempuan itu
masih melekat jelas dalam kepalanya. Aneh, mestinya sesuatu yang menyebalkan
harus segera diusir pergi, bukan malah berdiam dan mengambil tempat dalam
memori.... Kejadian hari ini... Mungkin
ia akan ingat selamanya." Hal 55
Dari pertemuan itu, Felice diam-diam menaruh ketertarikan
yang tak disadarinya, atau dia sadar namun tak mengakuinya. Buktinya, saat dia
menemukan nama Leonardo Halim di selembar poster pameran karya seni di Bali,
dia bertekat datang ke sana dan akhirnya mereka bertemu kembali.
Kemudian, Bali membuat mereka semakin dekat. Diam-diam hati
masing-masing yang sudah berpenghuni mulai mengosongkan sebagian hatinya.
Mereka menaruh rasa yang lain di sana. Membuat mereka bimbang dengan cinta yang
lebih dulu datang─terasa tak sama lagi.
Novel Roma : Con Amore
adalah novel dengan konflik yang sangat kompleks. Kita disuguhi berbagai
masalah mulai dari obesesi, kekecewaan dalam keluarga, sampai cinta yang mulai
berubah. Semua dikemas dengan kata-kata melankolis ala Robin Wijaya.
“Kita tidak bisa menggunakan satu alasan
hanya untuk mengorbankan kepentingan orang lain, Felice. Satu keburukan tidak
pernah pantas untuk mengalahkan sepuluh kebaikan. Kamu mesti pikirkan itu.”
– Tenny – hal 127
Di novel ini, penulis bercerita dengan cara yang membuat
pembaca penasaran. Dia seringkali tidak memberi penyebab suatu masalah di
mulai. Dia langsung menempatkan masalah itu pada poinnya, dan sesekali
menyelipkan clue penyebabnya, membuat pembaca ingin segera menemukan
jawabannya. Itulah yang membuat kita selalu ingin terus membaca.
Seperti siapa Marla itu sebenarnya, kenapa dia selalu berada
di dekat Leo. Pada awalnya, penulis tak memperlihatkan kemesraan ala kekasih.
Jadi, aku mengira awalnya Marla hanya sahabat sesama pelukis. Namun, saat
setting sudah berpindah ke Jakarta, peran Marla mulai terlihat.
Kemudian, konflik Felice dan mamanya. Pembaca tak akan tahu
kenapa Felice enggan pulang ke Indonesia, sekalipun dia sangat ingin menghadiri
pernikahan kakaknya. Ternyata jawabanya ada di saat Felice ke Bali dan bertemu
mamanya kembali.
Konflik-konflik itu diselesaikan dengan berbagai kata-kata
cantik yang menjadi bagian istimewa novel ini.
“…. Ingatlah selalu Felice, kalau cinta akan berawal
dan berakhir di tempat yang sama. Sejauh apa pun kamu pergi, pintu rumah akan
selalu menantimu kembali.” – Mama Felice – hal 324.
“Lingkaran hanya untuk lingkaran. Persegi hanya untuk
persegi. Perasaan pun memiliki ruang untuk berbagi. Aku hanya kurang beruntung
tidak menjadi tempat tersebut bagimu.” – Marla – hal. 332
“Felice, kamu tahu kenapa kita membenci seseorang?
Sering kali karena kita menaruh cinta yang begitu besar dan lupa akan resiko
dikecewakan. Padahal cinta menerima segalanya. Cinta adalah tentang kekurangan
dan kelebihan.” – Tenny
– hal. 341
Sayangnya hubungan Felice dan Leo kurang dibangun secara
alami. Menurutku, kisah mereka terlalu singkat dengan adegan-adegan yang
harusnya benar-benar bisa selalu diingat. Lalu, Settingnya juga kurang berperan
secara istimewa. Padahal, STPC selalu menonjolkan settingnya.
Untungnya, Penulis membuat kisahnya tetap punya daya tarik
sendiri dengan menghadirkan kisah-kisah hidup para seniman seperti Michelangelo
dan beberapa seniman lainnya. Kita yang buta akan seni Lukis tetap akan terasa
mengenal bidang ini, bahkan kita bisa tahu lika-liku dan serba serbinya.
Termasuk pengetahuan tentang berbagai karya seni terkenal dan berharga, serta
seperti apa kisah di baliknya. Empat jempol untuk risetnya yang terasa sangat
nyata.
Bagi penyuka Liga Calcio, kita juga bisa menikmati dunia
kulit bundar di sini. Sedikit info bagaimana susana serunya antusias para
Italiano mendukung para idolanya, dan antusias menghadapi piala dunia yang akan
segera digelar akan dibagikan sebagai pemanis yang menarik.
Dan, aku memberikan nilai 2,7 dari 5 bintang untuk novel ini.
Kak Dian, salam kenal yah :D
ReplyDeleteResensinya keren, jadi penasaran sama bukunya
Hai, Nurman.
ReplyDeleteMakasih udah komen.
Hehehehe... semoga segera bisa baca bukunya ya, biar g penasaran lagi. :)
emang bener ya, ternyata lukisan yang ada gerejanya itu kan ada perempuan nya, itu si felice?
ReplyDeleteKalo yg kamu maksud di lukisan the lady, itu bukan Felice, tapi wanita yang dulu pernah di temui kakek Leo. Kakek Leo bercerita tentang sosok itu, dan Leo berusaha mengabadikan cerita kakeknya melalui lukisan The Lady. Tapi, untuk lukisan yang jadi lukisan utama di pameran tunggal Leo, nah itu baru Felice.
ReplyDeleteyang di buatin sketsa ya?
ReplyDeleteaku suka ceritanya deh, kasihan marla nya. padalah di awal leo-marla so sweet abis>.<