Penulis : Riawani Elyta & Syila Fatar
Penerbit : Moka Media
Genre : a Science Fiction Novel
Kategori : Young Adult, Alien, Sejarah
Terbit : 2014
Tebal vi + 296 hlm
ISBN : 979 – 795 – 874 – 4
Harga : Rp. 69.000
Areta Prameswari, siswa SMU yang sangat
tertarik pada bidang sejarah, terutama pada manusia purba Pithecanthropus erectus. Hobinya ini membuat Areta tampak berbeda
dari remaja seusianya yang lebih suka membicarakan tentang hal-hal yang sedang booming saat ini. Dia lebih suka membaca
buku-buku yang membahasa tentang apa saja yang berhubungan dengan fosil dan
peninggalan purba kala.
Areta mempunyai seorang teman dunia maya
bernama Harry Dubois. Dia adalah cicit dari Eugene Dubois, si penemu fosil terbanyak di tanah Jawa. Pemuda
ini mempunyai minat yang sama dengan Areta.
Saat chatting
dengan Harry, Areta diberitahu bahwa Ayah Harry mendapat sebuah penemuan baru
tentang fosil Pithecanthropus yang
baru saja ditelitinya di Trinil, Ngawi. Mereka alien. Benarkah? Areta belum bisa percaya sepenuhnya.
“Terlepas soal rasa penasarannya tentang
alien, seperti yang dikatakan Harry, jauh dilubuk hati, Areta ingin sekali
membuktikan pada teman-temannya, bahwa tulang belulang manusia purba itu bukan
benda kuno yang tidak berharga.” – hlm. 38
Saat liburan, Areta meminta ijin untuk ke
rumah Neneknya yang berada di Ngawi. Dia ke sana ingin mengunjungi sebuah
Museum yang menyimpan banyak sekali fosil dari manusia purba. Dan kebetulan, di
Museum Trinil baru saja ditemukan satu tengkorak yang diperkirakan tengkorak
bayi Pithecanthropus erectus.
Anehnya, tengkorak tersebut sama persis dengan
tengkorak yang Areta temukan di kamar misterius neneknya. Dan, kata sang nenek,
itu tengkorak bibi Tyar, kakak Ayah Areta.
Nggak mungkin tengkorak homo sapiens atau manusia modern berbentuk mirip Pithecanthropus erectus. Apa mungkin
nenek benar-benar mempunyai kelainan jiwa seperti yang dikatakan ayah dan ibu
Areta? Atau tengkorak itu sebenarnya tengkorak Pithecanthropus yang nenek temukan sendiri dan menganggap itu
adalah tengkorak anaknya yang sudah mati?
“Beyond the
world, beyond the civilization, when no one has gone before. Hm, apa itu teori yang bisa dikembangkan? Sekelompok
manusia yang hilang karena telah pergi ke semesta yang lain?” – hlm. 58
Rasa penasaran yang begitu besar di benak
Areta, membuat gadis ini memutuskan kabur dari rumah dan kembali ke Ngawi, ke
rumah sang Nenek. Saat itulah cerita tentang Raja Cahaya bergulir mulus dari
bibir tuanya. Dan kejadian yang tak pernah bisa diterima akal sehat, membawa Areta
ke dunia yang lain, dunia alien, dunia dimana Pithecanthropus benar-benar ada dan mengancam kelangsungan hidup
manusia di bumi.
“Bumi ini milik kami, bangsa pertama yang
mendiami bumi. Manusia hanya bisa merusaknya.” – Blark – hlm 131
Areta bertekat, dia harus menyelamatkan para perempuan
yang ditawan bangsa Pithe. Para perempuan-perempuan kubah hutan yang dijadikan
inang untuk memperbanyak bangsa mereka. Dan dia harus bisa melakukannya, karena
dia sendiri tidak ingin menjadi Ratu bangsa Pithecanthropus.
“Dan mereka harus pulang, karena rumah mereka
adalah di bumi. Mana mungkin mereka merelakan dirinya diculik, meninggalkan
semua kehidupan normal mereka di bumi demi melahirkan bayi Pithe?” – hlm. 157
Gerbang Trinil, sebuah novel science fiction yang ber-setting di kota kelahiranku, Ngawi. Dan,
novel genre sci-fi pertama yang aku
resensi.
Novel ini mengangkat tentang manusia purba
yang ternyata belum punah. Mereka masih ada dan hidup sebagai alien yang
mencoba berbuat jahat pada bangsa manusia.
Mereka menculik para wanita untuk dijadikan
inang dari anak-anak mereka. Para Pithe berusaha memusnahkan populasi manusia
dengan teknologinya. Dan mereka menghisap nera atau sumsum tulang belakang
manusia agar bisa bertahan hidup.
“Kita masih satu genus, seharusnya kita tidak
menjadi predator satu sama lain. Kehidupan yang telah kami lampaui membuat kami
seharusnya banyak belajar. Bahwa bumi, bukan untuk kami lagi.” – Mlaar – hlm. 263
Penulis tidak menjadikan novel ini terlalu
sekedar fokus pada alien dan fosil. Ada unsur romance yang sangat soft, juga
permasalahan seputar keluarga dan remaja pada umumnya.
Karakter Areta yang diciptakan berotak encer
dengan tekat yang kuat untuk sebuah keinginan, membuat aura Areta menguar hebat.
Dia bukan tipe cewek penakut. Rasa ingin tahunya membimbing Areta menemukan
apapun yang diinginkannya. Sedikit intrik romance
Areta dan Andri menjadikan novel ini ada rasa manisnya.
Sedangkan Nenek Prameswari, dia benar-benar
kelihatan misterius. Sayangnya, untuk tokoh yang lain kurang terasa kuat. Juga,
masih ada satu atau dua typo.
Tapi nggak masalah-lah, karena aku sangat
menikmati novel ini, sampai-sampai hanya setengah hari saja aku selesai
membacanya. Alurnya mengalir ringan dengan gaya bercerita yang tidak membuat pusing
meskipun ini novel sci-fi.
Yang menjadikan novel ini begitu menarik buat
aku adalah setting-nya, Ngawi. Aku
mengenal Ngawi sejak aku lahir. Dan, saat di angkat ke sebuah cerita, apalagi
cerita sci-fi begini terasa amazing
banget.
Dan, Museum Trinil. Aku cukup mengenal tempat
ini karena beberapa kali ke sana. Meskipun tidak detail sekali, tapi setting-nya sudah cukup mewakili.
Gerbang pintu masuknya, dua gading tiruan di pintu masuk museum, dan patung gajah
purba, mereka memang ciri khas Museum ini.
Namun,
ada lho sesuatu yang baru aku tahu. Di Museum Trinil memang ada
monumen kecil. Aku sempat membaca kodenya dan berfoto di sana. Di buku
ini, Reza yang menjadi Kepala Museum Trinil mengatakan bahwa, "Pada
jarak 175 meter dari sini, jika berjalan mengikuti arah anak panah, kita
akan sampai di tempat Eugene Dubois melakukan penggalihanpada tahun
1891 sampai dengan 1895 saat ia menemukan fosil Pithecanthropus erectus."
Ini foto lawas yang aku ambil di monumen Museum Trinil |
Saat membaca halaman 112 tentang Hotel
Sukowati yang dikatakan hotel dengan tarif termahal di kota Ngawi, aku sedikit
menarik ujung bibirku. Benarkah? Aku baru tahu tarif Hotel Sukowati itu paling mahal.
Yah, jelas aku nggak tahu, karena aku kan orang Ngawi, masak mau nginep di hotel
yang dekat dengan rumahku? Kurang kerjaan banget. Eh, tapi penasaran juga, sih.
Berapa ya, kira-kira?
Setting dunia Pithecanthropus, yang terdapat
di sebuah pesawat luar angkasa, dengan segala kecanggihannya dicoba dijelaskan
sedetail mungkin. Perpindahan Areta dari bumi, ke dunia yang lainpun tampak
bisa digambarkan dengan cukup sempurna.
Endingnya, punya sesuatu yang lain. Sesuatu
yang nggak tertebak malahan. Kehadiran Mala dan Mlaar juga menambah twist
tersendiri dalam cerita.
Rating novel ini 3,5 dari 5 bintang.
terima kasih ya dian untuk resensinya, saya jadi pingin ke museum trinil :D
ReplyDeleteDi Ngawi banyak tempat bagus mbak. Main2lah ke sini :D
ReplyDeleteKalau ke Ngawi wajib nginep di Hotel Sukowati yaa, hehe.
ReplyDeleteMantabs resensinya, Dian.
Trima kasih Mbak Amelia :D
ReplyDelete