Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagasmedia
Terbit : 2013
Tebal : x + 330 hlm
ISBN : 979 – 780 – 653 – 7
Harga : Rp. 52.000
Terkadang, cinta punya jawabannya sendiri
untuk setiap kisah yang dimulainya. Dia bisa saja muncul dengan mengejutkan dan
tak terduga. Atau membuatkan kita kisah yang penuh misteri atau penuh dengan
keajaiban. Yah, inilah London, kisah Gilang yang mencari cinta di antara
muramnya London dan hujan yang akhirnya menjawab cintanya.
“Oke, teman-teman. Sudah kuputuskan. Aku akan
mengejar Ning ke London.” – Gilang –
Hlm. 28
Itulah yang diracaukan Gilang saat sebelum dia
teler karena bergelas-gelas Jack Daniel’s di Bureau. Dan perjalanannya mengejar
cinta Ning, dimulai.
Ning adalah sababat Gilang sejak kecil. Mereka
selalu bersama sampai-sampai Gilang perlu waktu cukup lama untuk menyadari
perasaannya pada Ning─bukan lagi perasaan sekedar persahabatan, namun sudah
berubah menjadi cinta. Sayang, Gilang tak juga berani mengatakan perasaan itu
meski dia tahu Ning akan pergi ke London, dan entah kapan dia punya kesempatan
menyatakan perasaannya.
"Maka,
atas nama cinta yang membebaskan, aku membiarkan gadisku terbang mengejar
mimpinya." – Gilang – Hlm. 87
Sekarang, setelah Ning jauh di bagian dunia
lain, Gilang benar-benar ingin Ning tahu perasaannya, bukan lewat Yahoo! Messenger, telepon, atau bahkan
sekedar email. Dia ingin mengatakan langsung di depan Ning.
Sayang, setalah melakukan penerbangan berjam-jam,
Ning tak bisa langsung dia temui. Tetangganya bilang, dia membawa koper kecil
dan sudah tiga hari tidak pulang.
Tak menemukan Ning, membuat Gilang menjelajahi
London sendirian. Dan, saat di London Eye,
dia bertemu Goldilocks, gadis hujan
yang memberikannya payung merah. Gadis yang membuat Gilang terpesona dengan
tidak wajarnya.
"Entah siapa gadis itu sebenarnya dan
mengapa kami terus-menerus bertemu tanpa sengaja, tetapi aku tidak bisa
memungkiri bahwa dia luar biasa memikat. Masih ingat apa yang kukatakan tentang malaikat? Indah dan terlalu
sempurna untuk menjadi manusia. Seperti itulah gadis di hadapanku
ini." – Gilang – Hlm. 187
Selama di London,
Gilang tinggal di Medge, penginapan
milik Madam Ellis, wanita paruh baya yang selalu muram. Dia juga mulai berteman
dengan Mister Lowesley, pemilik toko
buku di seberang penginapan Madge dan Ed,
pekerja penginapan yang ramah dan sedikit cerewet.
Kemudian dia juga bertemu Ayu, gadis asal Indonesia yang
terobsesi dengan buku Wuthering Heights
cetakan pertama. Dan anehnya, ia pun terus-menerus bertemu dengan Goldilocks
dan selalu berpisah dengan cara yang aneh.
“Barangkali, Goldilocks adalah malaikat.
Mendadak, aku menemukan ide absurd itu dalam benakku. Goldilocks selalu muncul
bersama hujan, bukan? Apakah itu juga kebetulan? Apakah ini masuk akal?” – Gilang – Hlm. 315
Saat akhirnya Gilang bertemu dengan Ning,
cewek ini membawanya berkeliling London, dan bagi Gilang ini kencan. Beberapa
kali dia ingin menyampaikan perasaannya, namun dia ragu. Dan, keraguan Gilang
diperparah karena kemunculan seorang seniman yang sangat dikagumi Ning.
Meski perasaan Gilang kacau karena pria itu,
dia cukup menikmati London karena kota ini mempertemukannya dengan
keajaiban-keajaiban hujan dan cinta dari orang-orang di sekitarnya. Lalu,
apakah Gilang juga menemukan keajaiban cintanya sendiri?
"Tidak ada
yang terenggut. Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. Kau hanya belum
menemukannya." – Goldilocks – Hlm. 320
Gilang, cowok melankolis yang terjebak dengan friend zone. Dia tipe cowok yang
berpikir panjang, membuatnya memendam cinta selama bertahun-tahun dengan
sahabatnya. Meskipun begitu, Gilang sangat menyenangkan, humoris, dan
perhatian.
Ning tipe perempuan yang pintar, dan ramai.
Dia mencintai seni lebih dari dia mencintai apapun di hidupnya. Makanya, dia
begitu menikmati hidupnya di London. Ning bukan orang yang sensitive pada
perasaannya. Dia tak akan tahu kalau dia dicintai oleh seseorang, sebelum orang
itu menyatakannya. Atau, dia tipe cewek yang mencoba menetralisir perasaan
cinta lawan jenisnya untuk dirinya dengan pura-pura tak mengenali sinyal dari
mereka.
Dalam novel ini, aku sangat menyukai kisah
Mister Lowesley dan Madam Ellis. Mereka bisa dibilang kisah lain yang serupa
dengan kisah Ning dan Gilang.
“Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia. Menunggu
seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia.” – Gilang – Hlm. 247
Kisah Gilang dan Goldilocks, perempuan yang tiba-tiba
muncul di hadapan Gilang saat hujan turun dan menghilang saat hujan reda. Dia
tampak menakjubkan dan menyebut namanya Angle. Dia bahkan memberikan Gilang
Payung merah─senada dengan warna kotak telepon di London─yang berhasil
menyatukan cinta beberapa orang yang meminjam payung itu.
Bagiku, novel ini sangat detail dalam
penyampaian setting, karakter, bahkan ekspresi tokohnya. Karena begitu detailnya,
rasanya London begitu nyata. Muramnya, gerimisnya, hebusan anginnya,
digambarkan dengan kata-kata dan kiasan yang… hem, bikin aku ngiri, kok bisa
bikin diskripsi monolog, namun tidak membosankan seperti diskripsi yang
disampaikan reporter?
Aku menyukai semua karakter dalam novel ini.
Meski banyak sekali karakternya, meski tokoh tersebut tidak mempunyai peran
besar, tokoh-tokoh tersebut tetap diciptakan dengan sangat detail, dan dengan
karakter yang unik, seperti Ed, atau penjaga Toko Jemes Smith & Son.
Satu lagi yang menarik, kebiasaan Gilang
memberikan nama pada orang-orang asing sesuai dengan nama tokoh dalam novel yang
pernah dibacanya─saat melihat mereka. Seperti seorang pria yang ditemuinya di
pesawat saat berangkat Ke London. Dia menamainya V, karena dia berdagu runcing
dan senyumnya penuh muslihat mengingatkan Gilang pada topeng Guy Fawkes yang
dikenalkan oleh Hugo Weaving dalam V for
Venttena.
Hanya ada satu kelemahan dalam novel ini,
kurang memacu adrenalin pembacanya, sedikit datar, dan terasa aman. Namun, mampu membuat pembaca tersenyum
bahagia di akhir cerita dan belajar banyak hal tentang cinta. Salah satunya,
merelakan cinta memilih jalan kebahagiannya sendiri, dan berbalik untuk mencari
cinta yang lain adalah pilihan yang bijak daripada memaksakan cinta yang
akhirnya hanya akan menimbulkan luka.
Aku suka dengan ending London. Seperti sebuah
keindahan pemandangan dari potongan puzzle yang berhasil disatukan
Over
all, aku menyukai novel ini. Tentang
temanya yang begitu manis, London, angle, sahabat, dan cinta. Juga
sketsa-sketsanya. Yah, sebenarnya, sih setiap sketsa di Novel STPC sebagian
besar aku suka. Warna merah cover-nya
pun cukup memikat. Jadi, aku tidak ragu untuk menghadiahinya 3,7 dari 5
bintang.
Tulisan ini diikutkan dalam Indonesian RomanceReading Challenge 2014
Menurut Kak Dian bagusan novel ini atau Interlude? Eng dari semua novel Kak Windry yang kakak baca, yang mana yang paling kakak suka? *kepo :D
ReplyDeleteNice review kak!:)) Aku tambah penasaran T-T