Penerbit : Gagas Media
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Cinta Segitiga, Musik,
Young Adult
Tebit : 2017
Tebal : viii+218 halaman
ISBN : 978-979-780-900-3
Harga : Rp. 60.000
“Gue mikir, mungkin benar juga yang mereka semua bilang. Akan selalu ada
satu yang paling kita inginkan itu, yang tak bisa kita miliki. Sedangkan kita
tak bisa sendiri,tak berani. Itu sebabnya kebanyakan dari kita berakhirnya dengan
yang terbaik kedua. The second best.” – Aidan – hlm. 3
Gwen Nardini, sejak pertama kali dia
bertemu Aidan Arkhana, dia tahu, dia sudah tertarik padanya. Belum, dia belum
menyadari jika itu awal dari rasa cinta.
Gwen bukan perempuan pengejar pria.
Dia lebih memilih menyimpan perasaannya, sekedar menyatakan hatinya lewat sorot
mata yang tersembunyi.
Edgar Wimantara, dia hadir tepat di
sisi Aidan. Dia membawa ketertarikan pada Gwen. Dan, dia meyatakan dengan cepat
perasaan itu.
Gwen mencoba mengelak. Namun, Edgar
buka tipe orang yang mudah menyerah. Dia masih berusaha mendapatkan apa yang
dia mau. Dan, Gwen menyerah. Namun, dia tak menghapus Aidan dalam hatinya.
“Pilihan kedua, sebab pilihan pertama
tak mampu kita miliki. Sebab ada nama yang hanya ditulis di hati, tidak di
tempat lain. Sebab hanya itu pengakuan yang kita milik. Aku belum mengerti
betapa mudah orang bisa terjebak dengan pilihan itu; yang kedua itu. Aku hanya
tahu hatiku tak perlu sakit. Sebab, ke tempat itu ia memang tak pernah jatuh.” – Gwen – hlm 115
Gwen menjalani hidupnya seperti air
mengalir. Dia menerima kehadiran Edgar di sisinya. Namun, dia tetap cemburu
saat melihat Maya bersama Aidan. Sekali lagi, Gwen cuma bisa menyembunyikan
rasa di hatinya. Dia berharap, hanya dirinya yang tahu semua itu.
“...Seperti hidup, kami juga tak pernah tahu lagu berikutnya yang harus
bermain. Hanya mengikuti penanda nada yang terdengar pertama, lalu bermain,
karena itu satu-satunya yang kami tahu...” – hlm. 15.
Gwen memang menerima kehadiran Edgar.
Namun, dia tak tahu apa yang disembunyikan Edgar darinya. Dia tak pernah
mengerti apa yang dirasakan Aidan pada segala hal yang terjadi. Gwen tak tahu
apa-apa.
Waktu menuntun Gwen untuk mengerti
dengan sendirinya. Dia cukup terkejut pada apa yang dia tahu. Edgar sudah
berlari terlalu jauh. Dia sulit dikendalikan, meski oleh sahabatnya sendiri,
Aidan.
Mungkin, Edgar tahu sesuatu. Mungkin,
dia berusaha untuk menepisnya. Namun, hati kadang kala begitu lelah hingga
mencari cara untuk melegakannya sendiri. Jadi, jika Edgar salah, tidak
sepenuhnya dia salah. Biar saja waktu membawa mereka kemana saja. Pada akhirnya
pun, kita akan tahu ke mana ujung dari semua ini.
“Tak bisa segala hal. Setidaknya, tidak dalam waktu yang
bersamaan. Akan selalu ada satu ruang kosong yang harus kita sisakan untuk
apa-apa yang tak kita kehendaki terjadi. Harus bisa hidup dengan itu. Harus bisa,
hidup dengan memikul ruang kosong yang berat itu.” – Gwen – hlm. 92
The Second Best, bercerita tentang Gwen yang
menerima pilihan kedua, meski pada dasarnya dia masih menyimpan rasa untuk
pilihan pertama.
Setelah sekian lama tak berjumpa
dengan karya Morra Quatro, kali ini, buku kedua yang aku pilih di tahun 2018
adalah karyanya.
Dia masih selincah dulu dalam membuat
cerita. Bahasanya masih indah. Melankolisnya masih sangat kental. Karakter
tokoh-tokohnya masih begitu hidup dan memukau.
Aku selalu suka dengan hal-hal yang dia campurkan dalam ceritanya.
Meskipun, di awal bab sampai hampir
pertengahan, aku agak kesulitan untuk masuk dalam cerita. Mungkin karena mood
bacaku yang agak turun karena lama nggak baca buku. Atau, karena aku bacanya
sepenggal-penggal. Maklum, sekarang aku harus mencuri waktu sekedar
menghabiskan dua atau tiga bab.
Karakter yang aku suka adalah
karakter Aidan. Dia tampak kekanak-kanankan, punya aura menyenangkan, selalu
terlihat santai. Dia bisa membuat orang-orang di sekitarnya nyaman. Namun, dia
punya banyak rahasia yang lebih suka dia sembunyikan. Dia menyimpan lukanya
sendiri untuk sahabat terbaiknya.
Sedangkan Gwen, dia gadis keras
kepala yang punya tekat sekuat baja.
Meski dia tahu, dia menyukai musik. Namun, dia tetap memperjuangkan impiannya
yang lain. Baginya, mempunyai dua mimpi bukan sesuatu yang akan mempersulit
hidupnya.
Sama seperti cinta di hatinya. Edgar
menawarkan cinta padanya, disaat dia tahu dia mencintai Aidan. Dia menerima
Edgar dan mulai menyayanginya. Namun, Gwen tidak serta merta membuang
perasaannya untuk Aidan.
Aku suka saat penulis menceritakan
rasa cemburu Gwen saat Aidan bersama Maya. Aku juga suka saat mereka mulai
membahas tentang musik dan Coldplay. Bukan, aku bukan fan Coldplay. Tapi, aku
suka saja saat mereka menyenandungkan lagunya, atau membahas hal-hal kecil
seperti lebih asyik memutar album Coldplay secara berurutan.
Aku tadi menyebut novel ini
melankolis bukan? Itulah yang aku rasakan sejak membuka novel ini sampai titik
akhirnya. Sendu, muram. Semuanya ada dalam karakternya, jalan ceritanya, semuanya.
Ada beberapa waktu aku merasa kurang
ditarik untuk terus membacanya. Itu aku rasakan di awal. Karena penasaran, bagaimana
akhirnya, aku iseng baca bab terakhirnya. Di sini aku kembali semangat membaca.
Di bab terakhir itu, aku menemukan beberapa hal yang membuat aku penasaran.
Jadi, kalau kamu mulai ingin berhenti, ingatlah, penulis punya banyak kejutan
di bagian-bagian akhirnya.
Ya, penulis ternyata banyak menyimpan
rahasia dan keseruan-keseruan lain di belakang cerita. Ketegangan demi
ketegangan dibalut melankolisme, itu ternyata enak rasanya.
Semakin ke belakang, aku semakin suka
Aidan. Dan, meski Edgar punya fungsi juga sebagai tokoh antagonis, tapi aku
tetap suka Edgar. Tanpanya, Aidan tak akan sekeren ini.
Untuk ending, jangan tanya ini happy
atau sad. Morra selalu membuat ending di tengah-tengah. Selalu begitu, tapi
itulah Morra. Bisa jadi, aku menyebutnya ini ciri khas dari dirinya.
Penulis novel melow itu banyak.
Namun, yang bisa bikin ending seperti Morra, ini sangat jarang.
Aku hadiahi 3,1 dari 5 bintang untuk
Morra Quatro.