Monday, August 12, 2013

Resensi – ROMA : CON AMORE “Cinta selalu tahu dimana rumahnya”




Penulis : Robin Wijaya
Penerbit : Gagasmedia
Tahun Terbit : 2013
Halaman : x + 374 hlm
ISBN 979 – 780 – 614 – 9
Harga : Rp. 53.000

 Leonardo Halim pria asal Indonesia yang mulai melebaran sayapnya ke kancah Internasional. Dia baru saja mengikuti pameran di Roma. Dan, sebuah karyanya yang berjudul Tedak Siten mempertemukannya dengan Felice, gadis asal Indonesa yang bekerja di KBRI.
Namun, pertemuan mereka meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan. Anehnya, sesuatu yang tidak menyenangkan itu mengambil tempat dalam memorinya.
"Bayangan dan tingkah polah perempuan itu masih melekat jelas dalam kepalanya. Aneh, mestinya sesuatu yang menyebalkan harus segera diusir pergi, bukan malah berdiam dan mengambil tempat dalam memori.... Kejadian hari ini... Mungkin ia akan ingat selamanya." Hal 55

Dari pertemuan itu, Felice diam-diam menaruh ketertarikan yang tak disadarinya, atau dia sadar namun tak mengakuinya. Buktinya, saat dia menemukan nama Leonardo Halim di selembar poster pameran karya seni di Bali, dia bertekat datang ke sana dan akhirnya mereka bertemu kembali.
Kemudian, Bali membuat mereka semakin dekat. Diam-diam hati masing-masing yang sudah berpenghuni mulai mengosongkan sebagian hatinya. Mereka menaruh rasa yang lain di sana. Membuat mereka bimbang dengan cinta yang lebih dulu datangterasa tak sama lagi.
Novel Roma : Con Amore adalah novel dengan konflik yang sangat kompleks. Kita disuguhi berbagai masalah mulai dari obesesi, kekecewaan dalam keluarga, sampai cinta yang mulai berubah. Semua dikemas dengan kata-kata melankolis ala Robin Wijaya.
Kita tidak bisa menggunakan satu alasan hanya untuk mengorbankan kepentingan orang lain, Felice. Satu keburukan tidak pernah pantas untuk mengalahkan sepuluh kebaikan. Kamu mesti pikirkan itu.” – Tenny – hal 127

Di novel ini, penulis bercerita dengan cara yang membuat pembaca penasaran. Dia seringkali tidak memberi penyebab suatu masalah di mulai. Dia langsung menempatkan masalah itu pada poinnya, dan sesekali menyelipkan clue penyebabnya, membuat pembaca ingin segera menemukan jawabannya. Itulah yang membuat kita selalu ingin terus membaca.
Seperti siapa Marla itu sebenarnya, kenapa dia selalu berada di dekat Leo. Pada awalnya, penulis tak memperlihatkan kemesraan ala kekasih. Jadi, aku mengira awalnya Marla hanya sahabat sesama pelukis. Namun, saat setting sudah berpindah ke Jakarta, peran Marla mulai terlihat.
Kemudian, konflik  Felice dan mamanya. Pembaca tak akan tahu kenapa Felice enggan pulang ke Indonesia, sekalipun dia sangat ingin menghadiri pernikahan kakaknya. Ternyata jawabanya ada di saat Felice ke Bali dan bertemu mamanya kembali.
Konflik-konflik itu diselesaikan dengan berbagai kata-kata cantik yang menjadi bagian istimewa novel ini.
“…. Ingatlah selalu Felice, kalau cinta akan berawal dan berakhir di tempat yang sama. Sejauh apa pun kamu pergi, pintu rumah akan selalu menantimu kembali.” – Mama Felice – hal 324.

“Lingkaran hanya untuk lingkaran. Persegi hanya untuk persegi. Perasaan pun memiliki ruang untuk berbagi. Aku hanya kurang beruntung tidak menjadi tempat tersebut bagimu.” – Marla – hal. 332

“Felice, kamu tahu kenapa kita membenci seseorang? Sering kali karena kita menaruh cinta yang begitu besar dan lupa akan resiko dikecewakan. Padahal cinta menerima segalanya. Cinta adalah tentang kekurangan dan kelebihan.” – Tenny – hal. 341



Sayangnya hubungan Felice dan Leo kurang dibangun secara alami. Menurutku, kisah mereka terlalu singkat dengan adegan-adegan yang harusnya benar-benar bisa selalu diingat. Lalu, Settingnya juga kurang berperan secara istimewa. Padahal, STPC selalu menonjolkan settingnya.
Untungnya, Penulis membuat kisahnya tetap punya daya tarik sendiri dengan menghadirkan kisah-kisah hidup para seniman seperti Michelangelo dan beberapa seniman lainnya. Kita yang buta akan seni Lukis tetap akan terasa mengenal bidang ini, bahkan kita bisa tahu lika-liku dan serba serbinya. Termasuk pengetahuan tentang berbagai karya seni terkenal dan berharga, serta seperti apa kisah di baliknya. Empat jempol untuk risetnya yang terasa sangat nyata.
Bagi penyuka Liga Calcio, kita juga bisa menikmati dunia kulit bundar di sini. Sedikit info bagaimana susana serunya antusias para Italiano mendukung para idolanya, dan antusias menghadapi piala dunia yang akan segera digelar akan dibagikan sebagai pemanis yang menarik.
Dan, aku memberikan nilai 2,7 dari 5 bintang untuk novel ini.

5 comments:

  1. Kak Dian, salam kenal yah :D

    Resensinya keren, jadi penasaran sama bukunya

    ReplyDelete
  2. Hai, Nurman.
    Makasih udah komen.
    Hehehehe... semoga segera bisa baca bukunya ya, biar g penasaran lagi. :)

    ReplyDelete
  3. emang bener ya, ternyata lukisan yang ada gerejanya itu kan ada perempuan nya, itu si felice?

    ReplyDelete
  4. Kalo yg kamu maksud di lukisan the lady, itu bukan Felice, tapi wanita yang dulu pernah di temui kakek Leo. Kakek Leo bercerita tentang sosok itu, dan Leo berusaha mengabadikan cerita kakeknya melalui lukisan The Lady. Tapi, untuk lukisan yang jadi lukisan utama di pameran tunggal Leo, nah itu baru Felice.

    ReplyDelete
  5. yang di buatin sketsa ya?
    aku suka ceritanya deh, kasihan marla nya. padalah di awal leo-marla so sweet abis>.<

    ReplyDelete

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos