Friday, December 27, 2013

Goodbye to You "Cerita dibalik sampul abu-abu"

Tulisan ini diikutsertakan
dalam Giveaway @benzbara_


Sepenggal kisah tentang cinta yang kualami di awal musim hujan tujuh tahun yang lalukembali kuingat. Tentang dia yang senyumnya kubalas dengan wajah bingung dan otak yang berputar mengingat, siapa dia? Apa aku pernah mengenalnya? Nihil! Bayangan dia sebelum tersenyum itu tak pernah terlintas di otakku. Tapi, bukannya kami satu sekolah? Kenapa aku tak merasa pernah bertemu dia? Aneh!
Kupikir dia tak akan tersenyum lagi padaku setelah kubalas senyumnya dengan cara yang tidak semestinya. Nyatanya, dia kembali tersenyum, menyapaku dan kami bicara untuk pertama kali.
“Guru matematika kamu Bu Sulis ‘kan?”
Lucu, kalimat pertamanya yang tak penting itu tetap mengisi memoriku. Lucunya lagi, rasa jantungku yang berdegub terulang kembali saat aku menuliskannya.
Hanya anggukan dan tatapanku yang entah ke mana arahnyamewakili mulutku untuk bicara.
“Jadi ulangan nggak?” Dan senyum itu kembali terbayang dalam imajiku.
“Nggak.” Mungkin caraku yang tak mau menatap matanya membuat dia tak nyaman, atau mungkin sedikit tersinggung, karena setelah itu dia berkata, “Oke, makasih ya!” lalu pergi.
Waktu berjalan sesuai kehendak Yang Kuasa. Dan aku percaya, kehendak-Nya juga akhirnya aku bisa membalas cintanya, dan tersenyum seperti seharusnya.
Sayang, saat kakiku sudah melangkah begitu dekat dengannya, kenyataan menarikku mundur, menjauhkan dia dariku, memojokkanku dan menghancurkan seketika tanpa ampun. Semua serangan terjadi dalam satu waktu. Dan, aku sulit menerima semua ini.
Dia harus pergi dengan terpaksa, dan aku harus rela melepasnya.
Dia tak akan sama seperti dulu, dia hak orang lain yang dulu pernah dicintainya.
Wanita itu hamil, kata orang-orang. Anak dalam kandungan wanita itu benih darinya, ucap beberapa orang.
Dia menjawab, tanpa perlu aku bertanya. “Aku salah, maaf! Dia memang anakku.”
Aku mengangguk sambil bergumam, “He’em.” Hanya begitu.
Tak perlu banyak kata, aku pergi meninggalkan dia lebih dulu untuk menyembunyikan kehancuranku.
Apakah aku masih harus berdiri di sampingnya? Apakah aku masih patut tetap mempertahankannya meski mataku tahu kenyataannya, meski aku masih sangat terlalu cinta padanya?
Tidak!
Bayi itu perlu ayahnya, wanita itu butuh pegangan tangannya. Aku memang masih butuh cintanya, namun aku mundur.
Sakit? Jelas!
Seperti dilempat ke atas, sedikit meningitip surga, membuat hidupku melayang dan berbunga-bunga. Lalu aku dihempaskan ke bawah, sedikit menyentuh neraka, ditampar berulang kali dan hancur berkeping-keping.
Dia sempat menemuiku sehari sebelum ijab qabul. Mengatakan maaf sekali lagi. Setelah menatapku dan menyentuh pundakku yang lunglai, dia benar-benar pergi dari hidupku, selamanya.
Sebenarnya, aku juga ingin minta maaf. Maaf, aku tak bisa tersenyum padanya, menguatkan dia yang mungkin sama hancurnya denganku. Maaf sudah menambah bebannya. Dan sekalipun aku tahu semua salahnya, tapi aku tak menyalahkannya. Aku tahu dia pria baik, karena dengan tegas dia jujur padaku dan dia mau bertanggung jawab. Aku bangga padanya, tapi aku belum bisa berhenti menangisinya.
Seperti itulah hidup, saat manisnya datang, dia akan melenakan kita. Memberi rasa manis semanis cake vanila. Namun, hidup bisa berubah kapan saja. Manis itu hilang seketika berubah rasa seperti pahitnya obat namun sama sekali tidak menyembuhkan. []

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos