Sunday, March 8, 2015

[CERPEN] WHY ANGEL?



Diikutkan Dalam Lomba
Cerpen ‘Angels of Morning
Star Club’
“Kau percaya malaikat?”
Senyum itu, aku masih mengingatnya sampai sekarang. Senyum saat dia menanyakan pertanyaan – yang awalnya aku pikir hanya pertanyaan bodoh.
Dia masih menatapku, penasaran.
“Kakak, katakan sesuatu. Kau percaya malaikat?”
Kubuang tatapanku ke arah lain, menghindari wajah penasarannya. Namun, dari lirikanku, aku tahu dia benar-benar menunggu jawaban. Sampai-sampai, saking tak sabarnya, Angle mengigit bibir bawahnya.
“KAK!!!” sentaknya kesal karena senyum yang tadi aku sembunyikan akhirnya menyembul keluar. “JAWABLAH!” Suaranya masih meninggi. “Kau hanya perlu menjawab, kenapa sulit sekali, sih?”
“Memang ada apa dengan malaikat?” Aku malah ganti bertanya padanya.
Bahu Angle merosot, “Entahlah!” suaranya terdengar sendu. “Aku…” Dia tampak berpikir. “Aku merasa ada sayap yang perlahan tumbuh di punggungku.”
Keningku berkerut. “Kau kebanyakan nonton film.”
Helaan napasku tak membuatnya mengangkat wajah. Dia masih menunduk, kakinya sibuk menendang kerikil-kerikil kecil di tepi sungai.
“Aku serius.” Dia menghela napas, lebih keras dari helaan napasku. “Aku benar-benar merasakannya. Kadang, aku merasa ada sesuatu seperti bulu yang begitu lembut saat aku berdiri sendirian dan memejamkan mata.”
Kutatap sungguh-sungguh wajah adikku, adik yang tiba-tiba muncul di hidupku entah sejak kapan. Yang aku tahu, dia tidak benar-benar adikku. Tapi, karena terlalu kecil dan karena kata-kata ibuku  bahwa dia adikku, aku mempercayainya.  
Aku tahu betul bagaimana ekspresinya saat dia mulai tak serius. Dan saat itu Angle tidak sedang bercanda. “Saat sayap itu memelukku, aku merasakan kedamaian yang begitu mempesona. Seperti, sedang dipeluk malaikat.”
“Oh, ya?” tanyaku datar tampak tak tertarik.
“E’hem…”
Kami terdiam cukup lama.
“Apakah aku ini malaikat?”
“Ya?” Aku tersentak dengan pertanyaannya. “Kau malaikat?” Aku tertawa ringan. “Berarti aku juga malaikat karena kita bersaudara.” Tawaku belum lenyap. “Tapi, aku tidak merasakan apapun di punggungku.”
Lagi-lagi Angle menghela napas dengan cukup keras. Dan, dia tak lagi membahasnya. Dia malah berjalan pulang dan tak menghiraukanku.
Aku menatap punggungnya. Samar-samar bayangan sayap putih membentang di sana. Kusipitkan mataku, bayangan sayap itu semakin jelas. Namun, saat aku berkedip, sayap itu sudah lenyap.
Ini aneh, tapi aku tetap tak mempercayai mataku. Aku pikir, saat itu aku sedang berhalusinasi karena cerita Angle.
Namun, saat ini aku percaya. Sayap itu benar-benar tumbuh di punggung Angle dan dia sudah membawa pergi adikku.
Suatu pagi, aku menemukan banyak bulu putih bertebaran di tempat tidur Angle. Aku memungutnya satu, merasakan kelembutannya dan mencium aroma Angle di bulu itu.
“Apakah ini bulu dari sayap Angle?” tiba-tiba saja aku mengingat bayangan sayap itu.
“ANGLE!” Aku berteriak kencang. Aku panik. Aku merasakan kekosongan yang amat dalam di hatiku. Rasa kehilangan tiba-tiba mencengkramku kuat. “ANGLE!!!” Aku berlari ke beranda kamarnya. Dan, aku baru sadar, pintu beranda kamar Angle sudah terbuka sejak tadi. “ANGLE!!!” Aku berteriak makin kencang. Tapi, tak ada sahutan yang kudengar.
Dia benar-benar pergi.
“Kakak!”
Kuangkat wajahku. Di depan, hanya berjarak kurang dari seratus meter, malaikat bersayap putih itu berjalan sambil menyunggingkan senyumnya.
“Kakak, kau sudah lama menungguku?” Senyumnya makin lebar. “Aku merindukanmu. Maaf, aku lama tak menjengukmu.” Wajah cerianya berangsur menghilang.
“Kau ini…” Entah kenapa aku begitu sulit meneruskan kata-kataku.
Perlahan aku merasakan pelukannya. Kupejamkan mataku, dan aku tahu, sayapnya ikut memeluk kami. Yah, aku merasakan sayap itu begitu mendamaikanku.
I miss you, Kak!” bisiknya.
Angle.” Tanpa sadar, aku menyebut namanya.
“Aku tak bisa lagi menemuimu. Mereka sudah tahu kalau aku masih mencuri waktu untuk bersamamu.” Dia melepas dekapannya. Sayap itu sudah tak lagi melebar. Dia tampak anggun menghias punggung Angle, adikku – ah, bukan, dia bukan lagi adikku, tapi kekasihku.
Status itu berubah saat dia kembali menemuiku tiga bulan yang lalu. Dialah yang merubahnya saat pernyataan cinta itu pertama kali meluncur dari bibirnya.
“Mereka bilang, aku bisa membunuhmu perlahan jika aku terus berada di dekatmu.” Air matanya menetes. “Aku tak ingin membunuhmu, Kak.” Dia terisak.
Aku tersenyum. Kugenggam tangannya. “Aku akan mati bahagia kalau memang itu yang harus terjadi.”
Angle mengingit bibir bawahnya. Dia menggeleng, “Kau tampak kurus, Kak. Mereka benar .” Dia terpejam. “ – aku...aku akan pergi, Kak. Aku ingin kau hidup dan bahagia.”
“Kau tahu, aku akan bahagia jika bersamamu.” Kutarik dia mendekat dan memeluknya lagi. Dia menurut dan menundukkan tubuhnya karena aku yang tak lagi kuat berdiri dari kursi roda ini. “Manusia pasti mati, Angle. Dan, aku rela mati sekarang juga untukmu.”
Kurasakan air matanya membasahi bahuku. “Tidak, Kak.” Dia melepas pelukannya dan berjalan mundur. “Aku harus pergi.” Aku tahu, senyum itu senyum yang sangat dipaksakannya. “Aku ingin kau bahagia. Berjanjilah, kau akan bahagia.”
“Kau tahu, aku tak akan bahagia tanpamu.”
Sayapnya mulai melebar. “Selamat tinggal, Kak!”
Dan, dia lagi-lagi pergi. Ya, dia benar-benar pergi dan tak kembali.
Angle, kau memberiku kehidupan, tapi kaulah yang membuat hatiku mati. Kau pikir aku bahagia? Tidak! Aku tidak pernah bahagia.  
Kau dengar aku?
***

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos