Tuesday, April 30, 2013

JURAI - Guntur Alam


Resensi Pilihan 
Grameda Pustaka Utama
Judul: JURAI
Penulis: Guntur Alam
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 300 halaman
Harga: Rp. 58.000
image
Nasib seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri maka, kita dituntut untuk bekerja keras untuk merubah nasib kita. Namun, takdir hanya Tuhan yang tahu. Dia yang mengatur kematian, jodoh, dan rezeki.
Manusia harus menerima Takdirnya dengan lapang dada. Tapi, manusia tak boleh berpangku tangan dengan nasib. Seperti Emak, Catuk, dan Ayuk-ayuk Catuk. Yah, ini kisah mereka. Kisah anak-anak Emak di setapak impian. Dan, itulah tema yang diangkat Alam Guntur dalam novelnya yang berjudul “Jurai”.
***
Catuk, seorang anak laki-laki yang harusnya hanya dibebani dengan masalah pelajaran, dia harus dihadapkan oleh persoalan pelik bagaimana cara keluarganya hidup layak. Apalagi setelah Ebaknya meninggal dunia. Emak harus bekerja banting tulang untuk biaya hidup mereka.
Kegigihan Emak bekerja membuat Catuk iba. Dia selalu menyesali kenapa dia tidak lahir lebih dulu sebelum ketiga ayuknya lahir. Sehingga, dia bisa menjadi tulang punggung keluarga, tidak seperti saat ini, hanya menambah beban Emaknya saja.
Tak sampai disini hidup mereka diuji, berbagai kenyataan yang begitu pahit satu persatu muncul. Dari rahasia kematian Ebak yang mereka kira karena diserang babi. Namun, ternyata Ebaknya meninggal karena ditabrak motor anak Toke Ngadap.
Emaknya yang bekerja sebagai penyadap di kebun Toke Ngadap memutuskan untuk berhenti menyadap. Terjadi kegundahan besar di limas mereka, bagaimana mereka bisa makan, bagaimana mereka bisa tetap sekolah dan mencapai cita-cita mereka. Namun, Emak menenangkan kegundahan anak-anaknya. Emak berkata beliau akan tetap berusaha untuk mencukupi kebutuhan limas mereka.
Saat Emak mulai mampu tersenyum kembali, lagi-lagi pukulan yang lebih keras harus mereka terima. Ebak beristri dua, Ebak mempunyai anak lain dari madu Emak. Hancurlah hati Emak, dan hati itu semakin hancur luluh lantah saat Emak tahu alasan Ebak memadunya. Anak bujang, Ebak menginginkan anak bujang yang dulu belum mampu Emak lahirkan.
Dan karena itu juga Catuk semakin menyesali kenapa dia tak lahir lebih dulu dari pada ayuk-ayuknya. Kalau dia lahir lebih dulu, Ebak tak akan mendua, dan sekarang dia pasti sudah siap menjadi pemimpin limasnya.
Belum juga selesai masalah-masalah itu mendera. Perbedaan gender yang sejak awal begitu menggaung di novel ini semakin diperjelas di bab-bab terakhir. Bagi mereka perempuan tak harus sekolah tinggi, sekolah tamat SMP itu sudah cukup. Tapi tidak untuk anak-anak emak, dan juga Emak.
Karena impian anak-anaknya, Emak mengambil jalan paling terjal dalam hidupnya. Jalan yang membuat semua orang tersentak dan mencoba menghalanginya. Tapi, Emak bukan Emak yang dulu, dia tidak akan berhenti, dia akan terus melanjutkan langkahnya untuk mimpi anak-anaknya.
Novel ini memang bercerita tentang air mata, namun Alam Guntur mampu menyisipkan kisah lain tentang persahabatan dan cinta yang dibalut manis dan tidak seperti di nomor duakan. Tentang mereka, para sahabat Catuk yang selalu ada untuk menghiburnya. Tentang mereka yang tak pernah menyerah pada sepatu mulut buaya untuk memenangkan Porseni, dan pergi ke Muara Enim.
Juga, kisah cinta segitiga Ci Rika, Gunawan dan Kus, kisah cinta yang terhalang persahabatan. Gunawan dengan usianya yang pastilah tak terlalu memahami cinta, tapi dia begitu bijaksana mengilhaminya. Tidak egois, dan penuh perhitungan.
“Kita terlalu muda untuk menentukan pilihan sekarang, bujang. Biarkan semua matang pada waktunya. Akupun tak ingin memupus harap yang mekar di dada Kus. Ah, kau tahulah. Ia pun suka pada bibimu yang cantik itu.” (Bab 6, hal77)

Tak hanya kisah cinta segitiga itu saja. Kisah cinta Catuk dan Dewi yang menurutku cukup aneh untuk ukuran anak usia SD dan terlalu dipaksakan. Bagaimana Catuk dan Dewi menggambarkan cinta mereka diakhir perpisahan, sedikit berlebihan untuk usia itu. Mungkin jika itu dilakukan anak SMP, sudah agak layak, namun ini anak SD.
Dan, untuk endingnya, terlalu menggantung, atau memang Alam Guntur ingin membuatnya seperti itu? Membuat penasaran pembaca dan suatu saat akan membuat lanjutannya, “Jurai II”. Mungkin saja.
Dari setiap bagian di novel ini, aku sangat menyukai Kisah sahabat-sahabat Catuk, Noyok, Sarpin, Gedo, Ivan, Pangki, Kus, Ci Rika dan Gunawan. Mereka benar-benar mampu menceritakan dengan sempurna arti persahabatan yang sebenarnya.
Bahkan, aku tak percaya jika mereka memang anak-anak SD, cara berpikir mereka terlalu matang di usia mereka. Seperti saat Gunawan menyadarkan Catuk agar tidak berlarut-larut dengan masalahnya.
“Lantas apa yang kau dapat? Ebak kau akan hidup lagi? Emak kau urung dimadu? Kau tak punya saudara tiri? Begitu?” tanyanya membabi buta.” (Bab 10, hal. 137)

“Kami sayang kau. Kami tak hendak lihat kau murung terus sepanjang masa. Tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami terlalu ingusan untuk paham yang kau rasa.” (Bab 10 hal 138)

Dan, bab yang paling aku suka adalah Bab 11 “Lawakan ala Sarpin”. Di bab ini Sarpin berkisah tentang tiga saudara yang buruk rupa dan air terjun pengabul keinginan. Sarpin mampu mengambil tempat di celah yang kecil dengan kisahnya ini. Dia membuat Novel pertama Alam Guntur ini menjadi punya sudut terang diantara ruang yang gelap.
Sejak awal, aku sudah diperingatkan oleh pemberi novel ini, Mbak Nurinovita Dhea, hehehehe…. Ini novel hasil kuis #KuisBukuDea, gratis dari twitter. Mbak Dhea bilang aku memang harus menyiapkan tissue. Tapi, tidak, air mataku benar-benar mahal, dia hanya keluar saat aku membaca bab pertamanya dan beberapa bab terakhirnya.
 Juga alurnya yang pas, aku suka. Bahasanya yang sarat dengan Muara Enim tak terkesan berlebihan. Top deh sama Alam Guntur yang mampu menciptakan rasa untuk pembaca, rasa dimana pembaca juga merasakan mereka berada di Tanah Abang, Muara Enim, latar dari novel ini.
Satu lagi bocoran, berdasarkan beberapa percakapanku dengan sang penulis di twitter, dia bercerita kalau tokoh yang menjadi teman-teman Catuk adalah nyata, mereka teman-teman Guntur Alam saat SD, bahkan karakter mereka juga sama.
Hem, jadi bertanya-tanya apakah ini kisah nyata? Entahlah, sepertinya dia tak akan akan mengaku. Sama seperti saat aku tanya tentang kisah cinta segitiga Gunawan, Ci Rika dan Kus. Dia bilang, aku disuruh tanya sendiri di Facebook, tapi mereka masing-masing sudah menikah dengan pasangan masing-masing. Erg… Mana berani aku tanya kalau sudah menikah, nggak etis banget.
Ya, sudahlah biarkan ini menjadi rahasianya…
Dan…. Aku menghadiahkan nilai 4 bintang dari 5 untukmu Bang Alam Guntur. Hehehehe…. Selamat…selamat…. Dan semoga sukses sama novel selanjutnya “Solely You”.

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos