Monday, January 20, 2014

Resensi – Ai “Cinta Tak Pernah Lelah Menanti”



Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Tahun Terbit : 2012 (Cetakan Ketujuh)
Halaman : vi + 282 hlm
ISBN : 9797803074
Harga : Rp. 41.500
Apa yang paling misterius dalam hidup? Aku menjawabnya, yang paling misterius dalam hidup ya hidup itu sendiri. Dia punya banyak rahasia, entah tentang masa lalu, entah tentang masa depan yang belum kita singgahi.
Sama seperti dua orang sahabat yang terjerat misterinya hidup. Mereka mencoba menebak, meraba apa yang akan terjadi. Sayangnya, mereka salah kaprah menebak satu hal dalam hidup mereka, yaitu tentang cinta.
“Cinta selalu mengendap-endap di belakangmu. Suatu saat, tiba-tiba, kau baru sadar cinta menyergapmu tanpa peringatan.” – Natsu – Hlm. 104

Persahabatan yang terlalu kental antara Ai dan Sei membuat mereka tak bisa membedakan rasa cinta atau sayang sebatas sahabat. Namun, saat waktu menyadarkan mereka, apa yang sebenarnya ada di hati mereka, satu sosok hadir di tengah persahabatan mereka, Shin.
Bagi Sei, melihat Ai bahagia bersama Shin bukan sebuah pisau yang melukainya. Walaupun tak dia pungkiri, kecewa itu pasti. Dan dia mencoba lari pada cinta yang lain, Natsu.
Sayang, kebahagiaan tak selamanya bisa setia, karena saat kabar kematian Shin menyeruak, kebahagiaan itu ikut pergi bersamanya.
 “Kehilangan karena patah hati masih lebih baik dari pada kehilangan orang yang disayangi akibat kematian, menurutku, karena pada kasus yang kedua kita tidak mampu melihat orang itu lagi.” – Sei – Hlm. 157
“Kehilangan memiliki cara tersendiri untuk mengubah orang-orang yang mengalami…” Ayah Ai hlm. 253
“Di dunia ini, ada beberapa hal yang disebut takdirsisanya adalah pilihan. Jangan sesali sesuatu yang sudah ditentukan takdir, karena tanpa kesulitan dan kesedihan, kita tidak akan benar-benar menghargai kebahagiaan.” – Ayah Ai – Hlm. 253

Konflik yang sebenarnya baru dimulai setelah kematian Shin. Sei diuji habis-habisan. Satu sisi dia hancur karena kematian sahabatnya, satu sisi dia harus kuat karena hanya dia yang bisa menopang Ai yang porak poranda di tinggal tunangannya.  Belum lagi, dia harus memilih tetap pindah dari apartemen dan tinggal bersama Natsu sesuai rencananya semula, atau tetap tinggal di sisi Ai yang berarti harus melepaskan Natsu dan menyakiti gadis yang sangat mencintainya.
“…, hal terpenting dalam cinta adalah persahabatan, dan hal terpenting dalam persahabatan adalah cinta.” – Shin – Hlm. 277
 Novel Ai karya Winna Efendi lagi-lagi mengangkat tema persahabatan menjadi cinta. Yang di awali kisah konflik batin Sei yang mencintai Ai diam-diam. Dia merefleksikan segala ketulusan dan rasa sayangnya dengan selalu ada untuk Ai. Di bagian ini, bagian dimana sudut pandang cerita diambil dari Sei, aku merasa cerita terlalu datar meski konflik terus dimunculkan. Mungkin ini dipengaruhi karakter Sei yang memang datar, pendiam, dan tenang.
Untunglah, saat konflik semakin memuncak, yaitu saat kematian Shin, suasananya semakin terasa menegang pula. Memang bukan karena emosi Sei, namun lebih pada Ai.
Ai yang ceria tergambar jelas dari cerita Sei. Shin yang selalu tahu banyak hal, baik, perhatian dan penuh semangat juga tertangkap jelas dari kisah dari sudut pandang Sei dan Ai. Karakter mereka masing-masing berhasil dibuat dengan sempurna. Aroma Jepangnya pun cukup terasa. Aku acungi jempol buat Winna Efendi yang berhasil menyampaikan cerita dengan setting Jepang dan penokohan Jepang yang nggak cuma tempelan.
Jika bagian pertama diceritakan dari sudut pandang Sei. Bagian kedua diceritakan oleh Ai. Di bagian ini, Ai seperti melanjutkan cerita Sei, artinya Ai bercerita tentang kisah mereka setelah Shin pergi dan beberapa flashback sebelum Shin pergi, lebih tepatnya flashback tentang kenangan mereka berdua atau mereka bertiga.
Aku lebih suka saat Ai bercerita, meski rasa datar kadang kala kembali mengganggu. Namun, kisahnya bersama Shin dan misteri hatinya pada Sei membuat cerita lebih bergelora.
Bagian yang membuat hatiku paling tersentuh adalah dialog Ai pada dirinya sendiri di halaman 272 – 273. Saat itu dia mengucapkan permintaan maafnya untuk Sei, yang tak bisa dia ucapkan secara nyata pada pria yang berdiri di depannya.
Ada satu bagian yang membuat aku terganggu. Tentang memori yang diingat Sei saat umur 2 tahun. Aku nggak yakin anak umur 2 tahun bisa ingat kejadian yang dia lalui meski kejadian itu memang memoriable banget.
Cover versi baru
Covernya aku lebih suka cover lama. Kesan warna kalemnya cocok dengan karakter novelnya. Sedangkan untuk cover baru yang warnanya lebih ceria terasa sedikit keluar jalur. Dan untungnya, aku memiliki novel cover versi lama hasil beli second beberapa bulan yang lalu.
Sebenarnya, aku sudah merencanakan memberi 2 bintang saja. Namun, karena aku mulai merasakan konflik yang mulai memuncak di saat Shin meninggal, dan kesan datar mulai ada warna, aku menaikkan nilainya menjadi 3 dari 5 bintang.[]


6 comments:

  1. Aku juga lebih suka cover lama, karena pada dasarnya aku memang suka warna biru, hehehe...
    Keren euy udah buat PR yang pertama ;)

    ReplyDelete
  2. Hihih...iya. Makasih Mbak Luckty yang udah berkunjung ke rumahku :D

    ReplyDelete
  3. Tapi menurutku cover lama dan baru sama aja hehe.

    Btw salam kenal, kunjungi juga blog saya di adeliaayuuu.blogspot.com :)

    ReplyDelete
  4. Adelia : Iya sih, emang agak mirip. Mungkin kalau cover lama pakai warna yang lebih lembut akan lebih cocok : D

    ReplyDelete
  5. kayaknya novel mbak Winna selalu mengangkat tema sahabat jadi cinta ya :)

    ReplyDelete
  6. Peri Hutan : Iya, tapi untuk yg Melbourne agak beda. Mereka di mulai dari cinta, jadi teman, dan balik lagi jadi cinta. :D

    ReplyDelete

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos