Saturday, September 19, 2015

Resensi – AN ABUNDANCE OF KATHERINES “Ilmu Matematika tentang Cinta”

Penulis : John Green
Penerjemah : Poppy D. Chusfani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Genre : Romance
Kategori : Young Adult, Terjemahan, Matematika
Terbit : 2014
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978 – 602 – 03 – 0527 – 1
Harga : Rp. 60.000

Colin Singleton, dia baru saja lulus SMA. Namun, dia harus mengalami patah hati karena Katherine – kekasihnya ke sembilan belas – mencampakkannya.
“Di mana-mana manusia menyalahkan alam dan takdir, namun takdir seseorang adalah gema dari karakter dan gairahnya sendiri, kesalahan dan kelemahannya.” – Kutipan Yunani – hlm. 43

Colin frustasi berat.  Sahabatnya, Hassan Harbish mencoba menghiburnya dengan mengajukan ide untuk melancong ke mana saja.
Bersama Kereta Jenasah Setan – nama mobil Colin – mereka menyusuri jalanan tanpa tujuan. Di sepanjang jalan itu pun, ingatan Colin tentang Katherine XIX terus saja muncul.
“Kau bisa sangat mencintai seseorang. Tapi kau tidak bisa mencintai sebesar kau merindukan mereka.” – hlm. 153

Sebagai pelampiasan, Colin yang dikenal sebagai anak ajaib karena mempunyai kemampuan mengingat yang menakjubkan, juga sangat pandai dalam bermain anagram, dan hal-hal lainnya – mencoba membuat sebuah rumus tentang hubungan terjampak dan pencampak untuk meramalkan sebuah hubungan.
“Karena hubungan cinta mudah ditebak, bukan? Yah, aku menemukan cara untuk menebak. Sebut saja dua orang, dan bahkan jika mereka belum pernah bertemu, formulanya akan menunjukkan siapa yang akan mencampakkan siapa jika mereka berkencan, dan persisnya berapa lama hubungan mereka akan berlangsung.” – Colin – hlm. 63
“Mustahil,” – Hasan
“Tidak mustahil, karena kau bisa melihat masa depan kalau kau punya pemahaman dasar tentang bagaimana orang akan bersikap.” – Colin

Sebuah papan iklan pemakaman Archduke Franz Ferdinand di Gunshot, Tennessee, membawa mereka ke sebuah toko klontong. Di sana, Colin dan Hassan bertemu Lindsey Lee Wells yang bersedia menjadi pemandu mereka ke tempat pemakanan Archduke Franz Ferdinand. Setelah mengunjungi pemakaman, mereka bertemu pacar Lindsey, yang ternyata bernama Colin juga. Lalu, mereka bertemu ibu Lindsey, Hollis.
Saat Hollis tahu Colin adalah anak ajaib, dia menawari pekerjaan dengan upah cukup besar pada mereka. Pekerjaan itu adalah mewawancarai penduduk Gunshot bersama Lindsay. Karena tawaran itu cukup menarik, mereka menerimanya.
Dan, petualangan sebenarnya di Gunshot baru saja dimulai. Petualangan tentang bagaimana menghargai diri sendiri, tentang arti persahabatan, cinta, kesetiaan dan kasih sayang sesama manusia.
“…Kurasa bagian-bagian yang hilang dari dirimu takkan pernah bisa masuk dengan pas lagi. Seperti Katherine. Inilah yang kusadari : kalau aku mendapatkannya lagi, dia takkan bisa menggantikan lubang yang terjadi akibat kepergiannya.” – Colin – hlm. 283

An Abundance of Kathrines, novel pertama John Green yang aku baca, dan aku terpukau.
Menurutku, dia jenius. Aku sangat tahu, cinta selalu bisa diceritakan dalam bentuk apapun. Dan, dia punya cara bercerita yang unik tentang cinta. Cinta untuk Colin adalah geometri,  teori dan rumus Matematika.
Novel ini adalah novel romance. Tapi, kamu akan bertemu banyak rumus-rumus matematika, kurva, bahkan kamu akan menemukan ilmu pengetahuan umum tentang para tokoh-tokoh terkenal di dunia – di dalam buku ini. Juga catatan kaki yang ditulis tak kalah seru dari isi novelnya. Kadang, aku bisa tersenyum saat membacanya.
Bisa dibilang, John Green ingin pembacanya tidak sekedar menikmati kisah cinta para tokohnya, tapi juga belajar tentang ilmu sesungguhnya.
Colin, si cowok ajaib yang jatuh cinta pada sembilan belas cewek bernama Katherine. Uniknya, semua Katherine ini punya ejakan yang sama K-A-T-H-E-R-I-N-E. Ini memang terasa terlalu kebetulan, tapi kebetulan memang banyak ditemukan di dunia. Sebenarnya, bukan sembilan belas Katherine, tapi delapan belas Katherine. Karena Katherine I adalah juga merupakan Katherine XIX.
Uniknya lagi, kesembilan belas Katherine itu semua mencampakkan Colin. Wao… ini mengenaskan. Dan, Colin yang digambarkan sebagai cowok dengan otak brilliant namun punya jiwa lemah dan tubuh kurus yang gampang ditindas pun akhirnya patah hati parah.
Patah hatinya inilah yang menjadi dasar Colin menuliskan teori hubungan tercampak dan pencampak. Dia ingin menjadikan rumus ini sebagai cara untuk memprediksi kapan cintanya akan tercampakkan lagi.
“...terpisahnya Colin Singleton dengan kacamatanya membuat dia menyadari apa masalahnya selama ini : myopia. Dia rabun jauh. Masa depan terbentang di hadapannya, tak terhindarkan namun tak kasat mata.” – hlm. 52

Berbagai kurve dia buat. Bahkan, akhirnya kurve itu berubah menjadi rumus cantik dengan berbagai variable tambahan. Lindsay termasuk orang yang membantu Colin untuk menyelesaikan rumus itu. Dia memberikan beberapa hal yang awalnya tak pernah dipirkan Colin.
Tokoh menarik di novel ini adalah Hassan. Dia muslim. Dan, dia muslim yang rajin menjalankan solat lima waktu meskipun dia tetap melanggar beberapa aturan Islam. Hassan ini konyol. Dia menjadi bagian yang segar di antara kelempengan Colin.
Sedangkan Lindsay, dia gadis yang menyenangkan. Walaupun, dalam dirinya ada beberapa hal yang dia coba untuk disembunyikannya. Dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Dia malah kagum pada Colin yang bisa menjadi dirinya sendiri. Padahal, Colin merasa dia ingin menjadi orang lain karena dia merasa tak berarti.
Kedekatan Lindsay dan Colin membuat mereka belajar banyak tentang menjadi diri sendiri, dan bagaimana memperlakukan dirinya sendiri. Hollis juga mengajarkan mereka tentang arti pengorbanan untuk orang lain.
Novel ini punya banyak sekali makna, benar-benar banyak. Aku nggak bisa mengurainya satu persatu. Hanya orang-orang yang mau memahami novel inilah yang akan mendapatkan ilmunya.
Ending-nya, adalah sebuah jawaban dari segala rumus Colin. Colin menemukan hal-hal yang tak pernah dia pikirkan. Bisa dibilang ending-nya adalah “Eureka” yang sebenarnya – dalam bahasa Yunani berarti ‘Aku Menemukannya!’ – dari Colin.
Rating 3,3 dari 5 bintang.

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos