Monday, November 17, 2014

Cerpen - I NEVER THOUGHT



Tulisan ini diikutsertakan
Karya @NinnaKrisna
Em, aku bertemu cinta pertamaku setiap pagi dari ujung ke ujung jendela kelasku saat masih SMA. Istimewanya, aku jatuh cinta sebelum aku melihat wajahnya, tak tahu namanya, bahkan aku tak tahu apapun tentang dia. Hanya satu yang aku tahu, sinar matanya.
***
“Sean, menurutmu cinta pertama itu seperti apa?”
Aku tersenyum menanggapi pertanyaan Gina. Tapi, aku tak langsung menjawabnya. Kuteruskan acara meneguk kopi sampai aku puas, barulah kutatap mata teman-temanku yang menunggu jawabanku.
“Cinta pertama?” Kugigit bibir bawahku. Bola mataku berputar, mengikuti otakku yang mencoba mencari jawaban. “Cinta yang nggak bisa dilupakan, maybe.” Aku tersenyum.
“Meskipun cinta itu tidak terbalaskan?” Sherin menanggapi.
Aku mengangguk.
“Meskipun dia udah nyakitin kamu?” Gina tampak semakin tertarik dengan topik ini.
Kurebahkan punggung pegalku karena terus bekerja seharian–di sandaran sofa yang nyaman. Lalu, aku mengangguk lagi. “Meskipun sekarang kita udah nggak cinta lagi sama dia. Tapi, kita tetap mengingat kalau kita pernah benar-benar mencintai seseorang untuk pertama kali, itu namanya cinta pertama.”
Mereka berdua tampak mengangguk.
“Kenapa?” tanyaku kemudian.
Sherin tersenyum, aku jadi sedikit curiga. “Kamu masih ingat Daniel?”
Keningku berkerut mendengar nama itu.
“Dia cinta pertama kamu, kan, Sean?” lanjutnya.
Kuangkat bahuku. “Iya. Ingat!” Suaraku terdengar sedikit kesal.
Gina mengetuk-ketukan jari telunjuknya ke bibir, “Jadi ingat dulu kamu sering datang pagi-pagi sekedar mantengin jendela kelas.” Gina terkikir sendiri. “Meskipun penasaran itu mata siapa, kamu tak pernah berani untuk mencari tahu siapa pemiliknya. Payah!”
Aku tersenyum lebar. Iya, aku juga ingat saat itu. Kebiasaan nggak jelasku setiap pagi. Sekedar untuk bertemu sepasang mata yang membuatku jatuh cinta.
“Tapi, syukurlah, Tuhan memberikan jalan agar kalian akhirnya bertemu.” Sherin ikut tertawa. Dia sedang sibuk menyulut sebatang rokok setelah berhasil menyelesaikan tawanya.
“Daniel, cinta pertama yang membuatku langsung patah hati.” Senyumku semakin melebar. Dan, bayangan mata Daniel langsung berkelebat membangunkan kenanganku.
***

“Sean, kan?”
Seorang cowok berdiri persis di depanku, menghadangku yang bersiap menyusul Sherin dan Gina yang lebih dulu ke perpustakaan.
Aku mengangguk. Keningku berkerut karena merasa aneh ada seorang cowok yang tak kutahu namanya, hanya sekedar tahu dia anak kelas sebelah–tiba-tiba tersenyum seperti itu dan bertanya namaku. “Kenapa?”
“Aku Jun, Arjuna. Anak IPA 1.” Jawabnya.
“Oh…?” Wajahku tambah bingung.
“Em, boleh pinjam buku Biologi, nggak?”
Aku menghela napas, dan hanya mengangguk sambil kembali ke kelas, mengambil buku Biologi untuknya. Dan, segera kuserahkan pada Jun agar aku segera bisa pergi darinya.
“Terima kasih,” pamitnya sambil mengacungkan buku yang dipinjamkannya.
Tapi, saat bel sudah berbunyi, dan sebentar lagi pelajaran Biologi dimulai, bukuku belum juga dikembalikan. Menyebalkan! Akhirnya, aku putuskan untuk mengambilnya saja.
Aku celingukan di depan pintu kelasnya, mencari sosok Jun di antara anak-anak kelas XII IPA 1.
“Hai!”
Suara itu langsung membuatku memutar tubuh. Ternyata Jun tepat ada di belakangku.
“Mau ambil ini?” Dia mengacungkan bukuku.
“Iya.”
“Maaf ya belum sempat dikembalikan.”
Kuterima buku itu dan sekedar mengangguk saja. “Aku balik ke kelas.” Pamitku.
Dan saat mataku mengarah ke samping Jun, aku menangkap sinar mata yang sangat kukenali. Mata itu juga menatapku lekat. Tak mau kalah untuk melepaskan bayanganku sedetik saja. Yah, aku menemukan pemilik mata itu, sang cinta pertamaku.
***

“Daniel Pratama. Anak XII IPA 2. Temannya Jun.” Kuhela napasku berat. “Jantungku mau copot saat mataku bertemu matanya langsung nggak terhalang kaca jendela seperti itu.” Pandanganku menatap kosong meskipun ceritaku terus mengalir lancar.
“Daniel Pratama itu bukannya pacar Patricia Adinda si Ketua OSIS yang baru aja kepilih itu, kan, Gin?” Sherin bertanya pada Gina yang langsung mengangguk. “Sial bener, sih kamu. Dapet cinta pertama telat banget. Pacar orang pula.” Sherin menggeleng lemah dan menatapku iba.
“Jangan macam-macam, Sean. Iklasin aja. Ingat karma!”
“Tenang aja, aku waras kali, Gin. Aku nggak bakal ngerebut pacar orang!” Mataku menjauhi tatapan dua temanku. Aku lebih menikmati pemandangan anak-anak yang hilir mudik untuk pulang.
Sedangkan kami, kami masih duduk di depan kelas sambil mengobrol. Dan, sialnya aku menangkap bayangan Daniel yang sedang berjalan berdua dengan si ketua OSIS yang cantik, yang nggak ada apa-apanya sama aku.
“Yah, malah muncul!” keluh Gina. “Bikin orang patah hati aja!”
Tak ada tanggapan yang keluar dari mulutku. Dan, tak ada lanjutan komentar dari kedua temanku. Kami sama-sama diam dan memandang satu arah, ke arah Daniel dan Dinda.
Cewek itu tampak asik bercelotek, sedangkan Daniel hanya diam mendengarkan.
“Kalian nggak pulang?”
Suara Jun membuat kami langsung berubah fokus.
“Bentar lagi,” jawab Gina kesal.
“Sean mau aku antar pulang?” tanya Jun.
Kedua temanku langsung menatap Jun tajam. Membuat cowok ini tersenyum kecut.
“Eh, iya Sean. Aku nggak bisa nganterin kamu. Aku harus ketemu Bima.” Gina tersenyum, merasa bersalah.
“Dan aku…” Sherin menggaruk kepalanya yang sebenarnya pasti nggak gatal. “Aku nggak bawa motor. Aku tadi nebeng adik kelas. Ini aku nunggu sms dia kalau dia udah siap pulang.”
Aku mengangguk paham. “Aku bisa naik bus.”
“Aku anterin aja.” Jun masih keukeuh.
Mereka berdua menyenggol lenganku, memberi kode untuk mengiyakan.
“Nggak ngrepotin?” tanyaku pada Jun.
“Nggaklah. Kan, rumah kita searah. Masak kamu nggak tahu kalau aku sering lewat depan rumahmu?”
Aku hanya tersenyum.
Sebenarnya, aku memang bukan tipe orang yang mau memperhatikan orang-orang yang tak di kenal. Jadi, jangan heran meskipun tiap hari kamu muncul di depan ujung hidungku, kalau kamu nggak aku kenal, aku nggak akan peduli sama kamu.
“Gimana?” Jun masih menunggu jawabanku.
“Kalau nggak ngerepotin, boleh deh.” Aku ingat, hari ini panas banget dan perutku sudah lapar. Kalau harus nunggu bus dan berdesak-desakan, rasanya benar-benar menyiksa. Jadi, kenapa tidak.
Sayangnya, bukannya langsung pulang, si Jun malah ngajakin makan dulu. Fine-fine aja, sih. Lumayan malah, bisa dapat makan gratis. Tapi, itu kalau nggak ada si Daniel dan si Dinda.
Erg, kenapa aku sekarang sensi melihat pasangan ini, sih? Dulu kalau melihat mereka dari jauh aku nggak ada masalah. Apa sekarang aku sedang cemburu?
“Din, kenalin ini Sean.” Jun memperkenalkan kami meskipun aku belum duduk di kursi kayu panjang tepat di depan Daniel yang menunggu baksonya datang.
“Dinda.” Dia mengulurkan tangannya padaku.
“Sean,” balasku.
Aku duduk dan bakso kami datang.
Dinda terus saja bercerita tentang apapun–aku nggak terlalu tertarik, jadi nggak memperhatikan–meskipun dia sibuk makan. Daniel tampak sekedar mendengakan. Sedangkan Jun, dia sesekali tertawa dan menanggapi cerita Dinda.
“Iya, kan sayang?”
Kuangkat wajahku saat mendengar sapaan mesra itu. Mataku langsung terasa pedas seperti kemasukan kuah bakso saat melihat tangan Dinda meremas lengan Daniel.
Daniel hanya mengangguk. Aku sedikit sangsi Daniel tahu apa yang sedang dia ‘iya’kan.
Pulangnya, saat berboncengan dengan Jun, aku mengbrol dengannya.
“Daniel itu, kenapa kelihatannya cuek banget sama Dinda, ya?”
Tawa Jun membuat keningku berkerut. “Kelihatan, ya?”
“Kelihatan gimana?”
“Kelihatan kalau Daniel itu nggak cinta sama Dinda.” Tawanya meluncur lagi.
“Lho?”
“Dinda itu anaknya temannya mama Daniel. Mereka sejak kecil sudah dijodohkan.”
Perutku mulas mendengar kata ‘dijodohkan’
“Jadi, bisa dibilang hubungan mereka berawal karena paksaan. Dinda sih nggak keberatan. Tapi, Daniel sebenarnya keberatan. Tapi, dasar Daniel itu tipe nggak mau ribet dan nggak mau bertengkar sama mamanya, akhirnya dia jalani saja hubungan itu. Meskipun, dia nggak janji juga bakalan nerusin hubungan ini sampai ke pernikahan.”
Tanpa sadar aku menghela napas lega. Apakah aku masih punya harapan?
***

“Harapan?” Lagi-lagi aku tertawa. “Harapan semu!” jawabku sinis. “Aku nggak penah mau berharap lagi, Gin, setelah itu. Setelah Daniel mematahkan harapanku.” Kuteguk lagi kopiku sampai tandas. Lalu, tanganku terangkat, memanggil pelayan untuk dibawakan segelas kopi lagi, kopi ketigaku.
“Dia berkata, dia juga mencintaiku. Tapi, dia lebih memilih Jun dari pada aku.” Senyumku terasa getir. “Dia bilang, akan lebih baik jika kita tidak bersama. Dia juga bilang, cinta tak harus memiliki.” Tawaku mengalir begitu saja. Tapi, tatapan mata dua teman di depanku persis sama seperti saat melihatku menangis tersedu karena patah hati, saat itu. “Cinta tak harus memiliki sebenarnya cuma kata-kata menghibur untuk mereka yang patah hati.”
***

“Ya, aku mencintaimu.” Daniel mengucapkannya sangat tegas. Membuat jantungku berdetak dengan kencang. “Tapi, Jun juga mencintaimu. Membuatku tak bisa bersamamu.”
Dan seketika, jantungku berhenti berdetak, lalu terasa nyeri.
“Ini bukan masalah Dinda. Tapi, ini masalah persahabatan. Jadi, maafkan aku, Sean. Aku nggak bisa meneruskan hubungan sembunyi-sembunyi ini. Aku capek.” Dia menghela napas, dan terpejam, memutus tatapan kita yang semakin menyakitkan.
“Sebentar lagi ujian. Aku memutuskan mengambil Hukum di UI. Dan aku dengar, kamu akan ke Yogya. Ya, kan?”
Aku sama sekali tak meresponnya.
“Jun memutuskan mengambil Teknik di UGM, kampus yang sama seperti yang kamu tuju.” Dia melihatku lagi. “Dia benar-benar mencintaimu. Aku harap kamu bisa bersamanya.”
“Aku nggak akan pernah bersamanya, Dan. Aku bukan kamu yang bisa memaksakan diri sendiri untuk menerima seseorang yang tidak kamu cintai dalam hidupmu.” Jawabku ketus. “Kalau aku nggak bisa bersamamu, nggak ada masalah. Aku akan terima itu. Karena sejak awal aku sudah tahu, kedatanganku sudah terlalu terlambat.”
“Cinta nggak harus memiliki, Sean.”
“Cinta nggak harus memiliki.” Aku tersenyum masam. “Itu hanya kata-kata penghiburmu, kan? Jangan bodohi aku, Dan!”
“Iya, mungkin.” Dia menghela napas. “Aku harap, kenyataan aku mencintaimu juga, sudah cukup untukmu.” Dia beranjak. “Aku harus pergi. Dinda menungguku.”
Daniel tak menunggu jawabanku. Dia langsung naik motornya dan berlalu.
***

“Tapi, sekarang kamu bahagia, kan bersama Jun?” Sherin menyulut rokok ketiganya. “Buktinya, kalian udah punya dua anak. Aku aja masih dalam proses.” Sherin menjentikkan abu rokoknya ke dalam asbak.
“Kalau mau berhasil, berhenti ngerokok, deh, Rin!” Gina mensedekap dan menatap Sherin serius.
“Rokok itu udah jadi separuh jiwaku, Gin. Susah!”
“Eh, ngomong-ngomong kamu sering dong ketemu Daniel?” Fokus Gina sudah kembali padaku.
 “Jarang kok. Daniel nggak pernah mau ke rumah kami. Kita ketemu kalau aku nemenin Jun pas ada acara.” Kuangkat bahuku acuh.
“Jangan-jangan dia masih cinta kamu, Sean. Sampai dia belum nikah-nikah juga.” Tebak Sherin.
“Bodo’ amat! Yang jelas, aku udah nggak punya perasaan apapun sama dia.”
“Kamu beneran sudah jatuh cinta sama Jun?” bisik Gina.
Aku mengangguk ringan. “Mencintai orang yang mencintai kita itu lebih mudah. Serius!”
Dua temanku memandangku takjub. Lalu mengangguk, menyetujui.
Cinta pertama biasanya memang bukan cinta yang terakhir. Dia hanya kebetulan hadir untuk yang pertama. Tapi, belum tentu cinta yang paling kuat.
Cinta pertamaku memang Daniel. Tapi, cinta sejatiku ternyata Jun, Arjuna Ardianto. Dan, aku akhirnya menemukan akhir pencarian pada seseorang yang dulu aku kira tak bisa kucintai.[]

1 comment:

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos