Sunday, November 9, 2014

Fanfiction ‘Fangirl’– TERSERAH KAU SAJA



Fanfiction ini diikutsertakan
dalam #KuisFangirl yang
diadakan oleh @NovelAddict_
bersama Penerbit Spring dan Haru
“Reagan.” Cath memicingkan matanya, menembus kegelapan kamar untuk memperjelas penglihatannya, mencari tahu siapa yang masuk kamarnya selarut ini.
“Shhhuuttt!!!”
Sebuah suara mengisyaratkannya untuk tidak berisik.
“Ini aku.” Ternyata Wren, saudara kembarnya.
Cath menarik tubuh, dan bersandar pada sandaran tempat tidurnya. “Kenapa kau ke sini?” Diam-diam Cath melirik tempat tidur di sampingnya. Ternyata, Reagen, teman sekamarnya sudah terlelap. Jam berapa dia pulang? Batin Cath.
“Dengarkan aku.” Wren melirik sekilas Reagen yang menggeliat berpindah posisi tidur. “Biarkan aku tidur di sini semalam saja. Please!” Wren menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Cath menghela napas. “Memang, ada apa dengan kamarmu?”
“Kau hanya perlu menjawab, iya atau tidak, Cath!” Meskipun suara Wren pelan, tetap saja Cath menangkap nada sinis Wren.
Cath hanya mengangguk, lalu menggeser tubuhnya lebih ke pinggir, memberikan tempat untuk Wren.
Cath tidur menyamping. Namun, setelah tadi terbangun gara-gara Wren, sekarang dia tak bisa memejamkan matanya. Apalagi bau alkohol dari tubuh Wren benar-benar mengganggunya.
Sekali lagi Cath menghela napas. Karena terlalu putus asa, Cath beranjak dari ranjangnya. Dia mengambil jaket, lalu berjalan keluar kamar. Dia perlu udara segar. Mungkin, setelah berjalan-jalan sebentar, dia bisa mengantuk lagi.
Cath berjalan menelusuri koridor asramanya sambil menggumamkan percakapan dalam fanfiction Simon Snow yang akan dia tulis setelah kembali ke kamarnya. Semoga dia bisa mengingatnya karena dia lupa tidak membawa buku catatan untuk menulis ide yang terlintas tiba-tiba.
Langkah Cath terhenti di ujung lorong. Seorang cowok bernama Levi–yang beberapa minggui ini seperti mengikutinya–tampak asyik menekuri laptop.
Sedang apa dia malam-malam begini? Cath hanya mengintip dari balik dinding di dekat tangga.
Cowok itu tak tampak mengentik apapun. Dia seperti sedang membaca. Sesekali bibirnya tertarik ke ujung, memperlihatkan senyuman lebar, atau kadang malah seperti terpingkal-pingkal.
Cath semakin penasaran saja. Tapi, dia tidak akan mendekatinya. Tidak akan!  Cath takut, kalau dia mendekat, Levi akan merasa Cath mengijinkannya masuk ke dalam hidupnya.
“Tilililit…tilililit…” Cath hampir terjungkal karena terkejut. Bunyi ponsel siapa itu? Sesaat kemudian, dia baru menyadari bunyi ponsel itu dari saku jaketnya. Ya ampun, ternyata dia lupa mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jaket sejak dari kampus tadi.
Cath, melihat nama ayahnya di layar ponsel.
“Ya, Yah?” Cath berusaha menjawab dengan nada sepelan mungkin, berharap suaranya tak di dengar Levi. Ah, cowok itu. Seketika dada Cath berdebar.
Seseorang menelepon Ayah. Mereka mencari Wren. Apa dia bersamamu?
“Iya, dia tidur di kamarku. Memang ada apa, Yah?”
Mereka bilang, Wren baru saja membuat seorang cewek masuk ke rumah sakit.” Cath dengan jelas mendengar suara ayahnya yang resah. “Ponselnya terjatuh, jadi mereka menghubungi Ayah.
“Ah, begitu.”
Bilang padanya, hari minggu dia harus pulang. Ayah akan bicara padanya.”
“Iya.”
Setelah telepon ditutup, Cath reflek memutar tubuhnya. Dia ingin mengintip cowok itu lagi, berharap Levi masih di sana dan tidak mencurigai apapun.
Sayang, saat tubuhnya berputar, mata Cath langsung bertemu dada bidang berkaos biru laut bertulis Melbourne. Perlahan, Cath mengangkat wajahnya, dan dia langsung bertemu dengan mata Levi.
“Sedang apa kau di sini, Cath?” tanyanya dengan senyum mengembang, seperti biasanya.
“Menerima telepon.” Cath menunjukkan ponselnya.
“Oh,” Bibir Levi membulat. “Aku sedang membaca fanfiction-mu. Menarik juga!” Senyumnya muncul kembali, membuat Cath salah tingkah.
Sebenarnya, Cath menyukai pujian Levi. Tapi, dia tak ingin cowok itu tahu. “Benarkah? Terima kasih!” ucapnya dingin.
You welcome!”
Mereka sama-sama diam.
“Aku akan kembali ke kamar.” Cath memutar tubuhnya dan mulai melangkah.
“Cath.”
Panggilan Levi membuat Cath menghela napas dan memutar tubuhnya.
Levi tersenyum saat Cath sudah menghadap padanya lagi, “Aku tahu pizza terenak di daerah sini. Mau mencobanya denganku?”
“Tidak!” lagi-lagi Cath menjawabnya dengan dingin.
Tanpa menunggu kata-kata Levi, Cath langsung melesat menuju kamarnya.
Levi masih mematung, melihat Cath yang menjauh. Dia hanya bisa menghela napas. Bahunya turun, tanpa putus asa.
Bagi Levi, Cath sangat misterius. Banyak hal seperti teka-teki yang membuat Levi ingin menemukan jawabannya satu persatu. Tapi, Cath begitu sulit di dekati. Kenapa? Kenapa Cath seperti itu? Apa karena dia tak menyukai Levi? Atau, dia merasa terganggu karena dia terus mengikutinya?
 ***
“Cath!” Teriakan itu sangat dikenalnya. “Pagi!” sapa Levi setelah berhasil menyamakan langkahnya dengan Cath.
Cath tidak menghiraukan Levi sama sekali. Tatapannya terus ke depan tak minat sedikitpun untuk melirik cowok di sampingnya, yang sesekali sibuk membalas sapaan teman-temannya.
“Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Sebuah pertanyaan yang tak tergantikan setiap pagi.
Dan, sama seperti biasanya, Cath hanya menjawab dengan bahunya yang sedikit naik ke atas.
“Baguslah!” Levi mengartikannya sebagai ‘ya’. Padahal, Cath sama sekali tak bisa tidur meskipun dia sudah pindah ke sofa. Cath tak tahan dengan bau alkohol di tubuh Wren yang menyerangnya semalaman.
“Kau masih ingat tadi malam aku menawarimu pizza, kan?” Levi menunggu jawaban Cath, tapi percuma. Jadi, dia langsung meneruskan. “Kalau kau tak ingin pergi, aku akan membawakannya untukmu.”
Cath menghentikan kakinya tiba-tiba, membuat Levi terkejut dan ikut-ikutan berhenti.
“Levi, aku sudah bilang, aku nggak mau!” Jawaban Cath terkesan terlalu ketus.
“Iya, aku tahu. Makanya–”
“Jangan ganggu aku!” Cath memotong kalimat Levi dengan intonasi agak tinggi.
Cath semakin kesal saat menyadari tatapan orang-orang terarah pada mereka. Dia sangat tidak nyaman menjadi pusat perhatian seperti itu. Dan, Cath langsung bergerak cepat untuk melarikan diri. Meninggalkan Levi yang masih mematung cukup lama sekedar untuk melihat Cath yang sudah menjauh pergi.
***

“Sampai kapan kau menghindarinya?”
Suara Wren membuat Cath mengalihkan perhatian dari layar laptopnya. Dia melihat sebentar ke arah Wren yang sibuk dengan kuku-kukunya yang merah menyala.
“Siapa?” tanya Cath. Dia sudah kembali sibuk dengan fanfiction-nya.
“Levi.”
Cath mendengus.
“Sepertinya, dia menyukaimu.” Tiba-tiba saja Cath merasakan hembusan lembut napas Wren di dekat telinganya saat cewek itu berbisik.
Cath melihat ke arah Wren. Dia bertemu senyum penuh arti dari saudara kembarnya.
“Berhentilah jadi manusia yang seperti bisa hidup sendiri, Cath. Tak ada salahnya, kan, mencoba menjalin sebuah hubungan.”
Cath terus saja mengetik, meskipun isi fanfiction-nya sekarang berantakan. Dia hilang fokus.
“Levi sepertinya cowok yang baik. Dan juga– “ Wren memberi jeda agak lama. “ –lumayan tampan.”
Cath mendengar Wren tertawa pelan. Tapi, dia tak berminat untuk ikut tertawa. Tak ada yang lucu. Dan, ini bukan lelucon.
“Ayah memintamu pulang minggu depan.” Cath mengalihkan pembicaraan.
Wren menghela napas. “Aku tak akan pulang. Paling-paling Ayah hanya akan memarahiku. Aku bosan mendengarnya mengomel.”
“Bagaimana dengan ponselmu?” Cath sudah tak lagi menatap laptop. Menurutnya, meneruskan menulis hanya akan berakhir sia-sia karena dia sama sekali kehilangan minat untuk menulis. “Apakah orang itu mengembalikannya?”
“Orang itu?”
“Orang yang menemukan ponselmu, dan menelepon Ayah.”
Wren mengangkat bahu, lalu menggeleng. “Aku tahu siapa yang sudah melaporkan aku pada Ayah. Aku akan buat perhitungan dengannya. Lihat saja nanti!” Dia tampak kesal. Tangannya terkepal di atas pangkuannya.
“Wren, berhentilah seperti ini.”
Wren malah tertawa mendengar nasihat saudaranya. “Aku seharusnya mengatakan hal yang sama padamu, Cath!” Wren membalas tatapan Cath. “Aku akan berubah jika kau juga berubah. Aku akan berhenti berulah saat kau berhenti jadi manusia introvert!” Wren beranjak dari duduknya. Sesaat dia memperhatikan roknya. “Cath, apa aku cantik hari ini?”
Cath melirik sesaat pada Wren yang tersenyum cerah. Dia sekedar mengangguk untuk memuaskan Wren.
Senyum Wren semakin melebar. “Aku akan berkencan malam ini. Berkencan itu sangat mengasyikkan. Kau harus menyobanya Cath!” Lalu, Wren berjalan siap keluar dari kamar Cath.
***
Cath hampir masuk ke halaman asramanya. Tapi, langkahnya terhenti–saat tanpa sengaja dia melihat sesosok tubuh yang cukup familiar untuknya–duduk di bangku sambil membungkuk, seperti menahan sakit di perutnya.
“Levi?” tanyanya pada diri sendiri.
Cath berusaha mendekat, sekedar memastikan penglihatannya.
“Aarrggg…” Agak samar-samar, Cath menangkap nada kesakitan Levi. Membuat Cath jadi ragu untuk meninggalkannya.
Dengan tidak yakin, Cath mendekati cowok itu. “Le-vi?” panggilnya lirih. “Kau – Em… kau, baik-baik saja?”
“Tidak… aku sedang tidak baik-baik saja.” Levi mengangkat wajahnya meskipun tubuhnya tetap membungkuk. “Kau punya obat mag?”
Cath menggeleng. “Aku akan membelikannya.” Dia langsung memutar tubuh dan berlari.
Tak sampai lima belas menit, Cath sudah di depan Levi kembali. “Minum ini.”
Levi menerima obat yang disodorkan Cath.
Cath duduk di samping Levi. Dia masih tampak menghawatirkannya.
Levi tersenyum, sebuah senyum yang tak bisa dilihat Cath karena posisi Levi yang masih menunduk. “Aku akan baik-baik saja, Cath. Jangan khawatir.”
Apakah dia mulai menganggapku teman? Batin Levi.
Sepuluh menit kemudian, keadaan Levi mulai membaik. Perutnya tak sesakit tadi. Dan dia sudah bisa duduk tegak meskipun tangannya masih memegang perut.
Levi menghela napas. “Terima kasih, Cath. Kau teman yang baik.” Sebuah senyuman mengiringi kalimat Levi. “Maaf, selama ini aku membuatmu terganggu.” Levi melirik cewek di sampingnya. “Aku sama sekali tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin berteman denganmu.” Levi tersenyum lebar. Perlahan sakit di perutnya mulai menghilang.
“Baiklah, sepertinya kau sudah membaik. Jadi, aku pergi.”
Levi menangkap tangan Cath saat cewek itu hampir melangkah. “Please, jangan pergi.”
Tatapan mata Levi membuta Cath tersentuh. Dengan berat hati, dia kembali duduk.
Suasana sedikit tidak mengenakkan di antara mereka. Dan Levi merasa dia harus merubahnya. “Maukah kau menjadi temanku, Cath? Aku janji, aku tidak akan menyusahkanmu. Please!”
Cath menatapnya dengan tatapan yang Levi tak tahu artinya. Yang jelas, mata itu mampu membuat jantungnya berdetak sangat kencang.
“Hanya teman, Cath. Aku tak akan minta lebih.”
“Kenapa kau ingin menjadi temanku?”
Levi tersenyum, “Karena–” Levi tampak berfikir. “Entahlah!” Cengirannya membuat Cath kesal. “Aku memang tak punya alasan, Cath. Aku hanya ingin jadi temanmu, hanya itu alasannya.”
“Puitis!” jawab Cath sinis.
“Baiklah, anggap saja aku fan beratmu. Jadi, aku ingin berteman denganmu karena aku terlalu mengagumimu. Bagaimana?”
Cath menyipitkan matanya. “Terserah kau saja!”
Lagi, Levi tersenyum. “Oke, kalau begitu kau mau, kan aku traktir pizza?” Levi sudah ikut berdiri, siap mengikuti langkah Cath.
“Terserah kau saja!” jawabnya sinis dan sangat lirih.
“Oke, nanti jam tujuh aku jemput.”
“Terserah kau saja!”
“Kau suka pizza dengan bawang bombay yang banyak atau sedikit?”
“Terserah kau saja!”
Levi terus membrondong Cath dengan berbagai macam pertanyaan. Tapi, Cath hanya menjawab dengan singkat, “Terserah kau saja.”
Namun, tak ada yang tahu rahasia arti kalimat ‘terserah kau saja’ yang terus diucapkan Cath pada Levi. Ya, bagi Cath, ‘terserah kau saja’ menyiratkan banyak arti.
Perlahan, mungkin setelah berjalannya waktu ‘terserah kau saja’ akan berganti menjadi kalimat panjang lebar tentang apapun yang ingin mereka bicarakan.
Terserah kau saja.
Ya, biarkan saja semua berjalan apa adanya, Cath. Kau akan menemukan banyak titik menyenangkan bersama Levi. Ya, terserah kau saja sampai kapan menganggapnya sekedar teman. Itu hakmu! []

*Nama tokoh diambil dari
Novel Fangirl terbitan Penerbit Spring

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos