Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Young Adult, Family,
Friendship
Terbit : 2014
Tebal : x + 358 halaman
ISBN : 979 – 780 – 770 – 2
Harga : Rp. 63.000
Lulu menyukai dongeng,
sangat. Namun, dia sangat sadar, hidup di dunia nyata tak pernah semudah di
dunia dongeng. Happily ever after?
Rasanya, tak ada kisah yang seperti itu. Apalagi, setelah Karin – sahabatnya –
berubah dari itik abu, menjadi angsa yang begitu cantik di sekolahnya, lalu
meninggalkan Lulu yang masih setia dengan panggilan Lucifer dari
teman-temannya.
“Inilah yang kurasakan detik ini :
bahwa selamanya tidak pernah ada. Detik ini, selamanya berhenti, dan aku sadar,
ungkapan kebahagiaan selama-lamanya adalah omong kosong belaka.” – Lulu – hlm. 61
Rasanya, belum cukup
pedih ditinggalkan sahabat, Lulu juga harus menerima saat Ezra memutuskan
hubungan di antara mereka. Hidup Lulu yang kalang kabut, didera berbagai
cobaan, masih ditambah lagi satu rintangan. Rintangan yang terberat untuk Lulu.
Ayahnya, orang yang paling dikaguminya, dan paling diidolakannya terkena kanker
hati.
“Tapi, Lu, kalau kita terus mikirin
sembuh nggak sembuh, kadang kita lupa untuk benar-benar hidup.” – Eli – hlm. 98
Di saat-saat terberat
itu, Lulu bertemu Eli, cowok yang mengidap kanker otak. Lulu belajar banyak
dari Eli tentang cara menerima keadaan dengan lapang dada. Dari Eli, Lulu bisa
menemukan sedikit kebahagiaan di tengah kesedihan.
Namun, apakah Lulu berani
melangkah lebih jauh bersama Eli? Lulu tahu dengan pasti, sama seperti ayahnya,
Eli juga bisa pergi tiba-tiba.
“Alam semesta ini punya punya
rahasianya sendiri, Lu. Yang perlu kita lakukan adalah percaya pada
rencana-rencana di baliknya.” – Eli – hlm. 251
Happily Ever After, entah novel ke berapa dari karya Winna Efendi yang aku
baca. Banyak yang bilang suka dengan sepotong hidup Lulu ini. Sepertinya, aku
tidak merasakan hal yang sama. Jujur,
aku merasa novel ini gagal mempesonaku.
Aku memang kurang suka
dengan gaya penulis memulai kisahnya. Tapi, biasanya setelah seperempat kisah
aku lalui, aku sudah bisa menemukan sisi nyaman dan nagih untuk terus
membacanya.
Sayang sekali, di novel
ini aku tidak merasakannya. Mungkin, ini masalah selera. Aku memang tidak
terlalu tertarik dengan kisah terlalu sendu, berbalut berbagai penyakit, dan
aku juga bukan penggemar dongeng. Sedangkan novel ini mempunyai tiga hal
tersebut.
Sebenarnya, meskipun ada
tiga sisi itu, kalau cara berceritanya enak, dengan kisah yang punya
kejutan-kejutan, aku bisa menyukainya juga. Seperti di novel People Like Us
karya Yosephine Monica yang tokohnya juga mengalami sakit berat, aku tak
melompati satu kalimatpun saking menikmatinya.
Lagi-lagi aku harus
jujur, kali ini penulis menciptakan narasi yang terlalu mendayu, dan itu adalah
kelemahanku. Kedetailan penggambaran cerita lewat narasi yang panjang juga
kelemahanku. Kalau rasanya bagian itu bisa dipangkas sedikit, pasti lebih yummy.
Nah, biasanya kalau ketemu dua unsur itu, aku hobi banget lompat-lompat
kalimat. Ambil beberapa kalimat dalam satu paragraf, sekedar untuk menemukan
benang merah cerita.
Meski begitu, aku
menemukan bagian yang aku suka di novel ini, saat Lulu bertemu Eli, saat cinta
mereka perlahan bersemi. Kayaknya, akan lebih seru kalau penulis fokus cerita
ke mereka berdua. Tapi, novel ini memang didedikasikan untuk ayah Lulu, sih.
Mau bagaimana lagi.
Karakter Lulu yang
terkesan tak terlalu ambil pusing dengan semua yang terjadi dengannya –
maksudku dengan keadaan di sekolah dan kondisi persahabatannya dengan Karin –
membuat Lulu terkesan dingin. Sisi hangat Lulu hanya muncul saat bersama
ayahnya, atau dengan Eli, itu yang aku tangkap.
Eli ini tipe cowok yang
menyenangkan. Dia bisa begitu tegar dengan keadaanya yang kapanpun bisa saja
menemukan akhir. Kejailannya membuat suasana novel ini sedikit berwarna.
Intinya, novel ini kurang
berwarna, kurang pedas. Meskipun mellow, warna-warni dan kejutan juga sangat
diperlukan.
Endingnya, menurutku itu
happy ending. Kan, happy ending nggak harus ‘akhirnya mereka menikah dan hidup
bahagia selamanya’. Kalau masing-masing tokohnya bisa menemukan hidup yang
lebih baik, tetap masuk happy ending.
Tapi, dari novel ini aku
belajar banyak tentang rasa menerima keadaan, dan rasa bersyukur karena diberi
kesehatan.
Rating untuk novel ini
1,2 dari 5 bintang. Kayaknya, aku yang ngasih rating terendah di goodreads. Tak
apalah, seringnya aku kasih 3-4 bintang buat karya Winna Efendi.
Waw, itu rating kecil banget.. Kembali, semua soal selera. Dan saya justru penasaran dengan kisah dalam novelnya.
ReplyDeleteIya, nggak tahu kenapa, kali ini nggak sreg sama tulisan Winna, mungkin selera aku aja sih hehehehe
Delete