Wednesday, August 17, 2016

[Review] JODOH UNTUK NAINA – Nima Mumtaz




Penerbit : Elex Media
Genre : Romance, Fiksi
Kategori : Adult, Taaruf, Wattpad, Le Mariage
Terbit : April 2015
Tebal : 254 hlm
ISBN : 978 – 602 – 02 – 6348 – 9
Harga : Rp. 48.800

Naina baru saja berusia 22 tahun. Dia masih ingin menikmati pekerjaannya sebagai guru TK dan mengurus ayahnya. Ibu Naina sudah lama meninggal, dan semua kakaknya sudah menikah. Sehingga, hanya dia yang tersisa di rumahnya.
"Tak ada waktu yang terlalu cepat atau terlalu lambat untuk masalah jodoh. Dia akan datang kapan pun dia mau. Karena Allah telah menuliskannya dalam garis takdirmu."
Namun, sang ayah menginginkan dia menikah dengan seorang pria yang dianggapnya baik untuk Naina. Rizal, anak Haji Ghozali, orang terpandang di kampungnya, dan usia mereka terpaut sepuluh tahun.
Naina gamang, bukan karena usia mereka yang terlampau jauh, namun karena masa lalu calon suaminya. Naina pernah mendengar, dulu, dulu sekali, Rizal pernah diarak keliling kampung karena berdua-duaan dengan seorang wanita di dalam kamar, dan wanita itu sudah bersuami. Itulah sebabnya, keluarga Haji Ghozali pindah ke Surabaya, karena mereka terlalu malu dengan perbuatan anak mereka.
Lalu, jika Rizal pernah berbuat hal hina seperti itu, kenapa ayahnya masih mau menjodohkan dia dengan Rizal? Ayahnya bukan orang matrialistis, Naina tahu itu dengan pasti. Yang bisa Naina lakukan hanyalah menjalankan apa yang diinginkan beliau. Dia ingin percaya dengan pilihan ayahnya.
Dengan keraguan yang menggelayuti pikirannya, Naina menjalankan pernikahannya. Lalu, seperti apa pernikahan itu akan berlangsung? Bisakah Naina bahagia bersama Rizal?
“Manusia tidak berhak menilai apakah manusia lain itu pantas atau tidak pantas untuk bertobat. Kalau kamu takut akan kecewa, itu karena kamu hanya berharap pada manusia. Ingat, serahkan segala sesuatunya hanya pada Allah. Percayalah segala ketentuan-Nya. Kalau kamu melakukan semuanya karena Tuhanmu, pasti tidak akan ada kekecewaan nantinya.” – Ayah Naina – hlm. 81


Jodoh untuk Naina, sebuah novel romance Islam yang bercerita tentang taaruf dengan sangat manis dan seksi, meskipun tak ada adegan hot-nya. Namun, penulis bisa menceritakan secara emplisit dan membuat, aku – secara pribadi – terbuai oleh ceritanya. Tidak hanya terbuai, tapi beberapa adegan Rizal dan Naina benar-benar membuatku baper parah.
Naina yang masih lugu, tak pernah bersinggungan dengan pria selain kakak, ayah dan saudaranya – harus mengahadapi Rizal yang sejak awal dia tahu, Rizal punya masa lalu yang tidak baik. Jadi, jangan salahkan Naina jika dia tidak bisa percaya pada suaminya sendiri.
Mungkin, jika itu aku, aku akan menolak Rizal sejak aku tahu dengan siapa aku dijodohkan, meskipun dia tampan. Namun, dengan kepatuhan seorang anak yang percaya, ayahnya tidak mungkin memberinya seorang suami yang salah dan tidak ingin membuat ayahnya kecewa – Naina tetap meneruskan langkahnya, menerima Rizal sebagai suaminya.
Sosok Rizal benar-benar sosok suami idaman semua perempuan. Tidak hanya tampan dan mapan. Rizal diberkahi sifat yang begitu manis pada istrinya. Sikapnya pada Naina benar-benar membuat aku –erg – sulit diucapkan dengan kata-kata. Kalau diibaratkan es krim, lumer ke mana-mana, deh.
Meskipun dia seorang pria, Rizal tak segan untuk memegang pekerjaan wanita. Cara dia menghadapi Naina yang tampak belum siap dengan pernikahan benar-benar gentleman sekali. Dia tidak memaksa, dia sabar, dan aah... yang jelas, Rizal itu sesuatu.
Saat membaca novel ini, aku tidak hanya terbuai oleh ceritanya, namun banyak ilmu yang aku dapat. Seperti saat Rizal bercerita tentang dia yang tetap memberikan uang bulanan untuk ibunya, padahal dia tahu, ibunya sama sekali tidak membutuhkan bantuan finansial darinya. Mungkin, uang yang dia berikan seperti uang receh untuk ibunya. Namun, Rizal tetap memberi ibunya uang bulanan karena dia tak tahu lagi cara membalas budi kedua orang tuanya. Bagi dia, memberi uang bulanan adalah bentuk kepeduliannya pada orang tuanya. Kira-kira, berapa orang yang punya pikiran sebriliant ini?
Lagi, tentang pengalaman Naina menjadi pengantin baru. Naina agak mencemaskan tentang seks yang terlalu sering. Dia mencoba berkonsultasi pada kakaknya, dan ini seperti memberikan kita pengetahuan juga.
Yang paling jadi garis besar menurutku, tentang masa lalu Rizal. Untuk sebagian besar orang, mengetahui calon suami kita mempunyai masa lalu kelam – pasti kita memilih mundur teratur. Namun, Naina tetap melangkah demi tidak mengecewakan ayahnya. Nah, disinilah kita diajak belajar bahwa kita harus berpikir positif pada semua orang, termasuk mereka yang pernah berbuat salah. Bisa saja, orang tersebut sudah berubah baik. Jadi, marilah kita mempercayainya dulu. Apalagi, jika seseorang itu memang sudah terlihat sangat baik, seperti Rizal. Tak ada alasan untuk tidak percaya padanya lagi.
Dan, yang teristimewa dari novel ini ada pada epilognya. Dimana Rizal menceritakan tentang kisahnya yang ditulis Tuhan dengan sangat manis. Memang hanya Dia yang bisa menulis kisah se-sweet ini – meskipun yang ini fiksi, aku percaya pasti ada kisah nyata yang persis seperti ini. Sebuah keinginan, yang diucapkan dalam doa yang khitmat, dan akhirnya Tuhan benar-benar mengabulkan dengan sangat indah. Tak ada yang tahu rencana-Nya. Semoga Tuhan juga menggariskan kisah cinta yang manis untukku. Aamiin. *Arg,, jadi ngarep**
Ini novel pertama Nima Mumtaz yang aku baca, dan aku sangat memuji cara berceritanya. Dia punya teknik menulis yang oke punya. Narasinya juga sangat enak. Dan, dia memberiku satu trik menulis yang menarik, bahwa jangan ceritakan semua yang ingin kamu ceritakan. Bikin pembaca bertanya-tanya di akhir bab. Kemudian, jawab pertanyaan itu di bab selanjutnya.
Aku tipe pembaca yang mementingkan bagaimana penulis menyelesaikan konfliknya, dan aku suka dengan cara penyelesaiannya. Endingnya juga oke banget. Bisa dibilang, aku puas dengan novel ini, sangat puas. Sampai-sampai aku berpikir, sepertinya melakukan taaruf itu sangat menarik.
Rating untuk novel ini 4,8 dari 5 bintang. Kasih 5 di goodread, deh.

3 comments:

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos