Thursday, April 17, 2014

Resensi - For Better or Worse “Ternyata Masih Kamu"

Juara 1 Lomba Review Novel For Better
or Worse #ReviewFBoW yang diadakan
Christina Juzwar dan  Bentang Pustaka

Penulis : Christina Juzwar
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : viii + 352 hlm
Terbit : Agustus 2013
ISBN : 978 – 602 -7888 – 56 – 2
Harga : Rp. 59.000
Sebuah pernikahan adalah awal dari hidup baru, katanya. Memang, sih ada benarnya juga. Setelah pernikahan banyak hal yang akan terasa baru, baik tanggungjawabnya, maupun masalah-masalah yang muncul di dalamnya. Apalagi, jika sudah hadir buah hati yang mulai tumbuh dari bayi dan semakin dewasa. Permasalahan dari dua orang saja, akan bisa berlipat ganda.
Dan, dalam sebuah pernikahan, semakin hari permasalahan semakin beragam. Inilah yang membuat sebuah biduk rumah tangga seperti kapal yang tertiup angin di tengah laut. Seberapa kuat kapal dan seberapa hebat nahkoda dan para awaknya mempertahankan kapalnya untuk tetap tegak berdiri mengarungi lautan, menjadi satu-satunya cara untuk menjawab akhir dari kisah mereka.
“Babe, kita, kan nggak pernah tahu apa yang ada di depan kita. Semuanya masih misteri. Kalau kita mau tahu, kita harus melewatinya dulu. Kamu tahu, kan maksudku?” – Martin – hlm. 340

“Trust me, Babe. Awan hitam nggak selalu diam di tempat. Semua akan segera berlalu.” – Martin – hlm. 340

Sama seperti hubungan July dan Martin. Bermula dari Martin yang terkena PHK, kemudian Martin yang tak kunjung mendapat pekerjaan, dan kepanikan July tentang bagaimana masa depan keluarganya, membuat sebuah perubahan besar untuk keluarga mereka.
Perlahan, Martin berubah, dia bukan lagi Martin yang dulu, bukan lagi suami yang manis ataupun ayah yang begitu perhatian dengan kedua buah hati mereka. Martin lebih terkesan nggak mau tahu tentang anak-anaknya, tak lagi lembut, kadang bahkan terasa sangat kasar, dan tak lagi jadi suami yang manis untuk July.
July merasa, dia tak lagi bisa mengandalkan suaminya. Dia harus kembali bekerja dan membantu Martin untuk mempertahankan ekonomi keluarganya.
Setelah mengajukan CV ke beberapa perusahaan, July mendapatkan pekerjaan. Dan pekerjaan itusepertinyadia dapatkan karena dia mengenal bosnya tersebut. Vincent, itu nama bosnya, sekaligus mantan kekasihnya.
Dari awal, Martin sudah melarang July untuk bekerja. Bahkan, Martin marah besar saat tahu istrinya mendapatkan panggilan wawancara. Dan saat tahu siapa bos July, Martin makin marah. Dia minta July resign.
July mulai bimbang. Satu sisi dia sangat membutuhkan pekerjaan itu, satu sisi dia juga nggak mau terus berada di dekat Vincent karena Martin nggak menyukai itu dan diam-diam July menyadari, Vincent mulai mendekatinya lagi, bahkan dia terus terang masih menyayangi July.
Hati itu nggak pernah salah. Mungkin awalnya akan terlihat salah. You will feel bad about it. Tapi, semakin kamu menjalaninya, trust me, that’s the best decision you’ve ever made.” – Paula – hlm. 269

Karena nasehat Paula, July akhirnya resign. Namun, sebuah kenyataannya membuat dia tertohok dan memutuskan keluar dari rumah bersama anak-anaknya dan meninggalkan Martin. Yep, Martin selingkuh. July melihatnya sendiri suaminya sedang bersama seorang wanita dan mereka terlihat begitu mesra.
Berhari-hari July terpuruk. Sampai-sampai kakaknya lah yang mengurus Ernest dan Emilia. Dia juga enggan bertemu Martin, dan malah memakinya tak karuan dan mengusirnya dari rumah kakaknya saat Martin mencoba menemuinya. Namun, kata-kata Ernest membuat July berfikir, apakah dia harus terus seperti itu? Tapi, July tak bisa membuang bayangan Martin dengan perempuan itu. Hatinya teramat sakit, sampai-sampai untuk memaafkannya saja dia tak mampu.
Karena, July Bernandeth.. mau nggak mau kamu harus belajar dari anak berusia 8 tahun. Percaya atau nggak, itu adalah suara Tuhan yang berbicara melalui anak kamu, lho…” – Jeni – hlm. 251

Lalu, bagaimana rumah tangga mereka? Apakah July akan jadi wanita egois dan berpisah dengan Martin? Mungkinkah Vincent benar-benar kembali dihidup July karena dia teramat mencintai wanita ini dan bersedia menjadi tempat curhat July saat July terpuruk?
“….Sayang itu nggak pernah bisa hilang meskipun kita udah berusaha untuk menghapusnya. Tapi, Mami dan Papi sedang ada masalah yang harus diberesin. Untuk sementara lebih baik berpisah dulu…” – July – hlm. 242


The Better or Worse, jenis genre baru yang aku baca, momlit. Genre yang lebih menekankan tentang keluarga, dengan konflik-konflik keluarga dan mengajarkan tentang cara memecahkan masalah dengan menekankan demi kebaikan keluarga.
Rasanya, membaca novel ini aku seperti belajar sebelum benar-benar masuk dalam kehidupan rumah tangga. Memberiku gambaran betapa indahnya berkeluarga, punya suami yang mencintai kita dan anak-anak yang menyempurnakan hidup kita.
Namun, hidup itu seperti mata uang, ada dua sisi yang berlawanan. Dan mata uang itu tak pernah diam dalam genggaman. Dia selalu dilempar ke atas seperti sebuah permainan keberuntungan. Dan hasilnya, tak pernah sama.
Seperti kehidupan July yang digambarkan begitu sempurna di awal cerita, lalu saat hidupnya jatuh di bagian tak beruntung, dia dihadapkan dengan berbagai cobaan dan dilema yang membuatnya harus kuat.
Setelah cobaan mulai berlalu, kehidupannya dilempar lagi, nyatanya, kekecewaan lagi yang harus dia hadapi. Tapi, seperti kataku tadi, saat mata uang dilempar, belum tentu dia akan jatuh di bagian yang sama. July mulai bisa merasakan hidupnya yang penuh keberuntungan.
“Setiap orang patut untuk bahagia, Darl. Tapi, caranya, kan, berbeda-beda. Terkadang kita harus melewati suatu masa atau peristiwa, either good or bad. Kita, kan, nggak bahagia terus-menerus.” – Paula – hlm. 82

Dari itu semua aku bisa mengambil banyak ilmu. Sesulit-sulitnya hidup, selalu ada jalan untuk lepas dari kesulitan itu. Bukan hanya rasa sabar saja yang harus kita tanamkan, namun juga kerja keras dan rasa pantang menyerah meski harus terjatuh berkali-kali. Dan semarah-marahnya hati, ada bagian dimana kita harus kembali tenang dan memikirkan apa yang menjadi tujuan awal pernikahan, hidup bersama, bahagia bersama, dan selalu bersama-sama.
Buat aku, July itu hebat, dia contoh ibu yang baik, dan istri yang baik pula. Caranya bersikap dengan anak-anak tak pernah berubah meski dia sedang menghadapi masalah besar. Dia benar-benar mencirikan karakternya yang sebenarnya, yaitu lembut dan sabar. Meski di bagian klimaksnya, July sedikit jadi emosional, dan kasar. Itu wajar saja. Siapa yang bisa tetap teguh dan lembut jika hati dipenuhi kemarahan yang tak tersampaikan?
Martin sebenarnya tak kalah hebat. Dia ayah yang baik, dan aku suka cara interaksinya dengan kedua buah hatinya, juga dengan July. Perubahan sikapnya bisa dimaklumi. Pria mana yang nggak putus asa menghadapi dirinya yang dulu bisa menjadi tulang punggung keluarga yang kokoh, harus hancur begitu saja karena PHK dan kegalauan tak juga mendapat pekerjaan?
Hanya satu kesalahannya, selingkuh dan tak bisa menjaga dirinya untuk tetap stabil. Membuatnya tampak tak peduli pada keluarganya. Namun, karena Martin hebat, dia berani meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Dia mulai bisa bangkit dan kuat lagi. Menerima takdirnya tanpa mau putus asa untuk mencari pekerjaan. Bahkan, dia bisa berubah lebih baik daripada saat sebelum dia hancur.
“Kalau saja aku tahu kepercayaan itu harganya sangat mahal dan, kalau saja, aku menyadari dari awal untuk memperbaiki sikapku sebelum keluarga kita bebar-benar pecah, semua ini pasti tak akan terjadi. Tapi, aku juga nggak bisa memutar waktu. Aku nggak sempurna, Jul. sekali lagi maafkan aku, ya. Aku berharap kamu mau maafkan aku.” – Martin – hlm. 282

Dari tiga teman July, tokoh Paula ‘lah yang punya sumbangsih besar untuk hidup July. Meski dua lainnya juga jadi penyokong semangatnya. Mungkin, karena Paula lebih banyak berinteraksi dengan July meski July tak lagi masuk dalam anggota arisannya, dan Paula pula yang membukakan pintu rezeky July dengan mengajarinya Yoga, dan mengenalkannya dengan beberapa orang yang akhirnya menjadi murid privat July.
 Selain itu, aku juga suka karakter Kakak July, Jeni. Dia nggak emosional menghadapi Martin, meski dia tetap marah dengan adik iparnya itu. Dia juga nggak terbawa kemarahannya dan memberikan July saran yang pantas untuk dilakukan seseorang yang sudah menikah dan punya anak dua. She is good sister.
Sosok Ernest, anak pertama July dan Martin. Meski usianya belum ada sepuluh tahun, namun beberapa kata-kata Ernest berhasil membuat aku trenyuh. Apalagi saat Ernest menyampaikan permintaan hadiah ulang tahunnya, juga kalimat Ernest yang menyadarkan July bahwa manusia itu nggak ada yang nggak pernah salah. July sering bilang, Ernest anak yang pintar, dan dari semua itu, aku tahu July benar.
“…Habisnya, masak kita marah lama-lama sama orang yang kita sayangi. Kayak aku, nggak bisa marah lama-lama sama Emili walaupun dia nakal atau ke Mami juga. Orang, kan, nggak ada yang sempurna. Ya, kan, Mami?” – Ernest – hlm. 243

Sedangkan Emilia, angle mungilnya Martin dan July, dia bikin cerita tampak lucu dan menggemaskan meski di suasana yang sesuram apapun. Namun, kadang juga bikin ngelus dada saat melihat tingkahnya yang seperti monyet kecil yang lompat-lompat di dahan pohon, nggak bisa diem.
Satu lagi tokoh yang bikin, ehm…terpesona. Vincent, meski tokoh ini adalah tokoh yang bisa jadi tokoh penguji kesetiaan July, tapi cara dan kesetiaan Vincent pada July membuat cewek manapun iri sama July.
Selama ini, meski hampir sepuluh tahun tak bersama July, nyatanya cinta Vincent tetap setia untuk mantan kekasihnya ini. Aku juga suka cara Vincent mengatasi hatinya. Dia tak terbawa egonya untuk memaksa July untuk kembali padanya padahal dia tahu seperti apa keadaan July.
Novel ini memang sangat mengispirasiku. Gaya bercerita dan plotnya begitu mudah masuk dan mengalir lancar, bahkan setelah klimaks, aku merasakan dorongan makin kuat untuk segera menyelesaikan novel ini. Aku benar-benar penasaran bagaimana Martin dan July akhirnya bisa bersama dan memulai hidup barunya lagi.
Sudut pandang novel ini adalah sudut pandang dari July. Sehingga, aku mampu menangkap rasa yang tersirat dalam benaknya, benak seorang ibu yang miris melihat perubahan suaminya, nelangsa melihat anak-anaknya yang mulai terluka dengan keadaan hidup mereka, dan begitu kuatnya July sebagai seorang ibu dan istri untuk berjuang bangkit lagi dan memaafkan suaminya yang selingkuh. Sekali lagi aku mau bilang, July adalah sosok perempuan hebat.
Satu yang masih menjadi kelemahannya. Ada beberapa paragraf saling tindih. Dimana dialog tokoh berbeda dijadikan satu paragraf
Example :
“Rakus,” bisik Martin di telingaku. Aku melotot di tengah kegelapan, mencari matanya dan berbalik berbisik, “Kamu yang rakus! Tangan kamu, kan, besar. Aku jadi kalah sama kamu.” Hlm. 299
Menurut aku, satu paragraf di atas  harusnya menjadi dua, seperti ini.
“Rakus,” bisik Martin di telingaku.
Aku melotot di tengah kegelapan, mencari matanya dan berbalik berbisik, “Kamu yang rakus! Tangan kamu, kan, besar. Aku jadi kalah sama kamu.”
Dengan paragraf yang berbeda, pembaca akan lebih mudah menangkap mana yang diucapkan Martin dan mana yang diucapkan July, meskipun disitu sudah jelas mana yang Martin dan mana yang July.
Selain paragraf di atas, ada lagi beberapa paragraf dengan keadaan yang sama. Tapi, itu bukan masalah besar. Meski aku sedikit terganggu karena harus membaca ulang paragraf tersebut karena mengira kalimat yang diucapkan masih menjadi satu bagian dari dialog satu tokoh saja.
Desain cover-nya sangat pas dengan cerita, menggambarkan kehidupan setelah pernikahan. Warnanyapun aku suka, dan makin suka dengan corak garis cokelat muda dan cokelat tua yang elegan.
Untuk endingnya, ini jenis ending penyelesaian matematika. Setelah masalah dijabarkan, diurai satu persatu, membuat jawaban langsung bisa terbaca jelas. Aku yang beberapa hari ini menghadapi ending menggantung, sedikit terhibur dengan ending seperti ini. Dan setahu aku, jenis ending seperti ini memang lebih terasa aman karena beberapa pembaca lebih menyukai jenis ending seperti ini.
Dan untuk nilainya, aku berikan 3,8 dari 5 bintang.

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Review Novel For Better or Worse yang diadakan Christina Juzwar dan  Bentang Pustaka dan diikutkan Indonesian Romance Reading Challenge

Wednesday, April 9, 2014

Resensi – Antologi Rasa “Cinta Saling Silang dalam kotak Friends Zone”


Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : September 2011 (Cetakan Kedua)
Tebal : 344 hlm
Genre : Metropop
ISBN : 978 – 979 – 22 7439 – 4
Harga : Rp. 48.000


“Kegantengan gue ini mungkin nggak mempan di elo, tapi setidaknya gue masih jadi satu-satunya laki-laki yang selalu bisa membuat elo tertawa.” – Harris Risjad – hlm. 34

Hanya itu yang bisa Harris lakukan untuk menyalurkan rasa cinta terbesarnya untuk Keara, cewek satu kantornya sekaligus best friend-nya, yang selalu dia panggil ‘cinta gue itu’ meski cuma dalam hati.
Diam-diam, Harris menyesali harus terperangkap dalam Friend zone dengan Keara. Karena itulah sebab terbesar dia nggak bisa mengejar Keara seperti dia biasa mengejar cewek yang diinginkannya. Atau melakukan semua trik-trik yang biasa dia lakukan kepada semua cewek untuk meluluh lantahkan para korbannya. Keara itu berbeda, sangat berbeda. Keara adalah satu-satunya cewek yang nggak mempan sama pesonanya.
Sedangkan Keara, diam-diam dia memendam cintanya pada sahabat baiknya yang lain selain Harris, Ruly. Dia sudah membuatnya tertarik saat pertama kali dia memanggil namanya di hari pertama kerjanya. Keara tahu, Ruly cuma cinta mati sama sahabatnya juga, Denise. Sayangnya, keadaan Denise yang sudah menjadi istri orang, tak membuat cinta Ruly pada Denise menghilang.
Keara mati-matian membuang Ruly dari otaknya dengan berbagai cara, mulai shopping gila-gilaan, memotret yang adalah passion-nya, sampai melakukan sebuah permainan gila dengan Panji. Dia tak ada rasa dengan Panji. Panji hanya salah satu alat untuk membuatnya tak memikirkan Ruly.
“Dengan Panji, aku menenggelamkan diri dalam permainan yang selalu bisa kukendalikan dengan laki-laki menyenangkan yang tidak pernah membuatku berfikir. Dengan Ruly? Aku dipaksa memainkan permainan yang tidak mungkin kumenangkan karena aku bermain melawan diriku sendiri.” – Keara Tedjasukmana – hlm. 118

Masalah Keara bertambah satu lagi saat dia terbangun di tempat tidur Harris dan menyadari apa yang sudah terjadi di antara mereka. Sebuah kejadian yang di awali dari sebuah ciuman yang diminta Keara pada Harris karena otak Keara yang udah blank gara-gara membayangkan Ruly bersama Denise.
Kemudian, persahabatan mereka berakhir. Nggak ada lagi acara makan bubur bersama di pagi hari sebelum masuk kantor, nggak ada lagi telepon tengah malam yang minta Harris menemani Keara, nggak ada lagi guyonan Harris yang selalu berhasil membuat Keara terbahak dan melupakan rasa pedihnya saat mengingat Ruly.
“Saat aku ingin menghapus malam keparat antara aku dan Harris waktu itu, aku tidak tahu bagaimana caranya kecuali menghapus Harris sekalian. – Keara Tedjasukmana – hlm. 118

Yang merasakan kesedihan paling parah dari bubar jalannya persahabatan mereka adalah Harris. Apalagi saat Harris tahu dengan siapa Keara berkencan setelah mereka nggak lagi sahabatan. Dengan Panji, teman gila-gilaan Harris yang punya hobi sama hancurnya dengan dirinya.
Sama seperti Keara, Harris lari ke pelukan para wanita-wanitanya dan mulai merokok lagi. Dengan satu tujuan, melupakan rasa sakitnya karena dicampakkan Keara.
Masalah lain muncul saat Keara harus satu tim dengan Ruly. Dia yang sudah mulai bisa menggeser Ruly dari fikirannya, malah makin dekat dengannya. Apalagi, saat itu Ruly merasa dia mulai mengagumi Keara. Dan, dari Keara ‘lah Ruly bisa terlepas dari bayangan Denise walau untuk sesaat.
 “Tapi sejujurnya di dalam hati aku mulai menikmati kecanggungan ini, karena kecanggungan tidak pernah ada di antara dua orang yang tidak pernah ada apa-apanya.” – Keara Tedjasukmana – hlm. 317

Lalu, dengan siapa Keara akhirnya? Harris yang selalu membuatnya tertawa? Kembali lagi dengan Panji yang berhasil menjadikannya wanita paling diinginkan? Atau malah dengan cinta matinya, Ruly yang mulai ada di setiap hari-harinya?

Antologi Rasa, sebuah novel yang punya kisah cinta seruet benang wol, yang cover-nya gambar jantung yang lebih cocok untuk cover buku kedokteran atau buku biologi dari pada buku tentang cinta.
Oh, God! Masih banyak desain cover yang lebih good looking dari pada ini. Ckckck… sorry, sebelum aku memuja-muja buku ini, aku mau menghina-ginanya dulu. Ya itu, cover-nya itu. Daaannn… parahnya, cover barunya tak lebih baik dari cover lamanya. Putih dengan tulisan kecil dan lagi-lagi gambar jantung yang kalau dilihat – tetep – lebih mirip buku anak kuliahan kedokteran atau apoteker dari pada novel.
Cover Baru Novel Antologi Rasa
Stop it!
Antologi Rasa, di luar dari masalah coverplotnya, karakternya, gaya berceritanya, penggambaran setting dan rasa yang diusungnya, overall cukup mendekati sempurna.
Dan aku akhirnya mengesahkan diriku sebagai salah satu pemuja Ika Natassa, yang berarti, aku harus mengejar novel-novelnya juga. Yeah, saat ini aku baru dapat dua bukunya, satu hadiah dari kuis (Antologi Rasa), dan satu beli second (Divortiare).
Tadi aku bilang, semua unsur dalam novel ini, kecuali cover, adalah bernilai hampir sempurna. Karena aku suka semua karakter di novel ini, kecuali Denise dan Kemal. I don’t know kenapa aku nggak suka sama mereka. Mungkin nggak terlalu kenal, karena penulis cuma memuat si Denise dan Kemal saat Ruly mulai memuja-muja Denise, atau Keara yang tersakiti saat melihat Ruly yang cinta mati sama Denise, dan atau saat si Harris mulai menyuarakan suara hatinya saat dia mulai nggak tahan melihat Keara terluka saat melihat Ruly yang nggak bisa berpaling dari Denise.
Novel ini bak ajang pemilihan cowok terbaik untuk dinobatkan sebagai cowok paling cocok dijadikan suami. Kenapa? Karena semua karakter cowoknya keren gila, kecuali si Kemal.
Mulai dari Harris Risjad yang aslinya PK (Penjahat Kelamin) bisa begitu takluk sama Keara. Sampa-sampai dia mau mengorbankan apapun hanya untuk Keara. Perlakuan si Risjad ini emang cool banget. Kalau aku jadi Keara, mungkin aku akan jadi cewek beruntung yang punya temen kayak dia. I wish, meski aku juga punya dua sahabat cowok yang emang nggak se-cool Risjad, tapi cukuplah. Mereka bisa diandalkan.
Ruly Walantaga, cowok soleh, nggak minum, baik buanget, hobi main bola, dan cowok yang dicintai Keara sampai mati. Ruly ini emang cowok idaman semua perempuan. Tapi, siapa coba yang bisa hidup sama cowok yang tetep cinta mati sama cewek yang dia taksir habis-habisan meski cewek itu udah merrid sama orang lain, meski dia sudah sama cewek lain? Kalau aku sih pilih melarikan diri jauh-jauh dari Ruly, karena cowok kayak dia sulit diharapkan buat mencintai kita sepenuhnya. Ya, kan?
Dan, si Panji Wardhana, salah satu PK juga, yang ternyata jadi insaf gara-gara jatuh cinta sama Keara. Ya ampun, bayangin deh jalan sama cowok sekeren, sekaya, se-so sweet si Panji ini. Aduh, pastinya nggak bakalan nahan, deh. Nggak janji buat nggak khilaf.
Sekarang tentang Dinda, sahabat baik Keara di luar kantor. Dinda ini adalah cewek bitch yang beruntungnya minta ampun karena menikah dengan Panca Wardhana yang setia, kaya dan cinta sama dia.
Aku suka cara cewek ini saat menjadi bagian peramai suasana. Caranya ngeledek Keara, caranya mencari tahu seberapa jauh hubungannya dengan si adik iparnya (Panji, maksudnya), cara dia membuat Keara menyadari hal-hal tertentu dalam hidupnya, dan cara Dinda mencoba memancing Keara untuk memahami isi hatinya sendiri, itu beneran asik banget. Dinda itu tipe temen nyenengin meski kadang jadi salah satu bagian yang membuat kita ikut terseret ke neraka bersamanya.
Terakhir si Keara, si cewek yang sebelas dua belas sama Dinda, si tokoh utama. Dia emang cewek bitch, yang hidupnya glammor, yang punya hidup cukup bebas seperti para wanita di luar negeri, yang nggak masalah berhubungan sama cowok yang adalah pacarnya atau bahkan bukan pacarnya dengan keintiman di atas rata-rata. Tapi, ingat sisi lain Keara. Dia juga punya cinta yang nggak dia kasih buat sembarangan cowok. Buktinya, dia bisa cinta mati sama Ruly.
“Yang gue suka dari Keara adalah perempuan satu ini sangat unpredictable. Gue selalu bilang dia itu versi perempuannya Harris. Sama sintingnya.” – Ruly Walantaga – hlm. 144

Yang bikin rasa novel ini sukses mempengaruhiku, mungkin karena pemilihan sudut pandangnya, POV 1 yang nggak cuma dari Keara, tapi dari Harris, Ruly, bahkan ada part dari panji juga.
Cara berceritanya berhasil menunjukkan karakter masing-masing. Jelas nggak semua penulis bisa sukses membawakan POV 1 dari empat tokoh yang berbeda dalam satu buku. Keren banget!
Dan tema besar dari novel ini, “cinta bertepuk sebelah tangan, yang saling silang, yang sama-sama mencari jawaban” emang terkesan biasa, ya? Tapi, Antologi Rasa mengemasnya sangat menarik. Dengan dunia kerja sebagai bankir, aku jadi tahu, nggak enaknya kerja di bidang ini dan seberapa besar tuntutan profesi yang harus ditanggung. Sampai-sampai si Ruly yang jabatannya cukup tinggi dengan gaji puluhan juta, bisa menyebut dirinya kacung kamret.
Bagian yang aku suka dari novel ini adalah saat Keara menjelaskan kenapa dia suka fotografi, lalu saat Ruly menjelaskan kenapa dia cinta sama sepak bola, tapi kenapa dia nggak pilih jadi pemain sepak bola aja, padahal skill main bolanya jago banget. Dan banyak bagian lain yang nggak kalah keren, kayak waktu Keara yang tidur di perut Harris waktu di lapangan rumput Padang Stage, Singapura, a saat Ruly yang nolongin Keara pas mabuk laut di Bali.
Lalu, ending-nya. Well, ini ending nggak tahu deh masuk ending model sad atau happy. Aku nggak mau cerita kenapa, baca sendiri saja. Tapi, aku suka model ending kayak gini. Emang gantung, tapi model kayak gini malah bikin pembaca kayak aku berimajinasi lebih, meski nggak bisa membuatku puas dengan jawaban yang udah pasti kayak ngitung soal matematika.
Satu lagi makna novel ini buat aku, yaitu dia bikin aku sadar, nggak selamanya cowok playboy itu jadi playboy terus. Mungkin–mungkin, ya? Karena nggak semua cowok playboy sama–bisa cuma hidup dengan satu cewek disaat dia benar-benar jatuh cinta setengah mati sama cewek itu. Contohnya, Harris dan Panji.
“Setiap laki-laki, betapapun brengseknya, betapapun sudah tidak terhitung lagi berapa perempuan yang sudah ditiduri, seperti gue ini, pasti punya perempuan yang dia anggap sebagai gunung Everest-nya. The one he really wants to climb.” – Harris Risjad – hlm. 154
Akhirnya, karena terlalu banyak yang bagus di novel ini, aku dipaksa untuk memberikan nilai 4,7 dari 5 bintang. Kalau aja covernya lebih keren, aku kasih 4,9 deh!

Tulisan ini diikutsertakan dalam Indonesian Romance Reading Challenge 

Monday, March 31, 2014

Letter to My Ex


Tulisan ini diikutsertakan
untuk lomba #suratuntukruth
novel Bernard Batubara

Antara Madiun dan Jogja, 29  Maret 2014

Dear, Faiz.
Waktu berjalan tak terasa. Dia sering kali menyelipkan kangen pada lubang-lubang hatiku. Seperti saat mendengar Pan bernyanyi dengan suara kencangnya, aku jadi teringat kebiasanmu menggumamkan lagu. Kamu tak suka bernyanyi keras-keras sepertinya, dan aku lebih suka caramu. Serius, itu lebih manis!
Atau, saat mendengar Bud tertawa terbahak. Aku juga teringat cara tertawamu yang berderai ringan. Lalu, saat melihat Ren menangis tersedu karena film mellow, aku jadi teringat wajah gelimu saat melihatku menangisi sebuah adegan sedih.
Manis, ya kenangan kita?
Ah, sudah berapa lama kita tak lagi bisa memotret memori bersama seperti itu? Satu tahun? Sepertinya lebih!
Mungkin, kamu tahu apa yang sekarang lebih sering aku kemas dalam hidupku. Iya, benar, tentunya semua hal yang berkaitan dengan mimpiku dan passionku, menulis dan traveling.
Dan saat inipun aku sedang melakukan perjalanan. Surat ini juga aku tulis di dalam gerbong Kereta Api Madiun Jaya yang bertolak ke Jogja. Sudah lama rencana ini digagas para sahabatku, kamu tahulah siapa yang aku maksud! Ya tentu si Pan, Bud, dan Ren.
Aku masih mencintai dua hal itu, Faiz. Bukan karena aku tak pernah mau berubah. Ini karena aku menemukan tujuan hidupku pada mereka. Pasti kamu masih ingat jawabanku ini, kan? Jawaban yang sama saat kamu menegurku, ‘Sampai kapan kamu cuma mau main-main sama hidupmu? Sampai kapan kamu mau berkeliaran ke berbagai tempat tanpa ada manfaat yang jelas untukmu? Sampai kapan kamu mau menulis cerita-ceritamu yang sering kali membuatmu kecewa karena kalah atau ditolak? Cobalah dunia yang baru, yang lebih menjanjikan dalam hidupmu!
Hahaha… Kira-kira seperti itu, kan kata-katamu dulu? Maaf, aku tak bermaksud mengungkit luka lama. Walaupun dulu, kata-katamu itu seperti jarum yang menusuk hatiku. Tapi aku tahu, mungkin yang kamu ucapkan bisa jadi benar.
Sejujurnya, dibalik rasa pedih, aku senang kamu mengomeliku. Karena saat itu, aku tahu kamu peduli padaku.
Lalu kenapa aku memutuskan berpisah darimu? Ini alasan yang lain, Faiz. Ini karena aku tak ingin membuatmu terpaksa menerima apa yang aku cintai dan apa yang menurutmu nggak pantas untuk dicintai. Perbedaan padangan hidup, mungkin itu lebih tepatnya.
Ah, sudahlah! Anggap bagian paling kelam dalam perjalanan kita sebagai warna yang membuatnya makin indah. Aku tak akan menghapus satupun memori itu dalam ingatanku. Karena bagiku, kehadiranmu dalam hidupku adalah bingkisan termanis Tuhan untukku.
Faiz, terima kasih untuk semua yang sudah kamu berikan padaku. Maaf atas pilihanku. Maaf atas egoku. Tak selamanya yang ada di dunia ini bisa berjalan satu arah dengan jalur yang sama. Meskipun, jalur mana yang ingin dilalui adalah sebuah pilihan dari masing-masing hati.
Namun, nyatanya aku tak kuasa membendung apa yang aku inginkan. Aku ingin mencoba jalur yang menurutku menyenangkan. Dan ternyata, jalur itu berbeda dari jalur yang kamu pilih.
Tapi, jika Tuhan mempertemukan kita dalam satu jalur yang sama lagi, aku akan menebus apapun yang harus aku tebus padamu. Saat itu, akan kubayar lunas semua cinta dan kekosongan hati yang telah kubuat.
Dariku yang tak pernah menjadi apa yang kamu mau…
D

Sunday, March 30, 2014

BALADA CINTA DI ANTARA VESPA



Tulisan ini diikutsertakan

dalam #BdayGway untuk

merayakan ultah Bang @ridoarbain,

Bang @momo_DM dan Bang @danissyamra

Selamat Ulang tahun abang-abang!

Aku berjalan mendekati Domo yang jongkok di dekat Vespa kesayangannya.
“Hai, Domo!” sapaku ragu.
“Hai, Keke!” balasnya sambil tersenyum.
Aku melangkah lebih mendekat pada Vespanya. “Mogok, ya?”
“Iya.”
“Em..., Se…” kugaruk tengkukku karena gugup. “Selamat ulang tahun, ya Mo!” Kuulurkan tanganku padanya.
Keningnya berkerut. “Tanggal berapa sekarang?”
“27 Maret.”
“Serius?” tanyanya kaget
“Serius!” jawabku masih dengan tangan terulur ke arahnya.
Dia berdiri dari posisi jongkoknya dan menyambut tanganku. “Terima kasih!” Namun, secepat kilat dia melepasnya, “Sorry Ke, sorry banget! Gara-gara kaget jadi nggak sadar tanganku kotor!” Ucapnya panik sambil membersihkan tanganku dengan kain lap yang sama kotornya.
“Nggak papa, kok!” kutarik tanganku darinya. Sekarang, kuulurkan amplop pink padanya, “Ini hadiah buat kamu.”
“Untukku?”
“Iya!”
Dia menerimanya, dan aku langsung pergi.
I Love You, Mo. Semoga besok saat aku ulang tahun, kamu balas hatiku dengan cintamu.”
***

*) Tulisan ini terdiri dari 135 kata, tidak termasuk judul,
catatan di atas, dan catatan kaki.



 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos